Rabu, 08 Januari 2020

Hutan Bidadari


dongeng anak, cerita anak
Hutan Bidadari


Hutan Danastri adalah hutan bidadari. Begitulah masyarakat menyebut hutan ini. Konon, hutan ini dihuni oleh puluhan bidadari. Mereka adalah wanita-wanita sangat cantik dengan sayap indah dan tanduk kecil di kepalanya. Mereka terlihat cantik dan lembut tetapi memiliki kekuatan yang lebih besar dari pada manusia manapun. Dari tangan-tangan mereka yang lentik mampu memancarkan sinar-sinar kekuatan yang dapat mengubah benda-benda menjadi keinginan mereka. Saat mereka sedang bergembira maka ranting-ranting kering di dekat mereka dapat menumbuhkan tunas, tanah gersang menumbuhkan pohon berbunga dan batu-batu keras mengalirkan air. Namun saat mereka marah atau tersakiti, maka kekuatan mereka berubah menjadi kekuatan api yang menghancurkan semua benda.

Cerita tentang indahnya hutan ini kadang terasa sangat berlebihan karena kenyataanya, tak seorangpun masyarakat yang pernah melihat bidadari di hutan tersebut. Sudah banyak para raja dan pangeran yang mencoba menjelajah dengan harapan bertemu dengan salah satu dari mereka. Tapi tak satupun yang berhasil, bahkan banyak dari mereka yang menghilang dan tak pernah kembali lagi.

Saat itu, bertahtalah Raja Madukala. Ia adalah raja baru yang memiliki kesaktian tinggi. Sudah berulang kali ia memenangkan perang dengan beberapa kerajaan kecil sehingga wilayah kekuasaannya semakin luas. Sayang sekali bahwa kesaktian raja ini tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dan kebaikan hati. Kemenangan-kemenangan yang ia peroleh justru membuatnya menjadi raja yang sombong dan tamak. Ia semakin ingin menguasai kerajaan manapun di sekitar kerajaannya.

Ketika mendengar kabar tentang hutan Danastri, Raja Madukala berkeinginan menguasai hutan itu beserta seluruh bidadari yang ada di dalamnya. Ia berpikir bila ia berhasil menguasai seisi hutan Danastri, maka semua orang akan mengaguminya sebagai satu-satunya raja yang berhasil menakhlukkan para bidadari. Keinginan raja ini semakin kuat seiringi dengan perkembangan ketamakan dan kesombongan dalam dirinya.

Raja Madukala mengirim pasukan yang sangat besar untuk memburu para bidadari. Dengan senjata lengkap, mereka memasuki hutan Danastri. Hutan itu sangat lebat, namun indah. Banyak bunga-bunga bermekaran di dalamnya. Meskipun lebat, cahaya matahari selalu berhasil menembus hingga ke dasarnya. Beberapa kolam dengan air yang jernih memperlihatkan ikan-ikan besar yang menari-nari dengan siripnya. Burung-burung berwarna indah menari-nari sambil berkicau dengan merdu. Hewan-hewan berlarian di antara dahan. Sungguh bagaikan surga.

Keindahan alam hutan Danastri membuat para pasukan menurunkan kewaspadaannya. Beberapa dari mereka mulai memetik buah-buah ranum nan lezat. Mereka bergembira menikmati buah-buah itu hingga melupakan tugas utamanya mencari bidadari. Setelah memakan buah-buah itu, para pasukan mulai tertidur. Sesaat setelah tertidur, pasukan itu tak bernafas lagi. Mereka tewas. Ternyata buah-buahan lezat yang mereka makan adalah buah beracun. Hanya sebagian saja pasukan yang tidak sempat memakan buah-buahan yang bisa selamat. Sejak itu mereka mulai waspada. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan memasuki hutan danastri.

Pasukan yang berhasil memasuki hutan lebih dalam lagi akhirnya tiba di dalam sebuah bangunan indah seperti istana. Mereka sangat girang merasa menemukan istana bidadari yang mereka cari. Dengan hati-hati sebagian dari mereka memasuki istana indah itu. Banyak sekali pintu dalam istana itu. Mereka mencoba menyusuri ruang demi ruang. Setelah beberapa lama mereka berkeliling, mulailah mereka menyadari bahwa mereka tersesat. Bangunan itu memiliki banyak lorong dan pintu. Kemanapun arah mereka berjalan, selalu menemui lorong dan pintu. Mereka tidak menyadari bahwa mereka hanya berputar-putar di tempat tanpa tahu jalan keluarnya. Hanya sedikit sekali orang yang berhasil melewatinya dan melanjutkan perjalanan.

Pasukan yang tersisa terus masuk ke dalam hutan. Mereka mendapati suatu tempat dengan banyak guci dari batu. Guci itu dipenuhi dengan batu-batu permata dan perhiasan emas. Beberapa orang mulai tergoda oleh ketamakan. Mereka mengambil benda-benda berharga itu sebanyak yang mereka bisa bawa. Terbayang oleh mereka kekayaan yang melimpah dengan memiliki batu-batu berharga dan emas itu. Bahkan dengan batu permata sebanyak itu, mereka bisa menyaingi kekayaan Raja Madukala. Berkantung-kantung mereka membawa batu-batu itu hingga berjalan terseok-seok karena berat. Suatu saat, mereka dihadang oleh sekelompok harimau. Pasukan itu tak mampu melawan karena mereka telah meninggalkan senjata dan diganti dengan muatan batu permata. Mereka juga tak mau melepaskan kantung-kantung batu itu agar bisa berlari cepat. Ketamakan mereka membaut celaka mereka sendiri dengan menjadi mangsa bagi harimau-harimau itu. Hanya seorang prajurit saja yang berhasil lolos, ia melarikan diri dari hutan Danastri dan kembali kepada Raja Madukala.

Mendengar laporan itu, Raja Madukala sangat murka. “Memalukan sekali! Belum pernah aku menerima kekalahan yang demikian memalukan! Bagaimana bisa kalian pasukan yang sering memenangkan perang, sekarang kalah oleh hutan yang belum jelas penghuninya!  Aku sendiri yang akan menemukan bidadari-bidadari itu dan menghukum mereka karena berani menumpas pasukan terbaikku!” Dengan amarah, Raja Madukala melesat menuju hutan Danastri.  Benar saja, hutan itu sangat indah, namun menyimpan jebakan-jebakan yang mematikan. Tetapi Raja Madukala adalah raja yang sakti, ia dapat mengatasi berbagai jebakan dan bahaya di hutan itu. Hingga akhirnya sampailah Raja Madukala di sebuah pohon tinggi dan besar di tengah danau. Pohon itu begitu besar dan tinggi. Ranting dan bunga-bunganya begitu lebat hingga menjuntai sampai ke permukaan air. Raja  mengamati pohon itu dengan heran. Bagaimana bisa pohon berkayu bisa tumbuh seindah itu di tengah air. Hal itu membuat Raja waspada, siapa tahu keindahan pohon itu adalah jebakan. Raja Madukala bersembunyi di balik semak-semak di pinggir danau. Matanya tajam mengawasi pohon itu.

Tiba-tiba terdengar  bunyi tawa anak kecil yang sangat merdu. Juntaian bunga-bunga itu bergoyang, dan ketika juntaiannya tersibak, tampaklah seorang anak perempuan kecil yang begitu cantik. Belum pernah terlihat anak yang secantik itu. Sayapnya sangat indah dan tanduk kecil di atas kepalanya menyembul diantara rambut yang indah. Anak itu tertawa sangat merdu. Ia sangat gembira menunggang ikan merah besar yang membawanya menyelinap diantara bunga. Seketika itu Raja Madukala merasa yakin, inilah salah satu bidadari yang dibicarakan masyarakat.

Raja Madukala tersenyum, ia sangat gembira menjadi orang pertama yang bisa menemukan bidadari hutan Danastri. Ketika anak itu melintas di dekatnya bersembunyi, Raja Madukala melesat dengan cepat, menyambar anak itu dan membawanya pergi. Anak itu sangat terkejut, ia berteriak sekuat tenaga memanggil saudaranya. “Kakak..! tolong!”, anak kecil itu meronta dalam cengkeraman Raja Madukala. Tak lama kemudian, juntaian bunga-bunga pohon itu bergoyang. Di antara dahannya munculah tiga orang gadis yang luar biasa cantik. Mereka bersayap dan bertanduk seperti anak kecil itu. Ketiga gadis itu tampak terkejut melihat adik kecil mereka tertangkap oleh manusia. “Alana!” teriak salah satu gadis itu memanggil adik kecilnya. Ia hendak mendekati Raja Madukala untuk merebut bidadari Alana. Raja Madukala segera melompat mundur. Di tangannya terhunus pedang yang siap melukai bidadari kecil.

“Mundur, atau kau akan kehilangan adikmu ini untuk selamanya!” gertak Raja Madukala. Ketiga gadis bidadari itu berhenti melangkah. Ajaib, mereka bisa mengapung di atas daun-daun teratai yang tersebar di danau. Kedua bidadari itu tampak cemas. “Lepaskan Alana!” teriak bidadari Tarita. Ia adalah bidadari tertua di kelompok itu. Mendengar itu Raja Madukala tertawa, ketiga bidadari cantik itu sangat memesona hingga Raja ingin menangkap ketiganya. Raja berpikir bahwa bila ia berhasil menangkap 4 bidadari dan memeliharanya di istananya, maka namanya akan semakin termashur di seluruh wilayah itu. “Gadis-gadis cantik….aku akan melepaskan anak ini kalau kalian bertiga mau tinggal di istanaku dan menjadi milikku!” kata Raja Madukala penuh ketamakan.

Ketiga bidadari itu membelalak sangat marah. Mereka ingin sekali menyerang Raja Madukala. Namun sayang, hari itu adalah hari bulan mati dimana bulan tak tampak di langit. Pada masa itu kekuatan para bidadari sangat lemah. Hanya adik kecil merekalah yang masih memiliki kekuatan besar yang tidak terpengaruh oleh peredaran bulan. Sebelum adik mereka dewasa, siklus peredaran bulan tak berpengaruh pada kekuatannya. Tapi bidadari Alana masih terlalu kecil, meskipun menyimpan kekuatan, ia tak bisa menggunakannya seseuai keinginan. Saat ini ia tak berdaya dalam cengkeraman Raja Madukala.

Meskipun ketiga bidadari tak memiliki kekuatan yang cukup, mereka tak tega melihat adik mereka dalam cengkeraman musuh. “Kakak, apa yang harus kita lakukan?” tanya Bidadari Mustika kepada kakaknya. “Hari ini kita tidak memiliki kekuatan karna bulan sedang beredar dalam fase bulan mati,” sahut Bidadari Embun. Bidadari Tarita tampak bingung, tetapi sebagai bidadari paling tua  ia bertanggungjawab atas keselamatan saudari-saudarinya. Keinginannya untuk melindungi mereka  membuatnya nekat menyerang Raja Madukala untuk menyelamatkan Alana. Bidadari Tarita mengatur siasat kepada kedua adiknya, “Aku akan mengalihkan perhatian manusia itu. Kalian berdua, bersiaplah untuk merebut Alana dan segera pergi dari sini.

“Itu sangat berbahaya kak, kakak tidak memiliki kekuatan yang cukup!”, sanggah Bidadari Embun. Bidadari Tarita menatap adiknya dengan tajam penuh ketegasan,”Jangan membantahku Embun, siapapun tak ingin kehilangan Alana! Akulah pemimpin kalian di sini, lakukan yang kuperintahkan.!” Tanpa menunggu persetujuan kedua adiknya, bidadari Tarita melesat menuju Raja Madukala untuk menyerangnya. Melihat semangat kakaknya yang tak mengenal takut, Bidadari Embun dan Bidadari Mustika bersiap merebut Alana dari tangan Raja Madukala.

Bidadari Tarita menggerakkan tangannya untuk mengendalikan tumbuh-tumbuhan supaya menyerang Raja Madukala. Sulur-sulur pepohonan tiba-tiba meluncur mengikat kaki dan tangan Raja. Namun gerakan Raja amat gesit. Ia bisa melompat ke sana dan kemari sambil menggendong Alana untuk menghindari sulur-sulur itu. Tarita semakin mengerahkan kekuatannya, ia tidak hanya mengendalikan sulur pohon tetapi juga ranting-ranting kecil. Seandainya kekuatannya penuh, ia mampu mencabut pohon sebesar sumur. Terjangan ranting dan sulur-sulur itu merepotkan Raja Madukala, maka ia melepaskan Alana sejenak. Kesempatan itu digunakan oleh Bidadari Mustika dan Embun. Mereka melesat menangkap Alana dan membawanya terbang menjauh.

Alana menangis dalam gendongan bidadari Mustika karena ketakutan. Ketika ia sejenak merasa lega berada dalam gendongan kakaknya, sebuah pemandangan mengerikan terjadi di depan matanya. Raja Madukala berhasil memutuskan sulur-sulur dan ranting yang menyerangnya, dan dengan cepat ia menusukkan pedang kepada Bidadari Tarita tepat di dadanya.  Bidadari Tarita tersungkur dan tak bergerak lagi. Ia tewas dalam pertarungannya. “Kakaaaaak!! Kakak Taritaaaa!!”, teriak Alana penuh kepedihan. Bidadari Mustika dan Bidadari Embun terhenti sejenak melihat kakaknya, Bidadari Mustika hendak kembali untuk menolong namun Bidadari Embun mencegahnya, “Patuhi kakak dan selamatkan Alana! Jika kita kembali kita bertiga tidak akan selamat!” Bidadari Mustika menangis menyadari ketidakberdayaannya. Sejenak ia hanya terpaku kebingungan. Bidadari Embun segera menarik Bidadari Mustika untuk segera pergi, namun terlambat, Raja Madukala sudah melesat ke arah mereka. Dengan cepat ia menghantam Bidadari Embun sebelum ia sempat terbang. Bidadari Embun terguling, ia kesakitan dan tak dapat terbang.

Kejadian itu membuat Bidadari Mustika putus asa. Kakak tertuanya tewas, dan kini kakak ke duanya terluka. Dan musuh di hadapannya masih tangguh siap menyerang. Tiba-tiba, Alana berteriak demikian keras. Suaranya menggetarkan tanah dan pohon-pohon disekitarnya seperti gempa. Matanya berubah merah dan tiba-tiba saja api berkobar dari kedua tangannya. Ia tampak sangat marah dengan mata merah menyala. Alana terbang melepaskan diri dari pelukan Bidadari Mustika. Ia melesat mendekati Raja Madukala dan menyerangnya dengan tangan api. Alana berubah menjadi sangat kuat. Raja Madukala diserangnya bertubi-tubi tanpa diberi kesempatan untuk membalas.

Alana menembakkan bola api ke arah Raja Madukala berkali-kali. Kemanapun Raja menghindar, Alana terus mengikuti. Hutan itu kini berubah menjadi lautan api yang berkobar hingga tak ada lagi tempat bagi Raja Madukala untuk menghindar. Ia telah terluka dan tak mampu bangkit lagi. Alana hendak menyerangnya untuk terakhir kali. Dalam sekali tembakan bola api besar, raja itu pasti tewas. Tiba-tiba Bidadari Mustika mencegah Alana. “Cukup Alana! Jangan mengotori tanganmu dengan membunuh manusia! Kalau kau membunuhnya, maka kau sama jahatnya dengan dia!” Alana memandang kakaknya dengan linangan air mata. Bidadari Mustika memeluk Alana untuk membantunya meredam amarah.

Hutan itu terbakar, seluruh keindahan dan kekayaannya musnah bersama Raja Madukala yang tak mampu bangkit dan menghindari api. Hutan yang begitu indah berubah menjadi lautan api yang membara. Bidadari Embun tertatih mendekati mereka, ia hanya terluka yang tidak berbahaya. Dengan sisa tenaganya ia membawa kakak Tarita yang telah tewas. Alana berlari memeluk kakak Embun dan kakak Tarita. Mereka menangis berpelukan. Tangis mereka mereda ketika tiba-tiba sebuah batang pohon yang terbakar jatuh mendekat. Mereka baru sadar bahwa api telah mengepung. Serta merta mereka bangkit untuk pergi dari tempat itu, namun kemanapun mereka melangkah, selalu terhadang api hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.

Keadaan itu membuat Alana makin ketakutan. “Kita akan mati…” keluh Alana makin ketakutan. Bidadari Mustika tak mampu berkata-kata lagi karna ia juga tahu bahwa mereka tidak akan selamat. Bara api di sekitar mereka terasa sangat menyengat. “Maafkan aku kak, akulah yang membakar semuanya…” tangis Alana makin menjadi, dalam hati ia menyesal tak dapat mengendalikan amarahnya.

Bidadari Embun memejamkan matanya, biasanya, dalam keadaan genting seperti ini, kakak Taritalah yang mampu mencari jalan keluarnya. Tiba-tiba ia teringat perkataan kakak Tarita suatu kali, “Adikku, seluruh bidadari memiliki kekuatannya masing-masing, namun sesungguhnya kekuatan tertinggi dari para bidadari adalah kekuatan cinta. Bersatulah dan saling menyayangi.”

Kata-kata itu membangkitkan semangat bidadari Embun untuk berusaha mengatasi api di sekitar mereka.  “Alana, Mustika, ingatkah kalian akan nasehat kakak Tarita tentang kekuatan tertinggi para bidadari?...kekuatan itu ada di hati kita, kekuatan cinta…” Bidadari Mustika dan Alana tertegun memperhatikan kata-kata Bidadari Embun. Merekapun mulai ingat kata-kata kakak Tarita.  Lalu bidadari Embun berkata lagi, “ Alana, kaulah yang terkuat diantara kami sekarang, lihatlah sekelilingmu…dulu tempat ini adalah tempat yang damai dan indah, penuh cinta. Hapuslah amarahmu dan ingatlah akan semua cinta yang kita berikan bagi hutan ini. Cinta yang membangkitkan sihir kesejukan, cinta yang mencurahkan sihir air, cinta yang membangkitkan tumbuhnya bunga-bunga… 

Bidadari Embun menggandeng tangan kedua saudarinya, dan Alana meraih tangan Bidadari Tarita bersatu dalam lingkaran jalinan tangan bersama Bidadari Mustika. Mereka bersama-sama berdoa dan mengenang cinta dalam keluarga bidadari. Perasaan mereka yang bersatu secara ajaib mengalirkan kekuatan yang tersisa. Cahaya kuning mengalir melalui telapak tangan mereka yang saling menggenggam, cahaya itu mengalir menuju kakak Tarita dan membungkusnya dengan cahaya terang yang penuh cinta. Pendaran cahaya lembutnya terasa indah dan tenteram. Tubuh Bidadari Tarita yang terkulai tiba-tiba melayang, naik ke angkasa dan terpecah menjadi butiran-butiran putih, lembut dan dinggin…..salju…. butiran itu menghujani seluruh kawasan hutan danastri. Perlahan api yang berkobar mulai padam, panasnya berubah menjadi kesejukan.

Hutan itu kini tertutup salju, api telah lenyap, tak ada lagi bara merah yang membakar. Hamparan putih itu kini dihiasi oleh batang-batang pohon yang hangus menjadi arang. Cinta Bidadari tarita yang besar bagi adik-adiknya telah mengubahnya menjadi hujan salju yang menyelamatkan mereka dari api. Alana dan kedua kakaknya menangis merasakan kasih Bidadari Tarita yang masih menyelamatkan mereka walau telah tewas. Alana kini mengerti bahwa kekuatan yang berasal dari amarah hanya akan mengakibatkan kerusakan dan malapetaka, namun kekuatan yang berasal dari cinta membawa kesejukan dan kedamaian. Ia berjanji kepada kakaknya bahwa ia tak akan pernah lagi membiarkan amarah menguasai. Ia akan selalu ingat akan cinta yang diajarkan oleh Bidadari Tarita.

Alana kemudian bangkit, ia merentangkan kedua tangannya, dengan seluruh perasaan cintanya kepada alam, ia mengerahkan kekuatannya untuk menumbuhkan bunga-bunga indah dan dauh hijau dari batang-batang pohon yang hitam terbakar. Ia melelehkan salju menjadi air yang berkumpul dalam kolam. Ia memanggil ikan-ikan dan hewan-hewan cantik berkeliaran di hutan itu. Hutan danastri kini kembali indah, lebih indah dari sebelumnya karena sekarang selain pohon-pohon indah, hutan itu berhias salju dan Kristal-kirstal es yang cantik. Ketiga bidadari yang tersisa tinggal di sana dan menjadi pemelihara hutan danastri. Hutan itu tetap menjadi hutan yang paling indah di bumi.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar