Masyarakat
Jawa jaman dahulu memiliki cara khusus untuk mengatasi sakit perut seorang anak
yang makan terlalu banyak dan kekenyangan. Rasa begah itu akan diatasi dengan
centong nasi yang digerakkan seperti menyendok nasi di depan perut si anak.
Setelah beberapa kali gerakan menyendok itu dilakukan, biasanya rasa begah
karena kekenyangan akan berkurang. Secara logika, hal ini sulit dipahami, namun
bila kita menilik lebih dalam, tindakan tersebut bukannya tak berguna. Saat
anak merasa tak nyaman dengan perut kekenyangan, ia menjadi uring-uringan dan
emosi buruk. Ketika si ibu mengambil centong nasi dan menggerakkannya
seolah-olah menyendok nasi dari dalam perut Anak, anak tersebut akan merasa
geli lalu tertawa. Tawa inilah yang secara
ilmiahpun dapat dibuktikan bisa mengurangi rasa sakit atau tidak nyaman dalam
tubuh. Dan kisah ini terinspirasi dari mitos centong nasi penyembuh sakit
kekenyangan.
Tahun
ini, kerajaan Watu Gunung dikaruniai panen yang melimpah. Bulir-bulir padi
bagai emas terhampar di hampir seluruh negri, sayur mayur menghijau bagai
permadani. Warna buah serta biji-bijian menjadi penghias bak permata mutu
manikam. Seluruh negri bergembira dengan panen raya yang melimpah. Untuk
mengungkapkan rasa syukur atas karunia tersebut, kerajaan melaksanakan pesta
panen raya. Rakyat mempersembahkan hasil panen mereka ke istana dan para koki
kerajaan sibuk mengolahnya menjadi berbagai macam hidangan lezat. Para pelayan
membuat meja yang sangat panjang di alun-alun, semua masakan koki istana
dihidangkan dengan jumlah yang melimpah dan bentuk yang indah. Seluruh rakyat
berkumpul untuk menikmatinya. Mereka bergembira bisa menikmati hasil masakan
para koki istana. Hidangan itu sangat lezat dan beraneka ragam. Setiap jenis
masakan dicicipi. Satu per satu di lahap hingga tak terasa mereka lupa bahwa
perut mereka tidak sebesar karung beras. Dengan kerakusan yang tak terkendali,
perut mereka terus diisi dengan semua makanan yang sangat lezat.
Ketika
pesta usai, perut semua orang tampak buncit, mereka kekenyangan. Beberapa orang
bahkan tak sanggup lagi untuk berjalan.
Bahkan ada juga yang mulai sesak nafas karena makanan yang terlanjur
disantap mulai mengembang di dalam perut mereka. Banyak orang yang kemudian
merintih kesakitan. Ada yang sampai berguling-guling bahkan ada yang kemudian
muntah-muntah. Kerajaan menjadi gempar karena hampir semua orang sakit
kekenyangan. Para tabib istana dikerahkan untuk mengatasi penduduk yang yang
kesakitan namun jumlah mereka terbatas, banyak penduduk yang tidak dapat
tertolong.
Sang
Raja menjadi khawatir, ia sedih mengapa penduduknya begitu rakus dan tidak bisa
mengukur jumlah makanan yang bisa ditampung di perut mereka. Ia berpikir keras
bagaimana mengatasi sakit kekenyangan. Akhirnya sang Raja memutuskan untuk
pergi ke puncak Gunung untuk meminta bantuan Buto Gunung. Buto Gunung adalah
seorang monster berwajah mengerikan. Badannya besar dengan perut yang
membuncit. Kulitnya hijau seperti lumut. Matanya merah membulat memenuhi
mukanya. Hidungnya lebar tetapi pesek dan mulutnya yang besar itu
memperlihatkan gigi-gigi panjang dan runcing saat tertawa. Rambutnya
awut-awutan tak pernah disisir. Dan satu lagi, badannya bau karena jarang
mandi. Meskipun berwajah menyeramkan, Buto Gunung adalah seorang yang baik hati,
ia berteman dengan Raja sejak kecil. Setiap menghadapi masalah, sang Raja
selalu menemuinya untuk berdiskusi mengatasi masalah.
Buto
Gunung segera menyambut sang Raja yang datang dengan tergesa-gesa. “Buto
Gunung, aku butuh bantuanmu segera!” kata Raja begitu sampai ke hadapan
temannya itu. “Apa yang terjadi?” tanya Buto Gunung dengan suara serak
menggelegar. Orang yang tidak biasa mendengarnya pasti akan ketakutan, namun
Raja sudah terbiasa dengan suara itu. Raja lalu menceritakan apa yang terjadi. Penyakit
kekenyangan itu sebenarnya adalah kesalahan mereka sendiri, tetapi Raja tidak
bisa tinggal diam. Begitu mendengar
penjelasan sang Raja, Buto Gunung tertawa terbahak-bahak. Baginya, penyakit
yang menimpa penduduk Watu Gunung itu menggelikan. Ia membayangkan bahwa semua
orang di kerajaan Watu Gunung mulai mirip dengan dirinya, semua orang menjadi
berperut buncit seperti badut.
“Biarkan
saja mereka punya perut buncit,…ha..ha..ha… sekarang semua orang seperti
badut…” Kata Buto Gunung di sela-sela tawanya. Sang Raja terdiam dengan wajah
muram, Buto Gunung segera menghentikan tawanya. “Aku hanya bercanda…” kata Buto
Gunung menghibur. Sang Raja mengangguk, “Aku tahu, kau pasti punya cara untuk
mengatasi masalah konyol ini.” Buto Gunung terdiam untuk berpikir, tangannya
membelai jenggot yang luar biasa kusut seperti keset sabut kelapa. Ia berusaha
mengingat-ingat benda-benda ajaib miliknya yang bisa dipinjamkan kepada Raja.
Kemudian, tiba-tiba Buto Gunung berseru,”Ah!..Ini!”… Suara Buto Gunung demikian
keras menggelegar. Sang Raja sampai melonjak terkejut. “Kau ini, pelankan
suaramu!” keluh Raja mengatasi keterkejutannya. Buto Gunung tertawa, ia sudah
memelankan suaranya tetapi tetap saja masih terdengar menggelegar.
Buto
Gunung lalu mengambil sebuah kotak kayu yang sudah lusuh. Kotak itu berdebu,
banyak sarang laba-laba memenuhi permukaannya. Dengan hati-hati Buto Gunung
membuka kotak itu dan mengambil isinya lalu mengangkat benda itu tinggi-tinggi.
“Inilah pusaka ajaib yang akan mengatasi masalahmu!” kata Buto Gunung mantap.
Raja mengangkat alisnya, ia heran bercampur ragu. Ia sempat berpikir apakah
Buto Gunung masih bercanda menggodanya. Raja berharap ia akan menyaksikan Buto
Gunung mengangkat keris berukir yang indah, atau tongkat sihir yang cantik dari
emas dan perak. Tapi ternyata yang diangkat oleh Buto Gunung adalah……sebuah
centong nasi dari kayu yang warnanya sudah menghitam dan beberapa sisinya
gosong bekas jilatan api. Raja terbengong melihat benda yang disebut pusaka itu,“Maksudmu…ini
pusaka ajaib? “, tanya raja dengan kata yang diucapkan lambat-lambat penuh
keraguan dan terdengar meremehkan. Raja kemudian tertawa lalu katanya
lagi,”Memangnya apa yang bisa kulakukan dengan centong nasi gosong begitu?”
Buto
Gunung melotot,”Kamu ini! Jangan meremehkan pusaka nenek moyangku” bentak Buto
Gunung setengah tersinggung. Suara Buto Gunung kembali membuat Raja terkejut
hingga melompat ke belakang. Wajah sahabatnya itu sebenarnya sudah mengerikan
meskipun ia tersenyum. Sekarang ketika ia melotot dengan kedua matanya yang
tampak hampir copot, wajah Buto Gunung bukan lagi mengerikan lagi tapi luar
biasa menyeramkan. Buto Gunung segera memalingkan mukanya melihat Raja tampak
ketakutan, ia tidak ingin membuat sahabat satu-satunya itu takut padanya.
“Maaf, aku tidak marah…..maaf membuatmu takut….” Kata Buto Gunung. Lalu ia
menjelaskan apa kegunaan Centong kayu itu. Meskipun bentuknya buruk, centong
kayu yang telah gosong itu bisa mengambil makanan dari perut para penduduk yang
kekenyangan. Centong itu harus ditempelkan di perut setiap penduduk dan
digerakkan memutar seperti saat menyendok nasi. Gerakan itu harus dilakukan 3
kali, maka sakit kekenyangan penduduk akan hilang.
Raja
tertegun menerima centong kayu itu. Ia berusaha memahami kata-kata temannya
untuk bisa mempercayainya. “Pergilah, segera sembuhkan rakyatmu.” Kata Buto
Gunung mengingatkan. Raja mengucapkan terima kasih lalu ia bersiap untuk pergi.
Namun tiba-tiba Raja menghentikan langkahnya karena terpikir sesuatu olehnya.
Ia berbalik menghadap Buto Gunung lalu katanya, “Em…teman, bukankah kau selalu
kesepian sendirian di sini?” Buto Gunung mengangguk sambil merasa heran mengapa
Raja bertanya demikian. Lalu Sang Raja melanjutkan kata-katanya,” Ikutlah
denganku untuk menyembuhkan rakyatku dengan centongmu ini. Tunjukkan kepada
mereka bahwa kau sebenarnya baik meskipun wajahmu sedikit menyeramkan.” Buto
Gunung tampak ragu, ia bisa membayangkan bahwa tidak ada penduduk yang akan
menerimanya sebagai teman karena mereka selalu takut setiap kali melihat wajah
buruknya yang menyeramkan. Tapi raja terus membujuknya. Akhirnya Buto Gunungpun
setuju. Ia Pergi ke kerajaan Watu Gunung untuk menyembuhkan penduduk.
Awalnya
banyak penduduk yang ketakutan, tetapi Raja berhasil meyakinkan mereka bahwa
Buto Gunung bermaksud mengobati mereka dan tidak memiliki niat jahat. Rakyatpun
kemudian percaya karena ternyata Watu Gunung memang baik. Ia bahkan bisa
berbicara dengan lucu ketika mengobati anak-anak. Ia berpesan kepada seluruh anak untuk tidak
bersikap rakus saat makan supaya tidak berperut badut seperti dirinya.
Hari
itu seluruh rakyat Watu Gunung disembuhkan. Mereka bergembira kembali dan
berterima kasih kepada Buto Gunung. Sejak hari itu, Buto Gunung diterima
penduduk sebagai sahabat mereka. Kini Buto Gunung tidak perlu lagi menyembunyikan
diri di dalam goa di puncak gunung. Raja bahkan menyediakan tempat tinggal bagi
sahabat baiknya itu. Buto Gunung sekarang memiliki banyak teman dan selalu
bergembira. Tak lupa, centong nasi ajaib itu selalu dibawanya untuk
menyembuhkan setiap anak yang rakus dan kekenyangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar