Setiap malam tahun baru tiba, Bukit Wisata Kaliurang di lereng Gunung
Merapi Yogyakarta menggelar acara pesta kembang api. Masyarakat
berbondong-bondong ke area bukit. Iring-iringan mobil dan motor bergerak
merayap padat bagai ular naga yang mendaki lereng Merapi. Suaranya
meraung-raung di tengah hiruk pikuk kemacetan. Sangat bising. Semua orang ingin
menikmati indahnya kembang api yang akan dinyalakan nanti malam untuk
menyongsong datangnya Tahun Baru.
Sekelompok burung Murai
hidup di antara pohon cemara bukit Kaliurang. Biasanya mereka
menikmati kesunyian hutan dengan bertengger di pucuk-pucuk pohon sambil
bercengkerama dengan kicauan indahnya. Hutan itu sungguh nyaman, jauh dari
keramaian kota, hanya beberapa kendaraan saja yang kadang melintasi jalan setapak
beraspal menuju puncak Gunung Merapi.
Hari itu, matahari beranjak terbenam, awan-awan kelabu telah menantinya
untuk meninabobokkan sang surya dalam tidur yang lelap. Burung-burung mulai
terbang kembali ke sarang-sarang mereka.
Di sebuah sarang yang indah, burung Murai kecil baru saja belajar terbang.
Ia sangat bangga dapat mengepakkan sayapnya dan membuatnya terbang mengelilingi
pohon yang menjadi rumahnya. “Ayah, lihat! Aku sudah bisa terbang!” seru Muri
si burung Murai kecil. Badannya kecil tetapi sangat lincah. Di matanya tampak
sorot keberanian yang tangguh. Ayahnya tersenyum bangga melihat Muri begitu
cepat menguasai cara terbang dan menyelinap di antara dahan tanpa menabrak
ranting-rantingnya.
Matahari kian tenggelam, separuh lingkarannya telah terbenam dalam
pelukan sang awan. Cahayanya meredup dan menjadikan lereng Gunung Merapi
dibayangi malam. Tak biasanya jalan setapak Bukit Kaliurang yang selalu sunyi itu kini
dipenuhi dengan kendaraan hingga berderet-deret. Suara raungan mesin-mesin
mereka terasa mulai mengganggu kawanan Burung Murai. Mereka bersembunyi di
balik dahan dan daun-daunan untuk mengintip keramaian. Muri kecil menyusul
ayahnya yang pergi untuk memeriksa keadaan. “Ayah, apa yang terjadi? Mengapa
manusia-manusia itu berkumpul di sini?” bisik Muri kepada ayahnya. Ayah adalah
pemimpin kawanan Burung Murai di wilayah itu.
Begitu mendapat laporan dari
warganya, ayah langsung pergi mendekati iring-iringan itu untuk memeriksa.
Beberapa burung murai tampak keheranan menyaksikan manusia-manusia itu. “Tak
salah lagi, inilah waktunya…” gumam ayah menahan amarah. Muri tak mengerti
dengan perkataan ayahnya barusan, Ia ingin mencari tahu dan terbang hendak
mendekati iring-iringan manusia. Namun Ayah segera berteriak mencegah.
“Berhenti!, Muri, jauhi manusia itu dan kembalilah ke sarang!”
Ayah memaksa Muri untuk kembali ke sarang.
Ibunya segera membimbing Muri setelah mendapat perintah ayahnya. Ayah segera
mengumpulkan para burung Muri dewasa. “Kita tidak punya banyak waktu untuk
meninggalkan sarang dan mencari tempat yang lebih aman!” kata ayah dengan tegas
kepada para burung muri. Burung-burung itu saling berpandangan, mereka tampak
bingung. Kemudian salah satu burung Muri jantan yang lebih tua dari ayah
menyahut,” Untuk apa meninggalkan sarang? Itu hanya manusia! Aku tidak melihat
senapan di tangan mereka!” Burung muri jantan ini dikenal dengan nama Bungu,
sejak ia kalah dalam pertarungan memperebutkan posisi pemimpin kawanan, Bungu
selalu menentang ayah.
Ayah menatap Bungu dengan tajam, lalu katanya, “ Manusia-manusia itu
akan segera meledakkan api ke atas pohon, suaranya keras memekakan telinga, dan
semburan apinya dapat menghanguskanmu”. Mendengar itu Bungu tertawa dengan
suara keras,”HA..ha..ha…lihatlah inikah pemimpin yang kalian pilih?, Ia
hanyalah seekor Muri penakut!, ha..ha…!”
Ayah menahan marah mendengar ejekan itu, kemudian ia bercerita tentang
masa kecilnya sebelum menempati wilayah itu. Ia pernah mempunyai pengalaman
buruk saat pesta kembang api manusia merayakan tahun baru, hampir sama seperti
sekarang. Saat itu ayah masih kecil, ia
tidak tahu apa yang akan terjadi. Saat kembang api manusia itu diledakkan,
suaranya demikian keras mengejutkan lalu muncul begitu banyak semburan api
berwarna warni. Kawanan burung di masa lalu ketakutan, mereka keluar dari
sarang menghindari suara keras tapi kemudian tertabrak semburan api dari
kembang api yang diledakkan. Banyak burung Murai yang ditemukan tewas di pagi
harinya. Tubuh mereka berserakan di tanah. Tak seorangpun manusia yang peduli
akan hal itu. Ayah kehilangan sebagian besar keluarganya lalu pindah ke lereng
Merapi ini dan menjadi pemimpin kawanan.
Ayah kemudian mengajak teman-temannya yang mau mempercayaianya. Ayah
menjelaskan bahwa mereka harus menghindari kembang api untuk sementara waktu.
Maka malam itu juga mereka harus meninggalkan sarang. Sebagian besar
burung-burung itu mengikuti ayah. Kawanan burung Murai itu berbaris untuk
meninggalkan sarang mereka menuju ke puncak Merapi yang lebih tinggi, menjauhi
jalan-jalan aspal di bukit Kaliurang. Muri terus bertanya-tanya dalam
kebingungan, bagaimana dia akan terbang di tengah malam, pohon-pohon tak tampak
di matanya, beberapa kali ia menabrak ranting dan hampir jatuh. Ayah dan ibunya
terus membimbingnya dan mencegah Muri terjatuh. Susah payah Muri menyusuri
lereng itu hingga mereka berhenti di sebuah tebing batu dengan lubang besar di
sisinya.
“Ayah, kita mau kemana?” Tanya Muri sambil terbang. “Cari saja tempat
yang aman! Jangan sampai api-api itu melukai kita! ” kata ayah sambil terus
mengawasi kawasan dibawahnya. Muri ikut berpikir untuk membantu ayahnya.
Kemudian ia teringat bahwa suatu hari Muri pernah mendengar ada manusia yang
pernah selamat dari semburan api gunung merapi dengan bersembunyi di dalam
sebuah goa buatan mereka. Mereka menyebutnya Bunker. Muri pikir, bila Bunker
itu dapat menyelamatkan manusia dari semburan lahar panas, maka bunker itu
pasti bisa melindungi kawanan burung Murai dari semburan kembang api.
“Aku tahu tempat yang aman ayah!” kata Muri tiba-tiba. Muri kemudian menceritakan pengalamannya saat
melihat manusia itu memasuki bunker. Dengan penuh semangat, Muri menjadi
penunjuk arah menuju banker. Tak lama kemudian mereka menemukannya. Ayah
memimpin kawanan burung Muri memasuki gua kecil yang disebut bunker itu. Dari
dalam bunker ini, burung-burung Murai dapat mengawasi wilayah tempat tinggal
mereka dari ketinggian. Iring-iringan manusia itu kini tampak bagai ular naga
bercahaya.
Tak lama berselang, terdengar bunyi ledakan keras di wilayah tempat
tinggal mereka. Suara itu bersamaan dengan munculnya bunga-bunga api yang
menebar ke segala arah. Dari dalam bunker itu, kawanan burung murai dapat
melihat berbagai warna api yang menyembur membentuk bunga-bunga bercahaya yang sangat
indah. Mereka takjub melihatnya. Sungguh pemandangan yang sangat indah.
Sekarang mereka mengerti mengapa manusia begitu rela berdesak-desakan dalam
kebisingan kendaraan mereka hanya untuk menyaksikan pesta kembang api itu.
Malam itu, Muri si burung murai kecil sangat senang bisa menyaksikan
pesta kembang api yang sangat indah. Namun pada pagi harinya, ketika mereka
kembali ke wilayah tempat tinggal mereka, beberapa burung murai tampak
tergeletak di tanah. Mereka terbujur kaku tak bergerak lagi. Ayah mendengar
bahwa Bungu semalam menantang teman-temannya adu keberanian untuk menabrak
kembang api itu. Namun Bungu tak berhasil selamat. Ia celaka akibat
kecerobohannya sendiri. Muri bersyukur bahwa ia mau menuruti nasehat ayah, ia
bisa selamat dan memiliki pengalaman yang indah menyaksikan pesta kembang api
dari kejauhan. Ayah mendekati Muri dan memeluknya, “Terima kasih nak, kaulah
yang menemukan tempat perlindungan yang aman. Tahun depan, kaulah yang akan
memimpin kawanan ini untuk mencari tempat perlindungan.” Muri tersenyum bangga,
dalam hati ia bersyukur mau mengikuti nasehat ayahnya dan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar