Hutan Bidadari |
Hutan
Danastri adalah hutan bidadari. Begitulah masyarakat menyebut hutan ini. Konon,
hutan ini dihuni oleh puluhan bidadari. Mereka adalah wanita-wanita sangat
cantik dengan sayap indah dan tanduk kecil di kepalanya. Mereka terlihat cantik
dan lembut tetapi memiliki kekuatan yang lebih besar dari pada manusia manapun.
Dari tangan-tangan mereka yang lentik mampu memancarkan sinar-sinar kekuatan
yang dapat mengubah benda-benda menjadi keinginan mereka. Saat mereka sedang
bergembira maka ranting-ranting kering di dekat mereka dapat menumbuhkan tunas,
tanah gersang menumbuhkan pohon berbunga dan batu-batu keras mengalirkan air.
Namun saat mereka marah atau tersakiti, maka kekuatan mereka berubah menjadi
kekuatan api yang menghancurkan semua benda.
Cerita
tentang indahnya hutan ini kadang terasa sangat berlebihan karena kenyataanya,
tak seorangpun masyarakat yang pernah melihat bidadari di hutan tersebut. Sudah
banyak para raja dan pangeran yang mencoba menjelajah dengan harapan bertemu
dengan salah satu dari mereka. Tapi tak satupun yang berhasil, bahkan banyak
dari mereka yang menghilang dan tak pernah kembali lagi.
Saat
itu, bertahtalah Raja Madukala. Ia adalah raja baru yang memiliki kesaktian
tinggi. Sudah berulang kali ia memenangkan perang dengan beberapa kerajaan
kecil sehingga wilayah kekuasaannya semakin luas. Sayang sekali bahwa kesaktian
raja ini tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dan kebaikan hati.
Kemenangan-kemenangan yang ia peroleh justru membuatnya menjadi raja yang
sombong dan tamak. Ia semakin ingin menguasai kerajaan manapun di sekitar
kerajaannya.
Ketika
mendengar kabar tentang hutan Danastri, Raja Madukala berkeinginan menguasai
hutan itu beserta seluruh bidadari yang ada di dalamnya. Ia berpikir bila ia
berhasil menguasai seisi hutan Danastri, maka semua orang akan mengaguminya
sebagai satu-satunya raja yang berhasil menakhlukkan para bidadari. Keinginan
raja ini semakin kuat seiringi dengan perkembangan ketamakan dan kesombongan
dalam dirinya.
Raja
Madukala mengirim pasukan yang sangat besar untuk memburu para bidadari. Dengan
senjata lengkap, mereka memasuki hutan Danastri. Hutan itu sangat lebat, namun
indah. Banyak bunga-bunga bermekaran di dalamnya. Meskipun lebat, cahaya
matahari selalu berhasil menembus hingga ke dasarnya. Beberapa kolam dengan air
yang jernih memperlihatkan ikan-ikan besar yang menari-nari dengan siripnya.
Burung-burung berwarna indah menari-nari sambil berkicau dengan merdu.
Hewan-hewan berlarian di antara dahan. Sungguh bagaikan surga.
Keindahan
alam hutan Danastri membuat para pasukan menurunkan kewaspadaannya. Beberapa
dari mereka mulai memetik buah-buah ranum nan lezat. Mereka bergembira
menikmati buah-buah itu hingga melupakan tugas utamanya mencari bidadari.
Setelah memakan buah-buah itu, para pasukan mulai tertidur. Sesaat setelah
tertidur, pasukan itu tak bernafas lagi. Mereka tewas. Ternyata buah-buahan
lezat yang mereka makan adalah buah beracun. Hanya sebagian saja pasukan yang tidak
sempat memakan buah-buahan yang bisa selamat. Sejak itu mereka mulai waspada.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan memasuki hutan danastri.
Pasukan
yang berhasil memasuki hutan lebih dalam lagi akhirnya tiba di dalam sebuah
bangunan indah seperti istana. Mereka sangat girang merasa menemukan istana
bidadari yang mereka cari. Dengan hati-hati sebagian dari mereka memasuki
istana indah itu. Banyak sekali pintu dalam istana itu. Mereka mencoba
menyusuri ruang demi ruang. Setelah beberapa lama mereka berkeliling, mulailah
mereka menyadari bahwa mereka tersesat. Bangunan itu memiliki banyak lorong dan
pintu. Kemanapun arah mereka berjalan, selalu menemui lorong dan pintu. Mereka tidak
menyadari bahwa mereka hanya berputar-putar di tempat tanpa tahu jalan
keluarnya. Hanya sedikit sekali orang yang berhasil melewatinya dan melanjutkan
perjalanan.
Pasukan
yang tersisa terus masuk ke dalam hutan. Mereka mendapati suatu tempat dengan
banyak guci dari batu. Guci itu dipenuhi dengan batu-batu permata dan perhiasan
emas. Beberapa orang mulai tergoda oleh ketamakan. Mereka mengambil benda-benda
berharga itu sebanyak yang mereka bisa bawa. Terbayang oleh mereka kekayaan
yang melimpah dengan memiliki batu-batu berharga dan emas itu. Bahkan dengan
batu permata sebanyak itu, mereka bisa menyaingi kekayaan Raja Madukala.
Berkantung-kantung mereka membawa batu-batu itu hingga berjalan terseok-seok
karena berat. Suatu saat, mereka dihadang oleh sekelompok harimau. Pasukan itu
tak mampu melawan karena mereka telah meninggalkan senjata dan diganti dengan
muatan batu permata. Mereka juga tak mau melepaskan kantung-kantung batu itu
agar bisa berlari cepat. Ketamakan mereka membaut celaka mereka sendiri dengan menjadi
mangsa bagi harimau-harimau itu. Hanya seorang prajurit saja yang berhasil
lolos, ia melarikan diri dari hutan Danastri dan kembali kepada Raja Madukala.
Mendengar
laporan itu, Raja Madukala sangat murka. “Memalukan sekali! Belum pernah aku
menerima kekalahan yang demikian memalukan! Bagaimana bisa kalian pasukan yang
sering memenangkan perang, sekarang kalah oleh hutan yang belum jelas penghuninya! Aku sendiri yang akan menemukan
bidadari-bidadari itu dan menghukum mereka karena berani menumpas pasukan
terbaikku!” Dengan amarah, Raja Madukala melesat menuju hutan Danastri. Benar saja, hutan itu sangat indah, namun
menyimpan jebakan-jebakan yang mematikan. Tetapi Raja Madukala adalah raja yang
sakti, ia dapat mengatasi berbagai jebakan dan bahaya di hutan itu. Hingga
akhirnya sampailah Raja Madukala di sebuah pohon tinggi dan besar di tengah
danau. Pohon itu begitu besar dan tinggi. Ranting dan bunga-bunganya begitu
lebat hingga menjuntai sampai ke permukaan air. Raja mengamati pohon itu dengan heran. Bagaimana
bisa pohon berkayu bisa tumbuh seindah itu di tengah air. Hal itu membuat Raja
waspada, siapa tahu keindahan pohon itu adalah jebakan. Raja Madukala
bersembunyi di balik semak-semak di pinggir danau. Matanya tajam mengawasi
pohon itu.
Tiba-tiba
terdengar bunyi tawa anak kecil yang
sangat merdu. Juntaian bunga-bunga itu bergoyang, dan ketika juntaiannya
tersibak, tampaklah seorang anak perempuan kecil yang begitu cantik. Belum
pernah terlihat anak yang secantik itu. Sayapnya sangat indah dan tanduk kecil
di atas kepalanya menyembul diantara rambut yang indah. Anak itu tertawa sangat
merdu. Ia sangat gembira menunggang ikan merah besar yang membawanya menyelinap
diantara bunga. Seketika itu Raja Madukala merasa yakin, inilah salah satu
bidadari yang dibicarakan masyarakat.
Raja
Madukala tersenyum, ia sangat gembira menjadi orang pertama yang bisa menemukan
bidadari hutan Danastri. Ketika anak itu melintas di dekatnya bersembunyi, Raja
Madukala melesat dengan cepat, menyambar anak itu dan membawanya pergi. Anak
itu sangat terkejut, ia berteriak sekuat tenaga memanggil saudaranya. “Kakak..!
tolong!”, anak kecil itu meronta dalam cengkeraman Raja Madukala. Tak lama
kemudian, juntaian bunga-bunga pohon itu bergoyang. Di antara dahannya munculah
tiga orang gadis yang luar biasa cantik. Mereka bersayap dan bertanduk seperti
anak kecil itu. Ketiga gadis itu tampak terkejut melihat adik kecil mereka
tertangkap oleh manusia. “Alana!” teriak salah satu gadis itu memanggil adik
kecilnya. Ia hendak mendekati Raja Madukala untuk merebut bidadari Alana. Raja
Madukala segera melompat mundur. Di tangannya terhunus pedang yang siap melukai
bidadari kecil.
“Mundur,
atau kau akan kehilangan adikmu ini untuk selamanya!” gertak Raja Madukala. Ketiga
gadis bidadari itu berhenti melangkah. Ajaib, mereka bisa mengapung di atas
daun-daun teratai yang tersebar di danau. Kedua bidadari itu tampak cemas.
“Lepaskan Alana!” teriak bidadari Tarita. Ia adalah bidadari tertua di kelompok
itu. Mendengar itu Raja Madukala tertawa, ketiga bidadari cantik itu sangat
memesona hingga Raja ingin menangkap ketiganya. Raja berpikir bahwa bila ia
berhasil menangkap 4 bidadari dan memeliharanya di istananya, maka namanya akan
semakin termashur di seluruh wilayah itu. “Gadis-gadis cantik….aku akan
melepaskan anak ini kalau kalian bertiga mau tinggal di istanaku dan menjadi
milikku!” kata Raja Madukala penuh ketamakan.
Ketiga
bidadari itu membelalak sangat marah. Mereka ingin sekali menyerang Raja
Madukala. Namun sayang, hari itu adalah hari bulan mati dimana bulan tak tampak
di langit. Pada masa itu kekuatan para bidadari sangat lemah. Hanya adik kecil
merekalah yang masih memiliki kekuatan besar yang tidak terpengaruh oleh
peredaran bulan. Sebelum adik mereka dewasa, siklus peredaran bulan tak
berpengaruh pada kekuatannya. Tapi bidadari Alana masih terlalu kecil, meskipun
menyimpan kekuatan, ia tak bisa menggunakannya seseuai keinginan. Saat ini ia
tak berdaya dalam cengkeraman Raja Madukala.
Meskipun
ketiga bidadari tak memiliki kekuatan yang cukup, mereka tak tega melihat adik
mereka dalam cengkeraman musuh. “Kakak, apa yang harus kita lakukan?” tanya
Bidadari Mustika kepada kakaknya. “Hari ini kita tidak memiliki kekuatan karna
bulan sedang beredar dalam fase bulan mati,” sahut Bidadari Embun. Bidadari
Tarita tampak bingung, tetapi sebagai bidadari paling tua ia bertanggungjawab atas keselamatan saudari-saudarinya.
Keinginannya untuk melindungi mereka
membuatnya nekat menyerang Raja Madukala untuk menyelamatkan Alana.
Bidadari Tarita mengatur siasat kepada kedua adiknya, “Aku akan mengalihkan
perhatian manusia itu. Kalian berdua, bersiaplah untuk merebut Alana dan segera
pergi dari sini.
“Itu
sangat berbahaya kak, kakak tidak memiliki kekuatan yang cukup!”, sanggah Bidadari
Embun. Bidadari Tarita menatap adiknya dengan tajam penuh ketegasan,”Jangan
membantahku Embun, siapapun tak ingin kehilangan Alana! Akulah pemimpin kalian
di sini, lakukan yang kuperintahkan.!” Tanpa menunggu persetujuan kedua
adiknya, bidadari Tarita melesat menuju Raja Madukala untuk menyerangnya.
Melihat semangat kakaknya yang tak mengenal takut, Bidadari Embun dan Bidadari
Mustika bersiap merebut Alana dari tangan Raja Madukala.
Bidadari
Tarita menggerakkan tangannya untuk mengendalikan tumbuh-tumbuhan supaya
menyerang Raja Madukala. Sulur-sulur pepohonan tiba-tiba meluncur mengikat kaki
dan tangan Raja. Namun gerakan Raja amat gesit. Ia bisa melompat ke sana dan
kemari sambil menggendong Alana untuk menghindari sulur-sulur itu. Tarita
semakin mengerahkan kekuatannya, ia tidak hanya mengendalikan sulur pohon
tetapi juga ranting-ranting kecil. Seandainya kekuatannya penuh, ia mampu
mencabut pohon sebesar sumur. Terjangan ranting dan sulur-sulur itu merepotkan
Raja Madukala, maka ia melepaskan Alana sejenak. Kesempatan itu digunakan oleh
Bidadari Mustika dan Embun. Mereka melesat menangkap Alana dan membawanya
terbang menjauh.
Alana
menangis dalam gendongan bidadari Mustika karena ketakutan. Ketika ia sejenak
merasa lega berada dalam gendongan kakaknya, sebuah pemandangan mengerikan
terjadi di depan matanya. Raja Madukala berhasil memutuskan sulur-sulur dan
ranting yang menyerangnya, dan dengan cepat ia menusukkan pedang kepada
Bidadari Tarita tepat di dadanya.
Bidadari Tarita tersungkur dan tak bergerak lagi. Ia tewas dalam
pertarungannya. “Kakaaaaak!! Kakak Taritaaaa!!”, teriak Alana penuh kepedihan.
Bidadari Mustika dan Bidadari Embun terhenti sejenak melihat kakaknya, Bidadari
Mustika hendak kembali untuk menolong namun Bidadari Embun mencegahnya, “Patuhi
kakak dan selamatkan Alana! Jika kita kembali kita bertiga tidak akan selamat!”
Bidadari Mustika menangis menyadari ketidakberdayaannya. Sejenak ia hanya
terpaku kebingungan. Bidadari Embun segera menarik Bidadari Mustika untuk
segera pergi, namun terlambat, Raja Madukala sudah melesat ke arah mereka.
Dengan cepat ia menghantam Bidadari Embun sebelum ia sempat terbang. Bidadari Embun
terguling, ia kesakitan dan tak dapat terbang.
Kejadian
itu membuat Bidadari Mustika putus asa. Kakak tertuanya tewas, dan kini kakak
ke duanya terluka. Dan musuh di hadapannya masih tangguh siap menyerang.
Tiba-tiba, Alana berteriak demikian keras. Suaranya menggetarkan tanah dan
pohon-pohon disekitarnya seperti gempa. Matanya berubah merah dan tiba-tiba
saja api berkobar dari kedua tangannya. Ia tampak sangat marah dengan mata
merah menyala. Alana terbang melepaskan diri dari pelukan Bidadari Mustika. Ia
melesat mendekati Raja Madukala dan menyerangnya dengan tangan api. Alana
berubah menjadi sangat kuat. Raja Madukala diserangnya bertubi-tubi tanpa
diberi kesempatan untuk membalas.
Alana
menembakkan bola api ke arah Raja Madukala berkali-kali. Kemanapun Raja
menghindar, Alana terus mengikuti. Hutan itu kini berubah menjadi lautan api
yang berkobar hingga tak ada lagi tempat bagi Raja Madukala untuk menghindar.
Ia telah terluka dan tak mampu bangkit lagi. Alana hendak menyerangnya untuk
terakhir kali. Dalam sekali tembakan bola api besar, raja itu pasti tewas.
Tiba-tiba Bidadari Mustika mencegah Alana. “Cukup Alana! Jangan mengotori
tanganmu dengan membunuh manusia! Kalau kau membunuhnya, maka kau sama jahatnya
dengan dia!” Alana memandang kakaknya dengan linangan air mata. Bidadari Mustika
memeluk Alana untuk membantunya meredam amarah.
Hutan
itu terbakar, seluruh keindahan dan kekayaannya musnah bersama Raja Madukala
yang tak mampu bangkit dan menghindari api. Hutan yang begitu indah berubah
menjadi lautan api yang membara. Bidadari Embun tertatih mendekati mereka, ia
hanya terluka yang tidak berbahaya. Dengan sisa tenaganya ia membawa kakak
Tarita yang telah tewas. Alana berlari memeluk kakak Embun dan kakak Tarita. Mereka
menangis berpelukan. Tangis mereka mereda ketika tiba-tiba sebuah batang pohon
yang terbakar jatuh mendekat. Mereka baru sadar bahwa api telah mengepung.
Serta merta mereka bangkit untuk pergi dari tempat itu, namun kemanapun mereka
melangkah, selalu terhadang api hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.
Keadaan
itu membuat Alana makin ketakutan. “Kita akan mati…” keluh Alana makin
ketakutan. Bidadari Mustika tak mampu berkata-kata lagi karna ia juga tahu
bahwa mereka tidak akan selamat. Bara api di sekitar mereka terasa sangat menyengat.
“Maafkan aku kak, akulah yang membakar semuanya…” tangis Alana makin menjadi,
dalam hati ia menyesal tak dapat mengendalikan amarahnya.
Bidadari
Embun memejamkan matanya, biasanya, dalam keadaan genting seperti ini, kakak
Taritalah yang mampu mencari jalan keluarnya. Tiba-tiba ia teringat perkataan
kakak Tarita suatu kali, “Adikku, seluruh bidadari memiliki kekuatannya
masing-masing, namun sesungguhnya kekuatan tertinggi dari para bidadari adalah
kekuatan cinta. Bersatulah dan saling menyayangi.”
Kata-kata
itu membangkitkan semangat bidadari Embun untuk berusaha mengatasi api di
sekitar mereka. “Alana, Mustika,
ingatkah kalian akan nasehat kakak Tarita tentang kekuatan tertinggi para
bidadari?...kekuatan itu ada di hati kita, kekuatan cinta…” Bidadari Mustika
dan Alana tertegun memperhatikan kata-kata Bidadari Embun. Merekapun mulai
ingat kata-kata kakak Tarita. Lalu
bidadari Embun berkata lagi, “ Alana, kaulah yang terkuat diantara kami
sekarang, lihatlah sekelilingmu…dulu tempat ini adalah tempat yang damai dan
indah, penuh cinta. Hapuslah amarahmu dan ingatlah akan semua cinta yang kita
berikan bagi hutan ini. Cinta yang membangkitkan sihir kesejukan, cinta yang
mencurahkan sihir air, cinta yang membangkitkan tumbuhnya bunga-bunga…
Bidadari
Embun menggandeng tangan kedua saudarinya, dan Alana meraih tangan Bidadari
Tarita bersatu dalam lingkaran jalinan tangan bersama Bidadari Mustika. Mereka
bersama-sama berdoa dan mengenang cinta dalam keluarga bidadari. Perasaan
mereka yang bersatu secara ajaib mengalirkan kekuatan yang tersisa. Cahaya
kuning mengalir melalui telapak tangan mereka yang saling menggenggam, cahaya
itu mengalir menuju kakak Tarita dan membungkusnya dengan cahaya terang yang
penuh cinta. Pendaran cahaya lembutnya terasa indah dan tenteram. Tubuh
Bidadari Tarita yang terkulai tiba-tiba melayang, naik ke angkasa dan terpecah
menjadi butiran-butiran putih, lembut dan dinggin…..salju…. butiran itu
menghujani seluruh kawasan hutan danastri. Perlahan api yang berkobar mulai
padam, panasnya berubah menjadi kesejukan.
Hutan
itu kini tertutup salju, api telah lenyap, tak ada lagi bara merah yang
membakar. Hamparan putih itu kini dihiasi oleh batang-batang pohon yang hangus
menjadi arang. Cinta Bidadari tarita yang besar bagi adik-adiknya telah
mengubahnya menjadi hujan salju yang menyelamatkan mereka dari api. Alana dan
kedua kakaknya menangis merasakan kasih Bidadari Tarita yang masih
menyelamatkan mereka walau telah tewas. Alana kini mengerti bahwa kekuatan yang
berasal dari amarah hanya akan mengakibatkan kerusakan dan malapetaka, namun
kekuatan yang berasal dari cinta membawa kesejukan dan kedamaian. Ia berjanji
kepada kakaknya bahwa ia tak akan pernah lagi membiarkan amarah menguasai. Ia
akan selalu ingat akan cinta yang diajarkan oleh Bidadari Tarita.
Alana
kemudian bangkit, ia merentangkan kedua tangannya, dengan seluruh perasaan
cintanya kepada alam, ia mengerahkan kekuatannya untuk menumbuhkan bunga-bunga
indah dan dauh hijau dari batang-batang pohon yang hitam terbakar. Ia
melelehkan salju menjadi air yang berkumpul dalam kolam. Ia memanggil ikan-ikan
dan hewan-hewan cantik berkeliaran di hutan itu. Hutan danastri kini kembali
indah, lebih indah dari sebelumnya karena sekarang selain pohon-pohon indah,
hutan itu berhias salju dan Kristal-kirstal es yang cantik. Ketiga bidadari
yang tersisa tinggal di sana dan menjadi pemelihara hutan danastri. Hutan itu
tetap menjadi hutan yang paling indah di bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar