Kamis, 09 April 2020

Kupu-Kupu Tak Patuh


Cerita Anak
Kupu-kupu Tak Patuh


Hujan datang, hujan pertama setelah kemarau panjang mengeringkan kebun dan rawa-rawa. Segerombolan katak berlompatan keluar dari liangnya. Mereka tampak riang menyambut butir-butir dingin air yang jatuh ke bumi.
“Kung, kong! Kung krek!”, mereka menyuarakan nyanyian katak menyambut hujan pertama. Mereka sudah lama menantikan hujan. Selama musim kemarau, katak-katak itu menghabiskan waktunya dengan bosan di dalam liang tanah yang lembab. Mereka tak bisa bermain di luar karena terik matahari dan tanah kering dapat menyakiti mereka. Kulit mereka tak tahan menghadapi kekeringan. Kini, ketika hujan datang, katak-katak itu begitu gembira, rasanya seperti terbebas dari penjara. 

Tak jauh dari tempat itu, Tina, si kupu-kupu kecil bersayap kuning keemasan terbangun dari tidurnya. Sayapnya begitu indah bertengger di balik punggung. Hujan deras menghantarkan udara sejuk dan butir-butir kabut air yang diterbangkan angin. Udara basah dan lembab itu membuat kupu-kupu itu segera melipat sayapnya dan merapatkan diri di bawah daun yang lebar. Tina berharap hujan tak semakin lebat. Tina ingin hujan segera berhenti. Ia ingat akan nasehat ayahnya suatu hari,“Hujan itu berbahaya bagi kita, nak. Airnya bisa menghancurkan sayap kita. Jika hujan datang, kau harus segera berlindung!” begitulah nasehat ayahnya saat itu. Ketika suara katak-katak itu terdengar sampai di tempat persembunyian Tina, kupu-kupu kuning itu mengintip dari balik daun.

Dilihatnya seekor katak yang merupakan sahabat baiknya, sedang diguyur air hujan bersama teman-temannya. Tina khawatir melihat katak-katak itu hanya bisa melompat-lompat di antara hujan. Mungkin mereka terlalu takut menghadapi hujan sehingga kebingungan dan hanya bisa melompat-lompat tanpa tahu harus ke mana untuk bersembunyi. Mungkin air hujan itu sangat menyakitkan saat mengenai tubuh sahabat-sahabatnya sehingga mereka melompat-lompat menahan sakit. 

Demikianlah pikir Tina saat itu. Dengan sekuat tenaga, Tina berteriak kepada salah satu katak itu. “Koca! Apa yang kalian lakukan! Segera pergi dari situ! Berlindunglah di balik daun yang lebar!”.  Koca menoleh ke arah pohon, dilihatnya Tina mengintip dari balik sehelai daun. Koca hanya melambaikan tangan. Sikap Koca itu membuat Tina semakin khawatir. “Koca! Berlarilah kemari sebelum air hujan itu mematahkan tangan dan kakimu! Hujan itu berbahaya! Berlindung segera!”, seru Tina lagi sambil melambai-lambaikan tangan. Kata-kata Tina itu membuat seluruh kawanan katak tertawa. “ Ha…ha…ha…hujan berbahaya?...ha..ha…Hai, Tina! Hujan itu menyenangkan, apanya yang berbahaya?, ha..ha..ha…lihat,  kami sedang bergembira menyambut hujan pertama!”

Koca benar-benar tampak gembira, ia kembali melompat-lompat dan sesekali menyelam di kubangan air yang sudah mulai menggenang seperti kolam. Jawaban Koca dan tingkah laku katak-katak itu membuat Tina keheranan, ia terus memperhatikan tingkah laku teman-temannya itu. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa katak-katak itu sama sekali tidak merasa kesakitan meskipun titik-titik air deras menghujani mereka. Tina kemudian memperhatikan tangan dan kaki mereka, tak satupun yang terluka. Kenyataan itu membuat Tina mulai bertanya-tanya, benarkah hujan itu berbahaya? Mengapa katak-katak itu malah merasa senang dengan datangnya hujan?

Tina mulai memperhatikan hujan, butir-butir air yang jatuh itu tampaknya bukan benda keras. “Hujan mungkin memang menyenangkan,” demikian gumam Tina. Ia mulai mengulurkan tangan menangkap salah satu butir air yang diterbangkan angin. “Wuih…dingin…!”, seru Tina. Tapi rasanya nyaman, menyenangkan. Tidak ada rasa sakit di tangannya, bahkan ia merasa bahwa hujan itu lembut dan sejuk. “Hujan itu indah, mengapa ayah mengatakan hujan itu berbahaya?”, kata Tina lirih. Tina kembali memperhatikan Koca dan teman-temannya, katak-katak itu masih tampak gembira. Tak satupun terlihat rasa sakit.

Tanpa pikir panjang lagi, Tina melesat terbang menghampiri Koca. Air yang sejuk menghujani Tina. Rasanya benar-benar menyenangkan. Ia terbang ke sana ke mari ikut bermain dengan Koca. Katak-katak itu bersorak gembira menyambut Tina yang bergabung dengan mereka. Beberapa kali katak-katak itu mencipratkan air ke arah Tina. Kupu-kupu itu segera melesat menghindar sambil tertawa-tawa. Untuk beberapa saat, Tina benar-benar menikmati senangnya bermain hujan. Ia telah melupakan nasehat ayahnya.

Tak lama kemudian, Tina merasa berat untuk terbang. Sayap itu sulit digerakkan. “Oh, apa yang terjadi?”, keluh Tina lirih. Ia segera menengok sayapnya, dan terkejutlah Tina. Sayap itu tampak basah dan bubuk-bubuk emasnya luntur. Warna sayapnya kini menjadi pudar, tak indah lagi. Tina memaksa diri untuk tetap terbang, namun usaha itu membuat ujung-ujung sayapnya mulai patah. Tina tak sanggup terbang lagi. Tina menjerit saat ia terjatuh menuju genangan air. Melihat itu, Koca segera bertindak cepat. Ia menjulurkan lidahnya yang panjang untuk menangkap Tina hingga kupu-kupu itu tak terjatuh di kubangan air.

“Tina, sayapmu rusak!” seru Koca yang melihat tepian sayap Tina robek-robek. Tina menangis ketakutan melihat itu, ia tak bisa terbang tinggi lagi. Koca segera mengantar Tina pulang. “Ibu, sayapku rusak..”, keluh Tina sambil menangis dalam pelukan ibunya. “Apa yang beru saja terjadi Nak?” tanya ibunya. Sejenak Tina tak berani menjawab. Tina semakin takut ketika ayahnya mendekat memeriksa sayap Tina. Ibu segera mendesak Tina untuk jujur. Dengan rasa takut, Tina mengakui apa saja yang baru saja dia lakukan. Ayah menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. Ayah ingin sekali memarahi Tina karena tindakan cerobohnya itu telah membahayakan dirinya sendiri. Namun, ayah sudah melihat Tina bersedih, ayah hanya bisa menahan marah sambil menasehati Tina. “Berapa kali ayah sudah katakan padamu, hujan itu berbahaya bagi kita. Kau tak bisa menyamakan diri dengan katak-katak temanmu itu. Tidakkah kau sadari bahwa kita berbeda dengan mereka?”

Tina menunduk tanpa bisa menjawab, ia menyadari kecerobohannya yang tidak emmperhatikan perbedaan hidup katak dan kupu-kupu.  Kata ayah lagi,”Tina, kita adalah kupu-kupu, sayap kita tidak tahan menghadapi hujan. Kita butuh udara kering. Sedangan katak, mereka tak punya sayap, kulit mereka tebal tetapi selalu membutuhkan kelembaban. Mereka tak tahan udara kering, mereka butuh air yang banyak. Hujan tak akan menyakiti mereka, hujan menjadi kesenangan  bagi mereka. Sadarilah  perbedaan itu supaya kau tidak membahayakan dirimu sendiri.”

Tina mengangguk, ia menyesal tak mematuhi nasehat ayahnya. Ia menyesal tidak bijaksana melihat perbedaan kebutuhan antara kupu-kupu dan katak.  Sekarang, Tina harus ikhlas menerima keadaan sayapnya yang tak indah lagi. Ia harus menunggu sayapnya menjadi kering untuk bisa terbang lagi. Dalam hati, ia berjanji tak akan melanggar nasehat ayahnya lagi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar