Pangeran dan Anak Kambing |
Kerajaan Bayutala begitu
indah. Hamparan hijau terbentang di pinggir pantai nan biru. Bukit-bukit kecil
menyembul di sela-sela hutan rimba. Rumah-rumah penduduk berwarna terang tampak
bagai manik-manik kecil di atas permadani. Setiap rumah memiliki sebuah kincir
angin yang besar. Baling-balingnya selalu berputar seiring dengan tiupan angin laut
yang melaju menuju daratan. Kilau putarannya tampak seperti bunga-bunga
bermekaran di padang rumput.
Kincir-kincir itu bukan saja
memperindah kerajaan, namun juga menjadi sumber energy dan kekayaan. Setiap
kincir yang berputar akan menggerakkan turbin di dalam menaranya. Turbin-turbin
itu terhubung pada generator yang mampu menghasilkan listrik untuk kamudian
disimpan dalam sebuah batre besar. Selain untuk memenuhi kebutuhan penduduk,
listrik-listrik yang sudah tersimpan itu dijual kepada kerajan-kerajaan sekitar
sehingga menghasilkan kekayaan bagi kerajaan.
Namun pagi itu ketika matahari
bersinar cerah membawa keceriaan bagi makhluk-makhluk di bumi, Raja Buwana tampak
murung menatap hamparan kincir-kincir kerajaan. “Sudah berapa lama
kincir-kincir itu tidak berputar?” tanya Raja kepada menterinya, yaitu Menteri
Mordi. Ia adalah orang yang paling setia kepada raja. Segala hal urusan
kerajaan selalu diselesaikannya dengan sangat baik. Maka Raja selalu
melibatkannya dalam menangani urusan-urusan kerajaan paling penting sekalipun. Sang
menteri memberi hormat dan memberikan keterangan yang diminta raja. “Yang
mulia, kincir-kincir kita tidak bergerak sejak 3 hari yang lalu. Selama itu tak
sedikitpun angin bertiup. Sepanjang sejarah Bayutala, belum pernah terjadi
angin tidak bertiup sama sekali selama beberapa hari. Hamba sudah mengirim para
utusan untuk menyelidiki penyebabnya.”
“Berapa banyak cadangan
listrik kita yang tersisa? Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan
penduduk?”,tanya raja lagi. Sang menteri menunjukkan catatannya kepada raja.
Sejenak raja menghela nafas. Cadangan listrik kerajaan hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan penduduk selama 2 hari lagi. Sedangkan permintaan dari
kerajaan lain terpaksa ditolak karena cadangan listrik tidak mencukupi lagi
untuk dijual ke kerajaan lain. Dengan sedikit ragu, sang menteri mendekati
Raja, katanya,”Yang Mulia, mungkin kita perlu mulai memesan listrik dari
kerajaan Kiduri demi kesejahteraan rakyat. Jangan sampai rakyat kekurangan
listrik. Di kerajaan Kiduri…..” belum sempat menteri menjelaskan, Raja menyahut
dengan amarah. “Jangan menyerah begitu saja dengan situasi ini! Kerajaan kita
adalah penghasil listrik terbesar! Sangat memalukan bila kita membeli dari
negara lain yang lebih kecil! Pergilah dan carilah cara mengatasi kincir-kincir
itu agar berputar!”
Menteri itu segera pergi
melaksanakan perintah raja. Bentakan yang sebenarnya tak terlalu keras itu
membuat menteri merasa ketakutan. Dengan
tergesa-gesa ia mengundurkan diri dari hadapan raja. Sejenak setelah menteri
itu pergi, Pangeran Sakapati datang menemuai ayahnya dengan tergesa-gesa. “Ayah,
aku tahu penyebab angin tidak bertiup beberapa hari ini. Dewi angin yang
bertugas mengatur angin dalam bahaya! Raja Gujung menculiknya dari istana
Angkasa!” Mendengar itu, raja menatap dengan tajam. “Bagaimana kau tahu?”,
tanya raja menyelidik.
Pangeran menjelaskan dengan
singkat apa yang baru saja ditemukannya. Pagi ini Pangeran pergi ke padang
rumput sendirian untuk berlatih berkuda sambil memanah. Di sela-sela latihan,
ia menemukan anak kambing yang terluka dan kelelahan. Saat pangeran
menolongnya, ia terkejut karena anak kambing itu dapat bicara. Anak kambing itu ternyata adalah Suketi,
pengawal setia Dewi Angin. Kemanapun Dewi Angin pergi, Suketi selalu
menyertainya. Suketi terluka oleh Raja Gujung yang menculik Dewi Angin. Raja itu
ingin memaksa Dewi Angin membantu Kerajaan Kiduri menjadi penguasa listrik.
“Bagaimana mungkin Dewi Angin
bisa ditangkap? Kekuatannya sangat besar. Raja manapun tidak bisa
mengalahkannya!”, sanggah sang Raja. Pangeran menggeleng, katanya,”Tidak ayah,
Raja Gujung mengetahui kelemahan Dewi Angin. Ia meracuni Dewi Angin dengan
permata hitam dari kutub selatan.”
Raja kembali menatap Pangeran
dengan tajam. Tidak ada yang tahu kelemahan Dewi Angin kecuali dirinya, pangeran
dan Menteri Mordi. Dewi Angin sebenarnya adalah keluarga Raja Buwana yang
mendapatkan tugas untuk menjadi penjaga angin. “Aku tidak pernah membicarakan
permata hitam dari kutub selatan kepada orang lain selain kepadamu dan Menteri
Mordi. Bagaimana Raja Gujung bisa mengetahuinya?” tanya Raja sambil berbisik
kepada Pangeran.
“Akupun memiliki pertanyaan
yang sama dengan ayah….”, sahut Pangeran. Raja mengernyitkan keningnya. Ia
kembali berbisik kepada Pangeran. “ Apa kau mencurigai Menteri Mordi?” Pangeran
terdiam lalu ia juga mengajukan pertanyaan kepada ayahnya,”Menurut ayah, apakah
aku bisa mencurigai ayah atau diriku sendiri?” Kini raja yang terdiam. Dalam pikirannya
ia sependapat bahwa orang yang paling mungkin membocorkan rahasia itu adalah
Menteri Mordi. Tetapi mereka tidak punya bukti sama sekali sehingga tidak
mungkin bagi mereka untuk menangkap Menteri Mordi. Dan lagi selama ini Menteri
Mordi menunjukkan kesetiaan yang luar biasa kepada raja. Rasanya tak mungkin ia
kini mengkhianatinya.
Sejenak mereka saling diam, hening
beberapa saat dalam pikiran masing-masing.
Kemudian Pangeran memecah keheningan. “Ayah, aku punya rencana.” Dengan
singkat Pangeran menjelaskan rencananya kepada raja . Raja Buwana
menganggung-angguk tanda setuju. Kemudian memeluk putranya itu sebagai tanda
persetujuan dan perintah bagi Pangeran untuk melaksanakan rencananya itu.
Pagi buta, Raja mengumpulkan
para pejabat kerajaan beserta Pangeran Saka Pati. Raja memulai pidatonya, “Aku
telah mendapatkan petunjuk dalam mimpiku bahwa hilangnya angin di kerajaan
Bayutala adalah karena kerajaan kita telah melakukan kesalahan dengan melupakan
pemeliharaan alam di gunung selatan. Kita terlalu mengutamakan wilayah pantai
utara dengan kincir-kincir kita yang membanggakan. Sedangkan wilayah gunung di
selatan terbengkalai dan rusak. Karena itulah Dewa gunung menuntut keseimbangan
perhatian kita.”
Seluruh pejabat yang hadir
mengangguk-angguk. Memang kenyataannya gunung di selatan mulai banyak hutan
yang gundul dan tanah longsor serta angin ribut yang merusak hutan. Padahal
seharusnya kerajaan memperhatikan pemeliharaan alam secara seimbang. Raja
melanjutkan pidatonya,” Alam menunjukkan kemarahannya maka kita harus mencari
perdamaian dengan alam melalui laku tapa. Putraku, Pangeran Sakapati akan
mewakili kerajaan melakukan laku tapa. Ia akan melakukan perjalanan ke selatan
dengan meninggalkan segala ciri kepangeranannya dan menjadi seorang gembala
yang membawa sekawanan kambing, sapi, kerbau dan segala jenis binatang yang
kita miliki menuju gunung selatan. Hewan-hewan itu akan ditinggalkan di hutan
selatan dan menjadi kekayaan yang menyeimbangkan hutan. Semoga dengan jerih
payah dan kerendahan hati yang dilakukan Putraku sambil membawa sumbangan
hewan-hewan yang kita berikan, maka dewa gunung akan memaafkan kita dan
mengijinkan angin bertiup kembali.”
Tak seorangpun yang menyanggah
pengumuman raja. Mereka menyetujuinya termasuk Menteri Mordi. Maka berangkatlah
pangeran yang telah melepaskan mahkota dan berganti pakaian menjadi gembala. Tujuan
pangeran melepaskan mahkota dan berganti menjadi gembala adalah menunjukkan
kerendahan hati pemimpin untuk meminta maaf atas kesalahannya.
Suatu malam, di tengah padang
rumput yang luas, serombongan bangsawan istana sedang berkemah. Tenda-tenda
mewah telah didirikan, perapian yang dikelilingi para pengawal telah dinyalakan.
Di dalam tenda yang paling besar, dua orang petinggi istana sedang bercakap-cakap.
Terdengarlah gelak tawa seorang pria bermahkota di sana, dialah Raja Gujung. Ia
tertawa-tawa setelah mendengar keterangan dari seorang pria di hadapannya. “Ha..ha..ha…rupanya
Raja Buwana itu bodoh sekali….. ia pikir hilangnya angin itu karena kemarahan
Dewa Gunung? Ha..ha… dan anaknya itu sama bodohnya dengan ayahnya. Ia bersusah
payah menjadi gembala untuk mengantar hewan ke gunung selatan? Ha..ha..ha… .”
Pria di hadapannya itu ikut tertawa meskipun ia sedikit menahan diri, katanya
“Benar yang mulia, sekarang ini Pangeran Sakapati sedang memanggul kambing
mendaki gunung di selatan. Itu artinya, tawanan kita aman di karang hutan
bakau. Sebentar lagi kerajaan Bayutala akan kekurangan listrik. Rakyat akan
marah lalu melawan rajanya yang dianggap bodoh.”
Mendengar itu raja Gujung
kembali tertawa,”Ha..ha… dan saat itu kita akan mengalahkan Raja Buwana lalu
menguasai istananya. ….ha..ha.. lalu putranya itu saat kembali dari gunung
selatan akan mendapati tahtanya sudah menjadi milik kita…Ha..ha..ha…” Pria di
hadapan Raja Gujung itu kembali ikut tertawa kemudian dengan hati-hati ia
mengingatkan raja Gujung, “ He..he..betul yang mulia, dan hamba harap yang
mulia tidak melupakan jasa saya…” Raja itu berhenti tetawa lalu sambil menepuk
pundak pria itu ia menjawab,”Jangan khawatir kau Mordi, kau sudah menunjukkan
kesetiaanmu padaku dengan mengkhianati Raja Buwana. Kau sudah menunjukkan
padaku kelemahan Dewi Angin dan membantuku menculiknya. Tentu saja aku tidak
akan lupa. Setelah Raja Buwana kita kalahkan, kaulah yang akan menggantikannya
duduk di singgasana Bayutala menjadi raja bawahanku.” Pria itu yang ternyata
adalah Menteri Mordi menghaturkan sembah berkali-kali untuk berterima kasih.
Seekor kelelawar terbang
menjauh dari kemah itu setelah ia bertengger beberapa lama di puncak tiangnya.
Kelelawar itu terbang menuju pegunungan di selatan lalu bertengger di punggung
seekor anak kambing putih. Beberapa saat ia mendekatkan diri ke telinga kambing
itu lalu terbang kembali untuk mencari makan. Anak kambing itu mendekati
pangeran Sakapati lalu menceritakan apa yang baru saja didengarnya dari
kelelawar pengintai. Pangeran Sakapati tampak menahan marah, ”Sudah kuduga,
Menteri Mordi yang berkhianat di balik permasalahan kerajaan kita.” Suketi yang
berwujud anak kambing itu mendekat dan mengingatkan pangeran untuk
menyelamatkan Dewi Angin. Berdasarkan keterangan yang didengar kelelawar, Dewi
Angin disembunyikan di karang hutan bakau. Malam itu juga pangeran pergi menuju
karang hutan bakau bersama Suketi. Semalaman mereka menyeberangi padang rumput
dan hutan di selatan menuju pesisir pantai di sebelah utara.
Pagi merekah, pantai itu
tampak sunyi tanpa angin, tanpa debur ombak. Pangeran menerobos hutan bakau
yang sangat lebat sambil memanggul Suketi. Air laut masih menggenang di dasar,
suaranya bergemericik saat pangeran melangkah di antara akar dan pohon. Tak
lama kemudian, mereka menemukan seonggok batu karang yang menggunung di tengah
hutan dan tertutupi oleh semak-semak karang. Pangeran mengamati karang itu,
hanya sebuah batu tak berpintu. Beberapa kali pangeran mengitari batu itu, tak
ada pintu ataupun jendela di sana, bahkan lubang kecil pun tak ada.
“Suketi, mungkin bukan ini
batu karang yang dimaksud. Bagaimana Dewi Angin disembunyikan dalam batu
tertutup seperti ini?” kata pangeran sedikit ragu. “Pangeran, bawalah aku
mendekat, aku bisa merasakan getaran kekuatan Sang Dewi meskipun sangat lemah”
kata Suketi meminta tolong. Pangeran membawa Suketi mendekati karang hingga ia
bisa menempelkan kakinya di batu karang itu.
Sejenak kemudian Suketi berseru,”Dewi! Apakah anda baik-baik saja?”
Pangeran menajamkan pandangannya, baginya itu hanya sebuah batu. Namun ketika
ia memperhatikan dengan lekat, tampak seraut wajah pucat dengan mata terpejam
di dalam batu itu. Dewi Angin terlihat lemah dan terjebak di dalam batu.
Keadaannya jelas tidak baik-baik saja.
Pangeran mengamati sekeliling batu itu. Ia berpikir bagaimana caranya
menolong Dewi Angin.
Kemudian matanya tertambat
pada sebuah batu hitam yang menancap di dasar karang. Sepintas batu itu tampak
seperti akar pohon bakau saja. Namun setelah diamati sungguh-sungguh, batu itu
tampak berbeda. Pangeran mendekati batu itu lalu berusaha meraihnya. Sejenak
kemudian ia menarik tangannya kembali dengan cepat. Batu hitam itu terasa panas
dan menyakiti telapaknya. Tampak kilau sinar hitam memendar dari batu itu.
Setelah pangeran memegangnya, selapis lumpur yang menutupi permukaan batu
menjadi terbuka. Pangeran mengambil kain kepalanya kemudian ia membersihkan
lumpur yang menyelimuti batu itu. Tampaklah kini batu yang berkilau. “Inilah
batu permata hitam dari kutub selatan, keberadaannya melemahkan kekuatan Dewi
Angin” , gumam pangeran.
Pangeran menariknya dengan
sekuat tenaga namun batu itu tertancap demikian kuat. Ditambah lagi panas yang
memancar menyakiti tangannya. Pangeran tak putus asa, ia terus berusaha
mencabut batu permata hitam itu. Tiba-tiba Raja Gujung datang bersama Menteri
Mordi. Tanpa kata-kata, Raja Gujung menyerang pangeran agar menjauh dari batu
permata hitam. Sementara itu Menteri Mordi menutup mukanya, ia terkejut bisa
bertemu dengan Pangeran Sakapati di tempat itu. Padahal kemarin Pangeran
berjalan menuju arah selatan bersama kawanan ternaknya.
“Percuma saja kau menutup
mukamu Menteri Mordi, aku sudah tahu pengkhianatanmu!” kata pangeran di
sela-sela pertarungannya dengan Raja Gujung. Raja itu tertawa
merendahkan,”Bagaimana rasanya dikhianati oleh orang kepercayaanmu Pangeran?
Kau dan ayahmu hanyalah orang bodoh yang mempercayai ular licik seperti
Mordi..ha..ha… seharusnya kalian tahu, orang seperti Mordi tidak bisa
dipercaya. Dia hanyalah tukang bohong yang mencari keuntungan sendiri!” Tanpa
sadar, Raja Gujung terus melontarkan penghinaan kepada Menteri Mordi. Hal itu
membuat Menteri Mordi tersinggung. Dalam hatinya ia mulai marah kepada Raja
Gujung yang terus terusan merendahkannya.
Pertarungan antara pangeran
dan Raja Gujung terus berlangsung. Raja Gujung benar-benar hebat dalam bertarung,
beberapa kali Pangeran mulai terdesak. Suatu ketika pangeran terjerembab ke
dalam lumpur hutan bakau, kakinya tersangkut akar yang menjulang ke permukaan.
Raja Gujung segera memanfaaatkan situasi dengan mengarahkan sebilah belati
untuk dilemparkan ke arah pangeran. Tak ada waktu bagi pangeran untuk
menghindar. Belati itu melesat cepat ke arahnya. Detik berikutnya, pisau itu
mendarat menancap ke tubuh dan mengalirkan darah. Namun bukan darah Pangeran…
rupanya anak kambing Suketi melompat melindungi pangeran. Pisau itu mengenai
jantung Suketi. Pangeran berteriak memanggil Suketi. Anak kambing itu bersimbah
darah demi melindungi pangeran. “Pangeran….selamatkan Dewi Angin….”, bisik
Suketi kepada Pangeran dengan terbata-bata, lalu tewas dalam pelukan Pangeran.
Rasa sakit memenuhi perasaan pangeran, ia kehilangan sahabat yang baru saja
bersamanya untuk menyelamatkan Dewi Angin. Rasa sakit itu membangkitkan
semangat pangeran untuk berjuang memenuhi harapan Suketi. Seolah-olah tenaganya
terisi kembali. Pangeran melepaskan diri dari akar bakau dan dengan semangat
baru ia berhasil melempar Raja Gujung menjauh dari karang. Kesempatan itu
digunakannya untuk menjauhkan batu permata hitam dari Dewi Angin. Kemarahannya
karena kematian Suketi membuat pangeran mamiliki kekuatan lebih untuk mencabut
batu permata hitam. Batu itu berhasil dicabut dan dilemparkan pangeran jauh ke
samudera.
Menteri Mordi yang melihat itu
tidak melakukan apapun. Hatinya masih dipenuhi amarah kepada Raja Gujung yang
telah menghinanya. Ia teriangat bahwa selama menjadi bawahan raja Buwana dan
pangeran Sakapati, tak pernah mereka merendahkan dirinya meskipun beberapa kali
melakukan kesalahan. Menteri Mordi menyesal telah mengkhianati raja yang baik
itu. Sekarang ia menjadi bimbang untuk memihak pangeran ataukah raja Gujung.
Raja Gujung kembali ke tempat
pangeran dan menyerangnya kembali. Mereka kembali terlibat dalam pertarungan.
Sesekali pangeran melihat batu karang itu dan mencari celah untuk
menghancurkannya supaya Dewi Angin terbebas. Namun sulit karena Raja Gujung
terus menyibukkannya dengan serangan-serangan hebat. Tiba-tiba raja Gujung
berteriak kepada Menteri mordi,”Mordi, jangan diam saja, bantu aku mengalahkan
pangeran ini! Kau mau jadi raja atau tidak?!” Mendengar itu Menteri Mordi sedikit
bimbang. Menjadi bawahan Raja Gujung berarti ia harus siap mendengar kata-kata
hinaan yang biasa diucapkan raja. Tetapi tawaran menjadi seorang raja merupakan
tawaran yang menggiurkan. Karena sifat tamaknya telah menguasai, maka Menteri
Mordi memilih untuk membantu Raja Gujung mengalahkan pangeran.
Dengan mendapat
serangan dari dua orang, Pangeran kembali terdesak. Ia beberapa kali terluka.
Pada saat yang genting ketika pangeran hampir terbunuh, tiba-tiba seberkas
sinar menampar raja Gujung dan Menteri Mordi. Kedua orang itu terlempar ke
dalam lumpur pantai dan mengerang kesakitan. Dewi Angin telah berdiri di
hadapan mereka dengan mengacungkan tongkat sihirnya. Rupanya Dewi Angin
mendapatkan kekuatannya kembali setelah batu permata hitam dilempar ke samudera
oleh pangeran. ia dapat membebaskan diri dan berbalik menyerang Raja Gujung
maupun Menteri Mordi.
Sambil mengacungkan tongkat
sihirnya, Dewi Angin memarahi Raja Gujung dan Menteri Mordi, “Aku tidak dapat
mengampuni kalian. Kalian telah membahayakan kehidupan banyak orang. Terlebih
lagi kalian telah menyebabkan pelayan setiaku Suketi tewas. Aku akan mengurung
kalian di kutub utara yang paling dingin selama sisa umur kalian.” Dewi Angin
mengayunkan tongkatnya dan sebentuk pusaran angin turun dari langit menjemput
Raja Gujung dan Menteri Mordi. Angin itu mengurung mereka dan membawanya
terbang menuju kutub utara. Dewi Angin
mendekati Suketi, ia menangis melihatnya tewas ketika ia masih berwujud anak
kambing. Pangeran mendekati Dewi Angin,”Maafkan aku tidak bisa melindungi
Suketi…”
Dewi Angin menghapus air matanya, katanya, “Bukan salahmu pangeran,
semua ini karena kejahatan Raja Gujung dan Menteri Mordi. Ketamakan mereka akan
kekayaan dan kekuasaan telah membuat mereka menjadi orang jahat. Dan Suketi….ia
adalah pelayanku yang paling setia. Bagiku, Suketi adalah seorang sahabat……”
Dewi Angin kembali menangis sambil memeluk Suketi yang berwujud anak kambing
itu. Pangeran mendekati Dewi Angin, “Ijinkan aku membawa Suketi untuk
dimakamkan di tempat terhormat kerajaan, ia telah menyelamatkan nyawaku.”
“Ia juga menyelamatkan
nyawaku….. Pangeran, kau boleh membawanya ke kerajaan Bayutala.” Dewi Angin
menyerahkan anak kambing Suketi itu kepada pangeran. Lalu katanya lagi,”Aku
juga ingin menghormati jasanya, aku akan mengenang jasa Suketi melalui semua
kambing di kerajaanmu. Aku akan menggunakan suara mereka sebagai sarana untuk
memanggilku. Lagukan sebuah mantera agar mereka mengembik bersama-sama, maka
aku akan segera datang. Akan kuajarkan manteranya. Hafalkan lagu ini
Pangeran….”Cempe…cempe…undangno barat
gede…” (Anak kambing…anak kambing…panggilah angin yang besar). Lagukan ini
tiga kali di depan kawanan kambing. Saat mereka mengembik bersama-sama setelah
mendengar lagu kalian, maka aku akan datang bersama angin yang kalian butuhkan.”
Pangeran menuruti perintah
Dewi Angin, ia mendendangkan lagu singkat itu. Dewi Angin kemudian berpamitan
untuk kembali ke istananya dengan janji akan datang saat kambing-kambing di
Bayutala mengembik bersama-sama setelah mendengar mantera. Pangeran kembali ke
istana membawa kambing Suketi. Raja Buwana menyambutnya dengan gembira
sekaligus bersedih melihat Suketi tewas. Pangeran menceritakan semua
pengalamannya dan mengajarkan mantera baru itu kepada penduduk.
Pagi itu, penduduk berkerumun
di padang rumput, ribuan kambing tampak tersebar di seluruh area. Angin bertiup
sangat lemah tak dapat menggerakkan kincir. Sudah sehari mereka tak punya
listrik. Hari itu mereka berharap datangnya angin kencang untuk memutar
kincir-kincir di kerajaan Bayutala. Raja dan pangeran memimpin mereka untuk
menyanyikan mantera yang diajarkan oleh Dewi Angin. Lagu berkumandang di
seluruh padang, “Cempe…cempe..undangno
barat gede…” mereka menyanyikan lagu itu sebanyak tiga kali dan kemudian
secara serentak kambing-kambing di seluruh padang rumput itu mengembik
bersama-sama. Suaranya menggema memenuhi padang. Tak lama kemudian, tampak
rumput-rumput bergoyang kian kencang. Dahan-dahan pohon melambai. Angin kencang
datang melaju dari pantai menuju daratan. Mereka menuju kincir-kincir penduduk,
memutarnya dengan riang hingga bias putarannya tampak seperti bunga-bunga
mekar. Kerajaan Bayutala terlihat indah kembali dengan kincir-kincir yang
berputar menggerakkan turbin yang terhubung generator. Kini batre-batre besar
terisi listrik kembali. Mulai saat itu, kerajaan Bayutala selalu bisa memanggil
angin untuk menggerakan kincir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar