Kamis, 01 Juni 2017

Pesta Kembang Api Burung Murai

dongeng bijak anak, dongeng anak, cerita anak, burung murai, kembang api, pesta

Setiap malam tahun baru tiba, Bukit Wisata Kaliurang di lereng Gunung Merapi Yogyakarta menggelar acara pesta kembang api. Masyarakat berbondong-bondong ke area bukit. Iring-iringan mobil dan motor bergerak merayap padat bagai ular naga yang mendaki lereng Merapi. Suaranya meraung-raung di tengah hiruk pikuk kemacetan. Sangat bising. Semua orang ingin menikmati indahnya kembang api yang akan dinyalakan nanti malam untuk menyongsong datangnya Tahun Baru.


Sekelompok burung Murai hidup di antara pohon cemara bukit Kaliurang. Biasanya mereka menikmati kesunyian hutan dengan bertengger di pucuk-pucuk pohon sambil bercengkerama dengan kicauan indahnya. Hutan itu sungguh nyaman, jauh dari keramaian kota, hanya beberapa kendaraan saja yang kadang melintasi jalan setapak beraspal menuju puncak Gunung Merapi.

Hari itu, matahari beranjak terbenam, awan-awan kelabu telah menantinya untuk meninabobokkan sang surya dalam tidur yang lelap. Burung-burung mulai terbang kembali ke sarang-sarang mereka.  Di sebuah sarang yang indah, burung Murai kecil baru saja belajar terbang. Ia sangat bangga dapat mengepakkan sayapnya dan membuatnya terbang mengelilingi pohon yang menjadi rumahnya. “Ayah, lihat! Aku sudah bisa terbang!” seru Muri si burung Murai kecil. Badannya kecil tetapi sangat lincah. Di matanya tampak sorot keberanian yang tangguh. Ayahnya tersenyum bangga melihat Muri begitu cepat menguasai cara terbang dan menyelinap di antara dahan tanpa menabrak ranting-rantingnya.

Matahari kian tenggelam, separuh lingkarannya telah terbenam dalam pelukan sang awan. Cahayanya meredup dan menjadikan lereng Gunung Merapi dibayangi malam. Tak biasanya jalan setapak  Bukit Kaliurang yang selalu sunyi itu kini dipenuhi dengan kendaraan hingga berderet-deret. Suara raungan mesin-mesin mereka terasa mulai mengganggu kawanan Burung Murai. Mereka bersembunyi di balik dahan dan daun-daunan untuk mengintip keramaian. Muri kecil menyusul ayahnya yang pergi untuk memeriksa keadaan. “Ayah, apa yang terjadi? Mengapa manusia-manusia itu berkumpul di sini?” bisik Muri kepada ayahnya. Ayah adalah pemimpin kawanan Burung Murai di wilayah itu. 

Begitu mendapat laporan dari warganya, ayah langsung pergi mendekati iring-iringan itu untuk memeriksa. Beberapa burung murai tampak keheranan menyaksikan manusia-manusia itu. “Tak salah lagi, inilah waktunya…” gumam ayah menahan amarah. Muri tak mengerti dengan perkataan ayahnya barusan, Ia ingin mencari tahu dan terbang hendak mendekati iring-iringan manusia. Namun Ayah segera berteriak mencegah. “Berhenti!, Muri, jauhi manusia itu dan kembalilah ke sarang!”  

Ayah memaksa Muri untuk kembali ke sarang. Ibunya segera membimbing Muri setelah mendapat perintah ayahnya. Ayah segera mengumpulkan para burung Muri dewasa. “Kita tidak punya banyak waktu untuk meninggalkan sarang dan mencari tempat yang lebih aman!” kata ayah dengan tegas kepada para burung muri. Burung-burung itu saling berpandangan, mereka tampak bingung. Kemudian salah satu burung Muri jantan yang lebih tua dari ayah menyahut,” Untuk apa meninggalkan sarang? Itu hanya manusia! Aku tidak melihat senapan di tangan mereka!” Burung muri jantan ini dikenal dengan nama Bungu, sejak ia kalah dalam pertarungan memperebutkan posisi pemimpin kawanan, Bungu selalu menentang ayah.

Ayah menatap Bungu dengan tajam, lalu katanya, “ Manusia-manusia itu akan segera meledakkan api ke atas pohon, suaranya keras memekakan telinga, dan semburan apinya dapat menghanguskanmu”. Mendengar itu Bungu tertawa dengan suara keras,”HA..ha..ha…lihatlah inikah pemimpin yang kalian pilih?, Ia hanyalah seekor Muri penakut!, ha..ha…!”

Ayah menahan marah mendengar ejekan itu, kemudian ia bercerita tentang masa kecilnya sebelum menempati wilayah itu. Ia pernah mempunyai pengalaman buruk saat pesta kembang api manusia merayakan tahun baru, hampir sama seperti sekarang.  Saat itu ayah masih kecil, ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Saat kembang api manusia itu diledakkan, suaranya demikian keras mengejutkan lalu muncul begitu banyak semburan api berwarna warni. Kawanan burung di masa lalu ketakutan, mereka keluar dari sarang menghindari suara keras tapi kemudian tertabrak semburan api dari kembang api yang diledakkan. Banyak burung Murai yang ditemukan tewas di pagi harinya. Tubuh mereka berserakan di tanah. Tak seorangpun manusia yang peduli akan hal itu. Ayah kehilangan sebagian besar keluarganya lalu pindah ke lereng Merapi ini dan menjadi pemimpin kawanan.

Ayah kemudian mengajak teman-temannya yang mau mempercayaianya. Ayah menjelaskan bahwa mereka harus menghindari kembang api untuk sementara waktu. Maka malam itu juga mereka harus meninggalkan sarang. Sebagian besar burung-burung itu mengikuti ayah. Kawanan burung Murai itu berbaris untuk meninggalkan sarang mereka menuju ke puncak Merapi yang lebih tinggi, menjauhi jalan-jalan aspal di bukit Kaliurang. Muri terus bertanya-tanya dalam kebingungan, bagaimana dia akan terbang di tengah malam, pohon-pohon tak tampak di matanya, beberapa kali ia menabrak ranting dan hampir jatuh. Ayah dan ibunya terus membimbingnya dan mencegah Muri terjatuh. Susah payah Muri menyusuri lereng itu hingga mereka berhenti di sebuah tebing batu dengan lubang besar di sisinya.

“Ayah, kita mau kemana?” Tanya Muri sambil terbang. “Cari saja tempat yang aman! Jangan sampai api-api itu melukai kita! ” kata ayah sambil terus mengawasi kawasan dibawahnya. Muri ikut berpikir untuk membantu ayahnya. Kemudian ia teringat bahwa suatu hari Muri pernah mendengar ada manusia yang pernah selamat dari semburan api gunung merapi dengan bersembunyi di dalam sebuah goa buatan mereka. Mereka menyebutnya Bunker. Muri pikir, bila Bunker itu dapat menyelamatkan manusia dari semburan lahar panas, maka bunker itu pasti bisa melindungi kawanan burung Murai dari semburan kembang api.

“Aku tahu tempat yang aman ayah!” kata Muri tiba-tiba.  Muri kemudian menceritakan pengalamannya saat melihat manusia itu memasuki bunker. Dengan penuh semangat, Muri menjadi penunjuk arah menuju banker. Tak lama kemudian mereka menemukannya. Ayah memimpin kawanan burung Muri memasuki gua kecil yang disebut bunker itu. Dari dalam bunker ini, burung-burung Murai dapat mengawasi wilayah tempat tinggal mereka dari ketinggian. Iring-iringan manusia itu kini tampak bagai ular naga bercahaya.

Tak lama berselang, terdengar bunyi ledakan keras di wilayah tempat tinggal mereka. Suara itu bersamaan dengan munculnya bunga-bunga api yang menebar ke segala arah. Dari dalam bunker itu, kawanan burung murai dapat melihat berbagai warna api yang menyembur membentuk bunga-bunga bercahaya yang sangat indah. Mereka takjub melihatnya. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Sekarang mereka mengerti mengapa manusia begitu rela berdesak-desakan dalam kebisingan kendaraan mereka hanya untuk menyaksikan pesta kembang api itu.  

Malam itu, Muri si burung murai kecil sangat senang bisa menyaksikan pesta kembang api yang sangat indah. Namun pada pagi harinya, ketika mereka kembali ke wilayah tempat tinggal mereka, beberapa burung murai tampak tergeletak di tanah. Mereka terbujur kaku tak bergerak lagi. Ayah mendengar bahwa Bungu semalam menantang teman-temannya adu keberanian untuk menabrak kembang api itu. Namun Bungu tak berhasil selamat. Ia celaka akibat kecerobohannya sendiri. Muri bersyukur bahwa ia mau menuruti nasehat ayah, ia bisa selamat dan memiliki pengalaman yang indah menyaksikan pesta kembang api dari kejauhan. Ayah mendekati Muri dan memeluknya, “Terima kasih nak, kaulah yang menemukan tempat perlindungan yang aman. Tahun depan, kaulah yang akan memimpin kawanan ini untuk mencari tempat perlindungan.” Muri tersenyum bangga, dalam hati ia bersyukur mau mengikuti nasehat ayahnya dan selamat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar