Senin, 05 Juni 2017

Capung Rawa 2 (lanjutan Capung Rawa 1)

Dongeng Bijak Anak, dongeng anak, cerita anak, capung, rawa

Cerita ini dalah kelanjutan dari Capung Rawa 1

Dua hari berlalu, Piko selalu menemani Tutu dan membantunya mencari makan. Hari itu matahari bersinar terang, udara terasa hangat, Piko sedang mondar-mandir mencari makanan untuk Tutu. Baru saja Piko memasukkan seekor ulat ke mulut Tutu, tiba-tiba muncul seekor elang yang sangat besar. Sayapnya yang lebar masih setengah terentang, kaki-kakinya begitu kokoh dengan kuku-kuku jari yang runcing. Elang itu terkejut melihat Piko berada di dalam sarang. Matanya tajam mengerikan, ia  penuh curiga memandang Piko. Elang besar itu tampak marah dan mendekati Piko sambil berteriak,”Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?” Tanpa menunggu jawaban dari Piko yang ketakutan, Elang itu mendekati Piko dengan cepat bersiap hendak mematuknya.


·    Tutu baru saja menelan seekor ulat, mulutnya tertahan untuk bersuara sampai ulat itu berhasil ditelannya. Namun melihat elang besar itu yang ternyata adalah ibunya, dan terlihat marah hendak menyerang Piko, Tutu segera berteriak. “Ibu…! Jangan..! dia temanku!” Tutu berhasil berteriak namun ia tersedak ulat yang belum berhasil ditelannya. Ibu elang segera menolong Tutu dan batal menyerang Piko.  Setelah Tutu berhasil mengatasi tersedaknya, Tutu segera menjelaskan siapa teman baru yang telah menyelamatkan dirinya. Pikolah ynag menjaga Tutu selama ibunya tidak kembali.

Ibu Elang yang tadinya tampak marah mengerikan, sekarang terharu dan berterima kasih kepada Piko. Sudah dua hari ibu elang tak bisa kembali ke sarang karena terhalang oleh badai, berkat pertolongan Piko, Tutu masih hidup meskipun sudah ditinggal 2 hari. Ibu Elang meminta maaf kepada Piko, kemudian menerima Piko tinggal bersamanya.

Piko merasa senang tinggal di rumah Tutu, saat Tutu mulai berbulu dan bisa mengepakkan sayapnya, Piko menjadi teman terbaik untuk latihan terbang. Di lain pihak, piko mendapatkan pengajaran cara terbang yang hebat seperti burung elang. Ibu elang mengajarinya terbang dengan penuh kesabaran, tidak seperti ayahnya yang selalu marah-marah. Setelah beberapa bulan tinggal bersama, kini Tutu dan Piko adalah ahli terbang yang hebat.

Suatu hari, tak sengaja Piko memperhatikan bagaimana ibu Elang sangat menyayangi Tutu. Saat itu Tutu terluka memar sehabis menabrak sebuah dahan saat latihan, ibu Elang segera memeluknya dan mengelus bagian yang sakit. Dengan penuh kasih sayang, ibu elang mengucapkan kata-kata yang menenangkan hingga Tutu berhenti menangis. Piko tertegun, ia teringat ibunya di rawa. Setiap kali piko terjatuh saat latihan dan dimarahi ayahnya, ibu selalu datang untuk menolongnya. Piko juga teringat kakaknya, Barka. Piko selalu iri padanya, tetapi jauh di dalam hati, Piko sangat mengagumi kakaknya yang hebat dan begitu baik. Apapun keluhan Piko tak membuat Barka memarahinya. Barka lebih banyak diam tetapi selalu berada di samping Piko untuk melindungi.

Kenangan-kenangan itu membuat Piko merasa rindu. Ia termenung bertengger di pucuk daun tinggi. Matanya mengitari pemandangan luas kearah rawa tempatnya tinggal. Rawa itu tampak kecil sekali dari tempatnya bertengger. Bagaiman kabar keluarganya? Tanya Piko dalam hati.

“Ibumu pasti sangat merindukanmu nak,” kata Ibu elang dengan lembut ketika mendekati Piko yang tampak sedih sambil memandang kearah rawa yang jauh di lembah. Piko tertunduk sedih, “Aku telah meninggalkan mereka dengan kemarahan, aku pergi tanpa pamit, aku malu untuk kembali…”

Ibu elang tersenyum, “Bagi seorang ibu, yang kamu lakukan itu bukanlah kesalahan besar, cinta kami kepada anak-anak tetap sama, tak akan berkurang sedikitpun meskipun anak-anak kami sangat keterlaluan.”

Piko memandang ibu elang tak percaya, ”Mungkin kau benar….tapi….aku malu….”
Ibu elang tersenyum lagi, “Piko, sudah lama aku tidak mengajak Tutu berjalan-jalan jauh, maukah kau menunjukkan rawa desa tempat tinggalmu itu kepada kami?” Tutu selalu penasaran, seperti apa tempat tinggalmu”.

Piko berpikir sejenak, ”Apa…apa ibu elang mau menemaniku menemui keluargaku?”
Ibu elang tertawa lalu merangkul piko diantara sayapnya yang lembut, “Tentu saja Piko, aku ingin sekali bertemu keluargamu. Kau anak yang sangat baik dan pintar, aku ingin berterima kasih kepada mereka yang telah menanamkan kebaikan di hatimu.”

Piko tersenyum, dalam hati ia merasa senang untuk kembali ke desanya meskipun masih saja ada perasaan malu untuk kembali kepada mereka yang sudah dimarahinya, terutama Barka.
Pagi itu, Ibu Elang, Tutu dan Piko bersama-sama terbang menuju ke arah rawa tempat tinggal Piko. Mereka adalah penerbang yang hebat, meskipun jaraknya jauh, mereka tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mencapai rawa desa Piko.

Jantung Piko berdebar-debar ketika dari ketinggian terbang ia melihat kilauan air rawa yang memantulkan sinar matahari, di tempat itulah dulu ia setiap hari berlatih bersama ayah dan kedua kakaknya. Perlahan ia terbang merendah menuju permukaan rawa dan berharap bisa menemukan teman-teman ataupun keluarganya yang biasa mondar-mandir di situ.

Semakin mendekati rawa, Piko mulai melihat dengan jelas tumbuh-tumbuhan rawa yang menjulang di sana sini. Semakin mendekati permukaan air, piko mulai melihat rumput-rumputan yang memenuhi permukaan rawa. Namun belum jauh ia memasuki area rawa, piko terkejut dengan bentuk-bentuk pohon dan rumputan yang porak poranda. Daun-daun tercabik, ranting-ranting patah, . dan air rawa yang tampak keruh bercampur lumpur. Piko semakin jauh terbang menjelajah rawa, iapun keheranan mengapa dari tadi tak menjumpai seekor capungpun di sekitar tempatnya latihan dahulu. Dan berbagai kerusakan itu, siapa yang sudah membuatnya? Piko tertegun. Ia berhenti terbang dan bertengger di sebuah ranting pohon. Tutu dan ibu elang mendekatinya dan bertanya,”apa yang terjadi?”

Piko pun bingung, “Desaku tidak seperti ini saat aku tinggalkan, apa yang sebenarnya terjadi?” Dengan perasaan galau, piko segera terbang menuju rumahnya yang terletak di tengah rawa. Kali ini Piko dibuat terkejut bukan main, rumahnya telah hancur tak berbentuk, di sana sini tampak ranting dan daun-daun patah. Segala perasaan ngeri mendadak terbayang di dalam benaknya, apa yang terjadi dengan keluarganya, di mana mereka. Tiba-tiba saja piko berteriak, ”Apa yang terjadi, dimana keluargaku?!!” Piko mulai menangis, ia terbang ke sana kemari dengan kebingungan sambil berteriak memanggil-manggil keluarganya.. 

Induk elang dan Tutu merasa iba melihat Piko. Mereka segera mengedarkan pandangan. Penglihatan mereka terkenal sangat tajam. Mata elang mampu melihat binatang bergerak dalam jarak yang sangat jauh. “Di sana!” seru ibu elang sambil terbang melesat kearah sebuah pohon. Piko dan Tutu segera mengikuti. Rupanya ibu elang menemukan seekor capung kecil bersembunyi di antara daun. Capung kecil itu ketakutan, ia meringkuk gemetaran di antara helai daun. Piko mendekati capung itu, dan ia berseru sambil memeluk capung itu. “Kak Cipi!” teriak Piko menemukan kakak perempuannya. Cipipun terkejut, ia menangis menemukan adik kecilnya yang telah lama hilang. 

Merekapun menangis berpelukan. “Apa yang terjadi?” Tanya Piko tak sabaran. Baru saja Cipi hendak menjawab, tiba-tiba muncul segerombolan bebek coklat yang berbondong-bondong mendarat ke arah rawa itu. Kawanan itu begitu banyak, mungkin ribuan jumlahnya. Suaranya demikian berisik bersahut-sahutan. Bebek-bebek itu mendarat satu persatu di rawa. Kaki dan sayap mereka mematahkan tumbuh-tumbuhan rawa. Paruh mereka yang lebar segera menyusuri permukaan lumpur untuk menangkap berbagai ikan kecil, cacing ataupun serangga. 

Beberapa dari mereka memakan daun-daun tanaman. Tak satupun tanaman di rawa itu yang masih utuh. Semua telah terluka oleh kawanan bebek. Cipi gemetaran bersembunyi lebih dalam di balik daun, dengan terbata ia berucap, ”merekalah yang sudah merusak rumah kita, dan…beberapa teman kita …hu….hu….dimakan oleh mereka…hu..hu..” Cipi pun menangis, ia menutupi muka dengan tangan-tangannya yang kecil, katanya lagi, ”Bahkan Barka….” Kata-kata Cipi tersendat oleh tangisnya dan membuat jantung Piko berdegup demikian kencang, apa yang terjadi dengan Barka kakak yang dikaguminya itu. Piko tak sabaran,”Apa yang terjadi dengan Barka?!! Di mana dia?!!” teriak Piko mendesak Cipi. 

Cipi masih mengendalikan tangisnya sejenak barulah kemudian ia menjawab,” Barka kehilangan salah satu sayapnya….” Piko tercenung, ia lega karena Barka selamat tetapi mendadak kepedihan merasuki hatinya mengingat Barka adalah penerbang terbaik di rawa itu. Bagaimana perasaan Barka sekarang ketika sayap kebanggaannya itu telah hilang. Ibu Elang mendekati Piko untuk menghiburnya dan ia menyarankan agar Piko segera menemui keluarganya. Cipi terbang memasuki hutan dan membawa mereka ke tempat persembunyian yang aman dari para bebek. 

Di sana telah berkumpul sisa-sisa penduduk capung yang masih selamat. Semua capung itu bergegas sembunyi ketakutan ketika melihat Ibu Elang dan Tutu. Mereka mengira bahwa kedua unggas itu akan memangsa mereka. Namun Cipi kemudian berteriak dan menjelaskan bahwa kedua burung elang itu adalah sahabat Piko, adiknya yang telah lama menghilang kini kembali ke desanya. 

Ayah dan ibu piko segera terbang menyambutnya. Ibu Piko menangis memeluk piko dan ayahnya tersenyum haru melihat piko baik-baik saja. Piko kemudian mengalihkan pandangannya mencari Barka. Kakak yang selama ini dikaguminya itu kini tampak lesu bertengger saja di atas batang pohon. 

Wibawa kebanggaaanya tampak menghilang. Barka menyambut adiknya tanpa kata-kata, ia hanya tersenyum haru sambil berbisik, “Aku senang kau pulang, kau tampak hebat sekarang. Dan kau akan lebih hebat nanti ” Piko menangis, dalam keadaan kakaknya yang sudah cacat itu, ia masih saja memberikan pujian seperti biasa untuk menghibur dirinya. Kata-kata Barka itu selalu menyemangatinya ketika Piko hampir putus asa saat latihan.

Perasaan Piko kini dipenuhi dengan amarah terhadap bebek-bebek yang telah merusak desanya dan membawa banyak korban. Ia meneguhkan hatinya untuk memulihkan keadaan desa. “Kita harus mengusir bebek-bebek itu!” kata Piko penuh tekad. Semua capung yang mendengarnya tertegun namun kemudian mereka tertawa mengejek. Ungkapan Piko itu terlalu berlebihan bagi mereka. 

Bagaimana mungkin capung-capung kecil itu bisa mengusir bebek-bebek itu? Satu ekor bebek saja sanggup melukai semua capung-capung itu, apalagi ribuan bebek. Piko melihat semua penduduk rawa itu mentertawakannya, hal seperti ini dulu sudah sering terjadi saat ia melakukan kesalahan dalam latihan. Mereka tertawa dan mengganggap piko tidak memiliki kepandaian. Biasanya ayahnya akan segera menghampiri dan memarahinya. Piko berusaha menahan ejekan-ejekan itu. 

Ia mengingatkan dirinya bahwa hal seperti itu sudah biasa ia hadapi. Tapi kali ini piko merasa heran, ayahnya diam memandangnya tanpa memarahinya. Piko memandang ayahnya dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan ayahnya. Suasana menjadi hening sesaat, lalu tanpa diduga ayahnya tersenyum dan berkata,” Aku akan membantumu nak, apa kau punya rencana?”

Piko tercengang-cengang mendengar perkataan ayahnya, selama ini ayah tak pernah memujinya ataupun mempercayai bahwa piko bisa berhasil. Piko tak habis pikir bagaiman ayah bisa mendukungnya diantara semua orang yang mentertawakannya. Air mata piko mengalir deras karena terharu dengan perubahan ayahnya itu. Namun piko tak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik itu, kali ini  piko ingin menunjukkan bahwa ia mampu melakukan hal yang berguna bagi desanya.  

Piko segera terbang mendekati telinga ibu Elang. Ia membisikkan beberapa kalimat dan membuat ibu elang itu tersenyum, lalu berkata kepada Tutu, “Tutu anakku, piko telah berjasa menyelamatkanmu saat badai datang, sekarang saatnya bagimu untuk memmbalas kebaikannya. Ayo, ada beberapa hal yang harus kita kerjakan.” Tutu tak mengerti namun ia mematuhi perintah ibunya, kedua elang itu segera terbang tinggi menuju hutan tempat tinggal mereka.

Piko segera mengatur rencana. Ia meminta beberapa capung yang mau berjuang untuk desanya. Saat itu hanya ada sekitar 10 capung yang mau membantu Piko. Itu sudah cukup bagi piko. Piko kemudian mengatur rencana.

Pagi buta, sekawanan bebek kembali mendatangi rawa. Piko dan teman-temannya menghadang rombongan bebek itu. Tanpa rasa takut mereka mendatangi pemimpin rombongan yang baru saja mendarat di pinggir rawa. Piko berteriak dan meminta bebek-bebek itu meninggalkan rawa mereka karena kelakuan bebek-bebek itu maka seluruh rawa menjadi rusak dan binatang-binatang kecil yang semula menghuni rawa dengan damai kini kehilangan tempat tinggalnya. Mereka banyak yang terluka dan kehilangan anggota keluarganya.


Bebek-bebek itu tertawa mendengar teriakan piko yang begitu kecil. Si pemimpin bebek itu bahkan mengejeknya karena badan piko yang kecil tampak lemah dibandingkan dengan dirinya. “Hah, berani sekali kau menantangku, badanmu yang kecil itu hanya menjadi makanan ringan bagiku, ha..ha, memangnya apa yang bisa kau lakukan? Jutaan capung sepertimu tak akan sanggup melawanku!” kata pemimpin bebek itu diikuti tawa teman-temannya. 

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar