Cerita ini dalah kelanjutan dari Capung Rawa 1
Dua hari berlalu, Piko selalu menemani Tutu dan membantunya mencari makan. Hari itu matahari bersinar terang, udara terasa hangat, Piko sedang mondar-mandir mencari makanan untuk Tutu. Baru saja Piko memasukkan seekor ulat ke mulut Tutu, tiba-tiba muncul seekor elang yang sangat besar. Sayapnya yang lebar masih setengah terentang, kaki-kakinya begitu kokoh dengan kuku-kuku jari yang runcing. Elang itu terkejut melihat Piko berada di dalam sarang. Matanya tajam mengerikan, ia penuh curiga memandang Piko. Elang besar itu tampak marah dan mendekati Piko sambil berteriak,”Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?” Tanpa menunggu jawaban dari Piko yang ketakutan, Elang itu mendekati Piko dengan cepat bersiap hendak mematuknya.
Dua hari berlalu, Piko selalu menemani Tutu dan membantunya mencari makan. Hari itu matahari bersinar terang, udara terasa hangat, Piko sedang mondar-mandir mencari makanan untuk Tutu. Baru saja Piko memasukkan seekor ulat ke mulut Tutu, tiba-tiba muncul seekor elang yang sangat besar. Sayapnya yang lebar masih setengah terentang, kaki-kakinya begitu kokoh dengan kuku-kuku jari yang runcing. Elang itu terkejut melihat Piko berada di dalam sarang. Matanya tajam mengerikan, ia penuh curiga memandang Piko. Elang besar itu tampak marah dan mendekati Piko sambil berteriak,”Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?” Tanpa menunggu jawaban dari Piko yang ketakutan, Elang itu mendekati Piko dengan cepat bersiap hendak mematuknya.
· Tutu baru saja menelan
seekor ulat, mulutnya tertahan untuk bersuara sampai ulat itu berhasil
ditelannya. Namun melihat elang besar itu yang ternyata adalah ibunya, dan
terlihat marah hendak menyerang Piko, Tutu segera berteriak. “Ibu…! Jangan..!
dia temanku!” Tutu berhasil berteriak namun ia tersedak ulat yang belum
berhasil ditelannya. Ibu elang segera menolong Tutu dan batal menyerang
Piko. Setelah Tutu berhasil mengatasi
tersedaknya, Tutu segera menjelaskan siapa teman baru yang telah menyelamatkan
dirinya. Pikolah ynag menjaga Tutu selama ibunya tidak kembali.
Ibu Elang yang tadinya
tampak marah mengerikan, sekarang terharu dan berterima kasih kepada Piko. Sudah
dua hari ibu elang tak bisa kembali ke sarang karena terhalang oleh badai, berkat
pertolongan Piko, Tutu masih hidup meskipun sudah ditinggal 2 hari. Ibu Elang meminta
maaf kepada Piko, kemudian menerima Piko tinggal bersamanya.
Piko merasa senang
tinggal di rumah Tutu, saat Tutu mulai berbulu dan bisa mengepakkan sayapnya, Piko
menjadi teman terbaik untuk latihan terbang. Di lain pihak, piko mendapatkan
pengajaran cara terbang yang hebat seperti burung elang. Ibu elang mengajarinya
terbang dengan penuh kesabaran, tidak seperti ayahnya yang selalu marah-marah. Setelah
beberapa bulan tinggal bersama, kini Tutu dan Piko adalah ahli terbang yang
hebat.
Suatu hari, tak
sengaja Piko memperhatikan bagaimana ibu Elang sangat menyayangi Tutu. Saat itu
Tutu terluka memar sehabis menabrak sebuah dahan saat latihan, ibu Elang segera
memeluknya dan mengelus bagian yang sakit. Dengan penuh kasih sayang, ibu elang
mengucapkan kata-kata yang menenangkan hingga Tutu berhenti menangis. Piko
tertegun, ia teringat ibunya di rawa. Setiap kali piko terjatuh saat latihan
dan dimarahi ayahnya, ibu selalu datang untuk menolongnya. Piko juga teringat
kakaknya, Barka. Piko selalu iri padanya, tetapi jauh di dalam hati, Piko
sangat mengagumi kakaknya yang hebat dan begitu baik. Apapun keluhan Piko tak
membuat Barka memarahinya. Barka lebih banyak diam tetapi selalu berada di
samping Piko untuk melindungi.
Kenangan-kenangan itu
membuat Piko merasa rindu. Ia termenung bertengger di pucuk daun tinggi.
Matanya mengitari pemandangan luas kearah rawa tempatnya tinggal. Rawa itu
tampak kecil sekali dari tempatnya bertengger. Bagaiman kabar keluarganya?
Tanya Piko dalam hati.
“Ibumu pasti sangat
merindukanmu nak,” kata Ibu elang dengan lembut ketika mendekati Piko yang
tampak sedih sambil memandang kearah rawa yang jauh di lembah. Piko tertunduk
sedih, “Aku telah meninggalkan mereka dengan kemarahan, aku pergi tanpa pamit,
aku malu untuk kembali…”
Ibu elang tersenyum,
“Bagi seorang ibu, yang kamu lakukan itu bukanlah kesalahan besar, cinta kami
kepada anak-anak tetap sama, tak akan berkurang sedikitpun meskipun anak-anak
kami sangat keterlaluan.”
Piko memandang ibu
elang tak percaya, ”Mungkin kau benar….tapi….aku malu….”
Ibu elang tersenyum lagi,
“Piko, sudah lama aku tidak mengajak Tutu berjalan-jalan jauh, maukah kau
menunjukkan rawa desa tempat tinggalmu itu kepada kami?” Tutu selalu
penasaran, seperti apa tempat tinggalmu”.
Piko berpikir
sejenak, ”Apa…apa ibu elang mau menemaniku menemui keluargaku?”
Ibu elang tertawa lalu
merangkul piko diantara sayapnya yang lembut, “Tentu saja Piko, aku ingin
sekali bertemu keluargamu. Kau anak yang sangat baik dan pintar, aku ingin
berterima kasih kepada mereka yang telah menanamkan kebaikan di hatimu.”
Piko tersenyum, dalam
hati ia merasa senang untuk kembali ke desanya meskipun masih saja ada perasaan
malu untuk kembali kepada mereka yang sudah dimarahinya, terutama Barka.
Pagi itu, Ibu Elang,
Tutu dan Piko bersama-sama terbang menuju ke arah rawa tempat tinggal Piko.
Mereka adalah penerbang yang hebat, meskipun jaraknya jauh, mereka tidak
membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mencapai rawa desa Piko.
Jantung Piko
berdebar-debar ketika dari ketinggian terbang ia melihat kilauan air rawa yang memantulkan
sinar matahari, di tempat itulah dulu ia setiap hari berlatih bersama ayah dan
kedua kakaknya. Perlahan ia terbang merendah menuju permukaan rawa dan berharap
bisa menemukan teman-teman ataupun keluarganya yang biasa mondar-mandir di situ.
Semakin mendekati
rawa, Piko mulai melihat dengan jelas tumbuh-tumbuhan rawa yang menjulang di
sana sini. Semakin mendekati permukaan air, piko mulai melihat rumput-rumputan
yang memenuhi permukaan rawa. Namun belum jauh ia memasuki area rawa, piko
terkejut dengan bentuk-bentuk pohon dan rumputan yang porak poranda. Daun-daun
tercabik, ranting-ranting patah, . dan air rawa yang tampak keruh bercampur
lumpur. Piko semakin jauh terbang menjelajah rawa, iapun keheranan mengapa dari
tadi tak menjumpai seekor capungpun di sekitar tempatnya latihan dahulu. Dan
berbagai kerusakan itu, siapa yang sudah membuatnya? Piko tertegun. Ia berhenti
terbang dan bertengger di sebuah ranting pohon. Tutu dan ibu elang mendekatinya
dan bertanya,”apa yang terjadi?”
Piko pun bingung, “Desaku
tidak seperti ini saat aku tinggalkan, apa yang sebenarnya terjadi?” Dengan
perasaan galau, piko segera terbang menuju rumahnya yang terletak di tengah
rawa. Kali ini Piko dibuat terkejut bukan main, rumahnya telah hancur tak
berbentuk, di sana sini tampak ranting dan daun-daun patah. Segala perasaan
ngeri mendadak terbayang di dalam benaknya, apa yang terjadi dengan
keluarganya, di mana mereka. Tiba-tiba saja piko berteriak, ”Apa yang terjadi,
dimana keluargaku?!!” Piko mulai menangis, ia terbang ke sana kemari dengan
kebingungan sambil berteriak memanggil-manggil keluarganya..
Induk elang dan
Tutu merasa iba melihat Piko. Mereka segera mengedarkan pandangan. Penglihatan
mereka terkenal sangat tajam. Mata elang mampu melihat binatang bergerak dalam
jarak yang sangat jauh. “Di sana!” seru ibu elang sambil terbang melesat kearah sebuah pohon. Piko dan Tutu segera mengikuti. Rupanya ibu elang menemukan
seekor capung kecil bersembunyi di antara daun. Capung kecil itu ketakutan, ia
meringkuk gemetaran di antara helai daun. Piko mendekati capung itu, dan ia
berseru sambil memeluk capung itu. “Kak Cipi!” teriak Piko menemukan kakak
perempuannya. Cipipun terkejut, ia menangis menemukan adik kecilnya yang telah
lama hilang.
Merekapun menangis berpelukan. “Apa yang terjadi?” Tanya Piko tak
sabaran. Baru saja Cipi hendak menjawab, tiba-tiba muncul segerombolan bebek coklat
yang berbondong-bondong mendarat ke arah rawa itu. Kawanan itu begitu banyak,
mungkin ribuan jumlahnya. Suaranya demikian berisik bersahut-sahutan.
Bebek-bebek itu mendarat satu persatu di rawa. Kaki dan sayap mereka mematahkan
tumbuh-tumbuhan rawa. Paruh mereka yang lebar segera menyusuri permukaan lumpur
untuk menangkap berbagai ikan kecil, cacing ataupun serangga.
Beberapa dari
mereka memakan daun-daun tanaman. Tak satupun tanaman di rawa itu yang masih
utuh. Semua telah terluka oleh kawanan bebek. Cipi gemetaran bersembunyi lebih
dalam di balik daun, dengan terbata ia berucap, ”merekalah yang sudah merusak
rumah kita, dan…beberapa teman kita …hu….hu….dimakan oleh mereka…hu..hu..” Cipi
pun menangis, ia menutupi muka dengan tangan-tangannya yang kecil, katanya lagi, ”Bahkan Barka….”
Kata-kata Cipi tersendat oleh tangisnya dan membuat jantung Piko berdegup
demikian kencang, apa yang terjadi dengan Barka kakak yang dikaguminya itu.
Piko tak sabaran,”Apa yang terjadi dengan Barka?!! Di mana dia?!!” teriak Piko
mendesak Cipi.
Cipi masih mengendalikan tangisnya sejenak barulah kemudian ia
menjawab,” Barka kehilangan salah satu sayapnya….” Piko tercenung, ia lega
karena Barka selamat tetapi mendadak kepedihan merasuki hatinya mengingat Barka
adalah penerbang terbaik di rawa itu. Bagaimana perasaan Barka sekarang ketika
sayap kebanggaannya itu telah hilang. Ibu Elang mendekati Piko untuk
menghiburnya dan ia menyarankan agar Piko segera menemui keluarganya. Cipi
terbang memasuki hutan dan membawa mereka ke tempat persembunyian yang aman
dari para bebek.
Di sana telah berkumpul sisa-sisa penduduk capung yang masih
selamat. Semua capung itu bergegas sembunyi ketakutan ketika melihat Ibu Elang
dan Tutu. Mereka mengira bahwa kedua unggas itu akan memangsa mereka. Namun
Cipi kemudian berteriak dan menjelaskan bahwa kedua burung elang itu adalah
sahabat Piko, adiknya yang telah lama menghilang kini kembali ke desanya.
Ayah
dan ibu piko segera terbang menyambutnya. Ibu Piko menangis memeluk piko dan
ayahnya tersenyum haru melihat piko baik-baik saja. Piko kemudian mengalihkan
pandangannya mencari Barka. Kakak yang selama ini dikaguminya itu kini tampak
lesu bertengger saja di atas batang pohon.
Wibawa kebanggaaanya tampak
menghilang. Barka menyambut adiknya tanpa kata-kata, ia hanya tersenyum haru
sambil berbisik, “Aku senang kau pulang, kau tampak hebat sekarang. Dan kau
akan lebih hebat nanti ” Piko menangis, dalam keadaan kakaknya yang sudah cacat
itu, ia masih saja memberikan pujian seperti biasa untuk menghibur dirinya.
Kata-kata Barka itu selalu menyemangatinya ketika Piko hampir putus asa saat
latihan.
Perasaan Piko kini
dipenuhi dengan amarah terhadap bebek-bebek yang telah merusak desanya dan
membawa banyak korban. Ia meneguhkan hatinya untuk memulihkan keadaan desa.
“Kita harus mengusir bebek-bebek itu!” kata Piko penuh tekad. Semua capung yang
mendengarnya tertegun namun kemudian mereka tertawa mengejek. Ungkapan Piko itu
terlalu berlebihan bagi mereka.
Bagaimana mungkin capung-capung kecil itu bisa
mengusir bebek-bebek itu? Satu ekor bebek saja sanggup melukai semua
capung-capung itu, apalagi ribuan bebek. Piko melihat semua penduduk rawa itu
mentertawakannya, hal seperti ini dulu sudah sering terjadi saat ia melakukan
kesalahan dalam latihan. Mereka tertawa dan mengganggap piko tidak memiliki
kepandaian. Biasanya ayahnya akan segera menghampiri dan memarahinya. Piko
berusaha menahan ejekan-ejekan itu.
Ia mengingatkan dirinya bahwa hal seperti
itu sudah biasa ia hadapi. Tapi kali ini piko merasa heran, ayahnya diam
memandangnya tanpa memarahinya. Piko memandang ayahnya dan bertanya-tanya apa
yang akan dilakukan ayahnya. Suasana menjadi hening sesaat, lalu tanpa diduga
ayahnya tersenyum dan berkata,” Aku akan membantumu nak, apa kau punya
rencana?”
Piko
tercengang-cengang mendengar perkataan ayahnya, selama ini ayah tak pernah
memujinya ataupun mempercayai bahwa piko bisa berhasil. Piko tak habis pikir
bagaiman ayah bisa mendukungnya diantara semua orang yang mentertawakannya. Air
mata piko mengalir deras karena terharu dengan perubahan ayahnya itu. Namun
piko tak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik itu, kali ini piko ingin menunjukkan bahwa ia mampu
melakukan hal yang berguna bagi desanya.
Piko segera terbang mendekati telinga ibu Elang. Ia membisikkan beberapa
kalimat dan membuat ibu elang itu tersenyum, lalu berkata kepada Tutu, “Tutu
anakku, piko telah berjasa menyelamatkanmu saat badai datang, sekarang saatnya
bagimu untuk memmbalas kebaikannya. Ayo, ada beberapa hal yang harus kita
kerjakan.” Tutu tak mengerti namun ia mematuhi perintah ibunya, kedua elang itu
segera terbang tinggi menuju hutan tempat tinggal mereka.
Piko segera mengatur
rencana. Ia meminta beberapa capung yang mau berjuang untuk desanya. Saat itu
hanya ada sekitar 10 capung yang mau membantu Piko. Itu sudah cukup bagi piko. Piko
kemudian mengatur rencana.
Pagi buta, sekawanan
bebek kembali mendatangi rawa. Piko dan teman-temannya menghadang rombongan
bebek itu. Tanpa rasa takut mereka mendatangi pemimpin rombongan yang baru saja
mendarat di pinggir rawa. Piko berteriak dan meminta bebek-bebek itu
meninggalkan rawa mereka karena kelakuan bebek-bebek itu maka seluruh rawa
menjadi rusak dan binatang-binatang kecil yang semula menghuni rawa dengan
damai kini kehilangan tempat tinggalnya. Mereka banyak yang terluka dan
kehilangan anggota keluarganya.
Bebek-bebek itu
tertawa mendengar teriakan piko yang begitu kecil. Si pemimpin bebek itu bahkan
mengejeknya karena badan piko yang kecil tampak lemah dibandingkan dengan
dirinya. “Hah, berani sekali kau menantangku, badanmu yang kecil itu hanya
menjadi makanan ringan bagiku, ha..ha, memangnya apa yang bisa kau lakukan?
Jutaan capung sepertimu tak akan sanggup melawanku!” kata pemimpin bebek itu
diikuti tawa teman-temannya.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar