Senin, 14 Oktober 2019

Pangeran dan Anak Kambing



Cerita Anak, Dongen Anak, Cerita Bijak
Pangeran dan Anak Kambing

Kerajaan Bayutala begitu indah. Hamparan hijau terbentang di pinggir pantai nan biru. Bukit-bukit kecil menyembul di sela-sela hutan rimba. Rumah-rumah penduduk berwarna terang tampak bagai manik-manik kecil di atas permadani. Setiap rumah memiliki sebuah kincir angin yang besar. Baling-balingnya selalu berputar seiring dengan tiupan angin laut yang melaju menuju daratan. Kilau putarannya tampak seperti bunga-bunga bermekaran di padang rumput.

Kincir-kincir itu bukan saja memperindah kerajaan, namun juga menjadi sumber energy dan kekayaan. Setiap kincir yang berputar akan menggerakkan turbin di dalam menaranya. Turbin-turbin itu terhubung pada generator yang mampu menghasilkan listrik untuk kamudian disimpan dalam sebuah batre besar. Selain untuk memenuhi kebutuhan penduduk, listrik-listrik yang sudah tersimpan itu dijual kepada kerajan-kerajaan sekitar sehingga menghasilkan kekayaan bagi kerajaan.  

Namun pagi itu ketika matahari bersinar cerah membawa keceriaan bagi makhluk-makhluk di bumi, Raja Buwana tampak murung menatap hamparan kincir-kincir kerajaan. “Sudah berapa lama kincir-kincir itu tidak berputar?” tanya Raja kepada menterinya, yaitu Menteri Mordi. Ia adalah orang yang paling setia kepada raja. Segala hal urusan kerajaan selalu diselesaikannya dengan sangat baik. Maka Raja selalu melibatkannya dalam menangani urusan-urusan kerajaan paling penting sekalipun. Sang menteri memberi hormat dan memberikan keterangan yang diminta raja. “Yang mulia, kincir-kincir kita tidak bergerak sejak 3 hari yang lalu. Selama itu tak sedikitpun angin bertiup. Sepanjang sejarah Bayutala, belum pernah terjadi angin tidak bertiup sama sekali selama beberapa hari. Hamba sudah mengirim para utusan untuk menyelidiki penyebabnya.”

“Berapa banyak cadangan listrik kita yang tersisa? Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk?”,tanya raja lagi. Sang menteri menunjukkan catatannya kepada raja. Sejenak raja menghela nafas. Cadangan listrik kerajaan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk selama 2 hari lagi. Sedangkan permintaan dari kerajaan lain terpaksa ditolak karena cadangan listrik tidak mencukupi lagi untuk dijual ke kerajaan lain. Dengan sedikit ragu, sang menteri mendekati Raja, katanya,”Yang Mulia, mungkin kita perlu mulai memesan listrik dari kerajaan Kiduri demi kesejahteraan rakyat. Jangan sampai rakyat kekurangan listrik. Di kerajaan Kiduri…..” belum sempat menteri menjelaskan, Raja menyahut dengan amarah. “Jangan menyerah begitu saja dengan situasi ini! Kerajaan kita adalah penghasil listrik terbesar! Sangat memalukan bila kita membeli dari negara lain yang lebih kecil! Pergilah dan carilah cara mengatasi kincir-kincir itu agar berputar!”

Menteri itu segera pergi melaksanakan perintah raja. Bentakan yang sebenarnya tak terlalu keras itu membuat  menteri merasa ketakutan. Dengan tergesa-gesa ia mengundurkan diri dari hadapan raja. Sejenak setelah menteri itu pergi, Pangeran Sakapati datang menemuai ayahnya dengan tergesa-gesa. “Ayah, aku tahu penyebab angin tidak bertiup beberapa hari ini. Dewi angin yang bertugas mengatur angin dalam bahaya! Raja Gujung menculiknya dari istana Angkasa!” Mendengar itu, raja menatap dengan tajam. “Bagaimana kau tahu?”, tanya raja menyelidik.

Pangeran menjelaskan dengan singkat apa yang baru saja ditemukannya. Pagi ini Pangeran pergi ke padang rumput sendirian untuk berlatih berkuda sambil memanah. Di sela-sela latihan, ia menemukan anak kambing yang terluka dan kelelahan. Saat pangeran menolongnya, ia terkejut karena anak kambing itu dapat bicara.  Anak kambing itu ternyata adalah Suketi, pengawal setia Dewi Angin. Kemanapun Dewi Angin pergi, Suketi selalu menyertainya. Suketi terluka oleh Raja Gujung yang menculik Dewi Angin. Raja itu ingin memaksa Dewi Angin membantu Kerajaan Kiduri menjadi penguasa listrik.

“Bagaimana mungkin Dewi Angin bisa ditangkap? Kekuatannya sangat besar. Raja manapun tidak bisa mengalahkannya!”, sanggah sang Raja. Pangeran menggeleng, katanya,”Tidak ayah, Raja Gujung mengetahui kelemahan Dewi Angin. Ia meracuni Dewi Angin dengan permata hitam dari kutub selatan.”

Raja kembali menatap Pangeran dengan tajam. Tidak ada yang tahu kelemahan Dewi Angin kecuali dirinya, pangeran dan Menteri Mordi. Dewi Angin sebenarnya adalah keluarga Raja Buwana yang mendapatkan tugas untuk menjadi penjaga angin. “Aku tidak pernah membicarakan permata hitam dari kutub selatan kepada orang lain selain kepadamu dan Menteri Mordi. Bagaimana Raja Gujung bisa mengetahuinya?” tanya Raja sambil berbisik kepada Pangeran.

“Akupun memiliki pertanyaan yang sama dengan ayah….”, sahut Pangeran. Raja mengernyitkan keningnya. Ia kembali berbisik kepada Pangeran. “ Apa kau mencurigai Menteri Mordi?” Pangeran terdiam lalu ia juga mengajukan pertanyaan kepada ayahnya,”Menurut ayah, apakah aku bisa mencurigai ayah atau diriku sendiri?” Kini raja yang terdiam. Dalam pikirannya ia sependapat bahwa orang yang paling mungkin membocorkan rahasia itu adalah Menteri Mordi. Tetapi mereka tidak punya bukti sama sekali sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk menangkap Menteri Mordi. Dan lagi selama ini Menteri Mordi menunjukkan kesetiaan yang luar biasa kepada raja. Rasanya tak mungkin ia kini mengkhianatinya.

Sejenak mereka saling diam, hening beberapa saat dalam pikiran masing-masing.  Kemudian Pangeran memecah keheningan. “Ayah, aku punya rencana.” Dengan singkat Pangeran menjelaskan rencananya kepada raja . Raja Buwana menganggung-angguk tanda setuju. Kemudian memeluk putranya itu sebagai tanda persetujuan dan perintah bagi Pangeran untuk melaksanakan rencananya itu.

Pagi buta, Raja mengumpulkan para pejabat kerajaan beserta Pangeran Saka Pati. Raja memulai pidatonya, “Aku telah mendapatkan petunjuk dalam mimpiku bahwa hilangnya angin di kerajaan Bayutala adalah karena kerajaan kita telah melakukan kesalahan dengan melupakan pemeliharaan alam di gunung selatan. Kita terlalu mengutamakan wilayah pantai utara dengan kincir-kincir kita yang membanggakan. Sedangkan wilayah gunung di selatan terbengkalai dan rusak. Karena itulah Dewa gunung menuntut keseimbangan perhatian kita.”

Seluruh pejabat yang hadir mengangguk-angguk. Memang kenyataannya gunung di selatan mulai banyak hutan yang gundul dan tanah longsor serta angin ribut yang merusak hutan. Padahal seharusnya kerajaan memperhatikan pemeliharaan alam secara seimbang. Raja melanjutkan pidatonya,” Alam menunjukkan kemarahannya maka kita harus mencari perdamaian dengan alam melalui laku tapa. Putraku, Pangeran Sakapati akan mewakili kerajaan melakukan laku tapa. Ia akan melakukan perjalanan ke selatan dengan meninggalkan segala ciri kepangeranannya dan menjadi seorang gembala yang membawa sekawanan kambing, sapi, kerbau dan segala jenis binatang yang kita miliki menuju gunung selatan. Hewan-hewan itu akan ditinggalkan di hutan selatan dan menjadi kekayaan yang menyeimbangkan hutan. Semoga dengan jerih payah dan kerendahan hati yang dilakukan Putraku sambil membawa sumbangan hewan-hewan yang kita berikan, maka dewa gunung akan memaafkan kita dan mengijinkan angin bertiup kembali.”

Tak seorangpun yang menyanggah pengumuman raja. Mereka menyetujuinya termasuk Menteri Mordi. Maka berangkatlah pangeran yang telah melepaskan mahkota dan berganti pakaian menjadi gembala. Tujuan pangeran melepaskan mahkota dan berganti menjadi gembala adalah menunjukkan kerendahan hati pemimpin untuk meminta maaf atas kesalahannya.

Suatu malam, di tengah padang rumput yang luas, serombongan bangsawan istana sedang berkemah. Tenda-tenda mewah telah didirikan, perapian yang dikelilingi para pengawal telah dinyalakan. Di dalam tenda yang paling besar, dua orang petinggi istana sedang bercakap-cakap. Terdengarlah gelak tawa seorang pria bermahkota di sana, dialah Raja Gujung. Ia tertawa-tawa setelah mendengar keterangan dari seorang pria di hadapannya. “Ha..ha..ha…rupanya Raja Buwana itu bodoh sekali….. ia pikir hilangnya angin itu karena kemarahan Dewa Gunung? Ha..ha… dan anaknya itu sama bodohnya dengan ayahnya. Ia bersusah payah menjadi gembala untuk mengantar hewan ke gunung selatan? Ha..ha..ha… .” Pria di hadapannya itu ikut tertawa meskipun ia sedikit menahan diri, katanya “Benar yang mulia, sekarang ini Pangeran Sakapati sedang memanggul kambing mendaki gunung di selatan. Itu artinya, tawanan kita aman di karang hutan bakau. Sebentar lagi kerajaan Bayutala akan kekurangan listrik. Rakyat akan marah lalu melawan rajanya yang dianggap bodoh.”

Mendengar itu raja Gujung kembali tertawa,”Ha..ha… dan saat itu kita akan mengalahkan Raja Buwana lalu menguasai istananya. ….ha..ha.. lalu putranya itu saat kembali dari gunung selatan akan mendapati tahtanya sudah menjadi milik kita…Ha..ha..ha…” Pria di hadapan Raja Gujung itu kembali ikut tertawa kemudian dengan hati-hati ia mengingatkan raja Gujung, “ He..he..betul yang mulia, dan hamba harap yang mulia tidak melupakan jasa saya…” Raja itu berhenti tetawa lalu sambil menepuk pundak pria itu ia menjawab,”Jangan khawatir kau Mordi, kau sudah menunjukkan kesetiaanmu padaku dengan mengkhianati Raja Buwana. Kau sudah menunjukkan padaku kelemahan Dewi Angin dan membantuku menculiknya. Tentu saja aku tidak akan lupa. Setelah Raja Buwana kita kalahkan, kaulah yang akan menggantikannya duduk di singgasana Bayutala menjadi raja bawahanku.” Pria itu yang ternyata adalah Menteri Mordi menghaturkan sembah berkali-kali untuk berterima kasih.

Seekor kelelawar terbang menjauh dari kemah itu setelah ia bertengger beberapa lama di puncak tiangnya. Kelelawar itu terbang menuju pegunungan di selatan lalu bertengger di punggung seekor anak kambing putih. Beberapa saat ia mendekatkan diri ke telinga kambing itu lalu terbang kembali untuk mencari makan. Anak kambing itu mendekati pangeran Sakapati lalu menceritakan apa yang baru saja didengarnya dari kelelawar pengintai. Pangeran Sakapati tampak menahan marah, ”Sudah kuduga, Menteri Mordi yang berkhianat di balik permasalahan kerajaan kita.” Suketi yang berwujud anak kambing itu mendekat dan mengingatkan pangeran untuk menyelamatkan Dewi Angin. Berdasarkan keterangan yang didengar kelelawar, Dewi Angin disembunyikan di karang hutan bakau. Malam itu juga pangeran pergi menuju karang hutan bakau bersama Suketi. Semalaman mereka menyeberangi padang rumput dan hutan di selatan menuju pesisir pantai di sebelah utara.

Pagi merekah, pantai itu tampak sunyi tanpa angin, tanpa debur ombak. Pangeran menerobos hutan bakau yang sangat lebat sambil memanggul Suketi. Air laut masih menggenang di dasar, suaranya bergemericik saat pangeran melangkah di antara akar dan pohon. Tak lama kemudian, mereka menemukan seonggok batu karang yang menggunung di tengah hutan dan tertutupi oleh semak-semak karang. Pangeran mengamati karang itu, hanya sebuah batu tak berpintu. Beberapa kali pangeran mengitari batu itu, tak ada pintu ataupun jendela di sana, bahkan lubang kecil pun tak ada.

“Suketi, mungkin bukan ini batu karang yang dimaksud. Bagaimana Dewi Angin disembunyikan dalam batu tertutup seperti ini?” kata pangeran sedikit ragu. “Pangeran, bawalah aku mendekat, aku bisa merasakan getaran kekuatan Sang Dewi meskipun sangat lemah” kata Suketi meminta tolong. Pangeran membawa Suketi mendekati karang hingga ia bisa menempelkan kakinya di batu karang itu.  Sejenak kemudian Suketi berseru,”Dewi! Apakah anda baik-baik saja?” Pangeran menajamkan pandangannya, baginya itu hanya sebuah batu. Namun ketika ia memperhatikan dengan lekat, tampak seraut wajah pucat dengan mata terpejam di dalam batu itu. Dewi Angin terlihat lemah dan terjebak di dalam batu. Keadaannya jelas tidak baik-baik saja.  Pangeran mengamati sekeliling batu itu. Ia berpikir bagaimana caranya menolong Dewi Angin.

Kemudian matanya tertambat pada sebuah batu hitam yang menancap di dasar karang. Sepintas batu itu tampak seperti akar pohon bakau saja. Namun setelah diamati sungguh-sungguh, batu itu tampak berbeda. Pangeran mendekati batu itu lalu berusaha meraihnya. Sejenak kemudian ia menarik tangannya kembali dengan cepat. Batu hitam itu terasa panas dan menyakiti telapaknya. Tampak kilau sinar hitam memendar dari batu itu. Setelah pangeran memegangnya, selapis lumpur yang menutupi permukaan batu menjadi terbuka. Pangeran mengambil kain kepalanya kemudian ia membersihkan lumpur yang menyelimuti batu itu. Tampaklah kini batu yang berkilau. “Inilah batu permata hitam dari kutub selatan, keberadaannya melemahkan kekuatan Dewi Angin” , gumam pangeran.

Pangeran menariknya dengan sekuat tenaga namun batu itu tertancap demikian kuat. Ditambah lagi panas yang memancar menyakiti tangannya. Pangeran tak putus asa, ia terus berusaha mencabut batu permata hitam itu. Tiba-tiba Raja Gujung datang bersama Menteri Mordi. Tanpa kata-kata, Raja Gujung menyerang pangeran agar menjauh dari batu permata hitam. Sementara itu Menteri Mordi menutup mukanya, ia terkejut bisa bertemu dengan Pangeran Sakapati di tempat itu. Padahal kemarin Pangeran berjalan menuju arah selatan bersama kawanan ternaknya.

“Percuma saja kau menutup mukamu Menteri Mordi, aku sudah tahu pengkhianatanmu!” kata pangeran di sela-sela pertarungannya dengan Raja Gujung. Raja itu tertawa merendahkan,”Bagaimana rasanya dikhianati oleh orang kepercayaanmu Pangeran? Kau dan ayahmu hanyalah orang bodoh yang mempercayai ular licik seperti Mordi..ha..ha… seharusnya kalian tahu, orang seperti Mordi tidak bisa dipercaya. Dia hanyalah tukang bohong yang mencari keuntungan sendiri!” Tanpa sadar, Raja Gujung terus melontarkan penghinaan kepada Menteri Mordi. Hal itu membuat Menteri Mordi tersinggung. Dalam hatinya ia mulai marah kepada Raja Gujung yang terus terusan merendahkannya.

Pertarungan antara pangeran dan Raja Gujung terus berlangsung. Raja Gujung benar-benar hebat dalam bertarung, beberapa kali Pangeran mulai terdesak. Suatu ketika pangeran terjerembab ke dalam lumpur hutan bakau, kakinya tersangkut akar yang menjulang ke permukaan. Raja Gujung segera memanfaaatkan situasi dengan mengarahkan sebilah belati untuk dilemparkan ke arah pangeran. Tak ada waktu bagi pangeran untuk menghindar. Belati itu melesat cepat ke arahnya. Detik berikutnya, pisau itu mendarat menancap ke tubuh dan mengalirkan darah. Namun bukan darah Pangeran… rupanya anak kambing Suketi melompat melindungi pangeran. Pisau itu mengenai jantung Suketi. Pangeran berteriak memanggil Suketi. Anak kambing itu bersimbah darah demi melindungi pangeran. “Pangeran….selamatkan Dewi Angin….”, bisik Suketi kepada Pangeran dengan terbata-bata, lalu tewas dalam pelukan Pangeran.

Rasa sakit memenuhi perasaan pangeran, ia kehilangan sahabat yang baru saja bersamanya untuk menyelamatkan Dewi Angin. Rasa sakit itu membangkitkan semangat pangeran untuk berjuang memenuhi harapan Suketi. Seolah-olah tenaganya terisi kembali. Pangeran melepaskan diri dari akar bakau dan dengan semangat baru ia berhasil melempar Raja Gujung menjauh dari karang. Kesempatan itu digunakannya untuk menjauhkan batu permata hitam dari Dewi Angin. Kemarahannya karena kematian Suketi membuat pangeran mamiliki kekuatan lebih untuk mencabut batu permata hitam. Batu itu berhasil dicabut dan dilemparkan pangeran jauh ke samudera.

Menteri Mordi yang melihat itu tidak melakukan apapun. Hatinya masih dipenuhi amarah kepada Raja Gujung yang telah menghinanya. Ia teriangat bahwa selama menjadi bawahan raja Buwana dan pangeran Sakapati, tak pernah mereka merendahkan dirinya meskipun beberapa kali melakukan kesalahan. Menteri Mordi menyesal telah mengkhianati raja yang baik itu. Sekarang ia menjadi bimbang untuk memihak pangeran ataukah raja Gujung.

Raja Gujung kembali ke tempat pangeran dan menyerangnya kembali. Mereka kembali terlibat dalam pertarungan. Sesekali pangeran melihat batu karang itu dan mencari celah untuk menghancurkannya supaya Dewi Angin terbebas. Namun sulit karena Raja Gujung terus menyibukkannya dengan serangan-serangan hebat. Tiba-tiba raja Gujung berteriak kepada Menteri mordi,”Mordi, jangan diam saja, bantu aku mengalahkan pangeran ini! Kau mau jadi raja atau tidak?!” Mendengar itu Menteri Mordi sedikit bimbang. Menjadi bawahan Raja Gujung berarti ia harus siap mendengar kata-kata hinaan yang biasa diucapkan raja. Tetapi tawaran menjadi seorang raja merupakan tawaran yang menggiurkan. Karena sifat tamaknya telah menguasai, maka Menteri Mordi memilih untuk membantu Raja Gujung mengalahkan pangeran. 

Dengan mendapat serangan dari dua orang, Pangeran kembali terdesak. Ia beberapa kali terluka. Pada saat yang genting ketika pangeran hampir terbunuh, tiba-tiba seberkas sinar menampar raja Gujung dan Menteri Mordi. Kedua orang itu terlempar ke dalam lumpur pantai dan mengerang kesakitan. Dewi Angin telah berdiri di hadapan mereka dengan mengacungkan tongkat sihirnya. Rupanya Dewi Angin mendapatkan kekuatannya kembali setelah batu permata hitam dilempar ke samudera oleh pangeran. ia dapat membebaskan diri dan berbalik menyerang Raja Gujung maupun Menteri Mordi.

Sambil mengacungkan tongkat sihirnya, Dewi Angin memarahi Raja Gujung dan Menteri Mordi, “Aku tidak dapat mengampuni kalian. Kalian telah membahayakan kehidupan banyak orang. Terlebih lagi kalian telah menyebabkan pelayan setiaku Suketi tewas. Aku akan mengurung kalian di kutub utara yang paling dingin selama sisa umur kalian.” Dewi Angin mengayunkan tongkatnya dan sebentuk pusaran angin turun dari langit menjemput Raja Gujung dan Menteri Mordi. Angin itu mengurung mereka dan membawanya terbang menuju kutub utara.  Dewi Angin mendekati Suketi, ia menangis melihatnya tewas ketika ia masih berwujud anak kambing. Pangeran mendekati Dewi Angin,”Maafkan aku tidak bisa melindungi Suketi…” 

Dewi Angin menghapus air matanya, katanya, “Bukan salahmu pangeran, semua ini karena kejahatan Raja Gujung dan Menteri Mordi. Ketamakan mereka akan kekayaan dan kekuasaan telah membuat mereka menjadi orang jahat. Dan Suketi….ia adalah pelayanku yang paling setia. Bagiku, Suketi adalah seorang sahabat……” Dewi Angin kembali menangis sambil memeluk Suketi yang berwujud anak kambing itu. Pangeran mendekati Dewi Angin, “Ijinkan aku membawa Suketi untuk dimakamkan di tempat terhormat kerajaan, ia telah menyelamatkan nyawaku.”

“Ia juga menyelamatkan nyawaku….. Pangeran, kau boleh membawanya ke kerajaan Bayutala.” Dewi Angin menyerahkan anak kambing Suketi itu kepada pangeran. Lalu katanya lagi,”Aku juga ingin menghormati jasanya, aku akan mengenang jasa Suketi melalui semua kambing di kerajaanmu. Aku akan menggunakan suara mereka sebagai sarana untuk memanggilku. Lagukan sebuah mantera agar mereka mengembik bersama-sama, maka aku akan segera datang. Akan kuajarkan manteranya. Hafalkan lagu ini Pangeran….”Cempe…cempe…undangno barat gede…” (Anak kambing…anak kambing…panggilah angin yang besar). Lagukan ini tiga kali di depan kawanan kambing. Saat mereka mengembik bersama-sama setelah mendengar lagu kalian, maka aku akan datang bersama angin yang kalian butuhkan.”

Pangeran menuruti perintah Dewi Angin, ia mendendangkan lagu singkat itu. Dewi Angin kemudian berpamitan untuk kembali ke istananya dengan janji akan datang saat kambing-kambing di Bayutala mengembik bersama-sama setelah mendengar mantera. Pangeran kembali ke istana membawa kambing Suketi. Raja Buwana menyambutnya dengan gembira sekaligus bersedih melihat Suketi tewas. Pangeran menceritakan semua pengalamannya dan mengajarkan mantera baru itu kepada penduduk.

Pagi itu, penduduk berkerumun di padang rumput, ribuan kambing tampak tersebar di seluruh area. Angin bertiup sangat lemah tak dapat menggerakkan kincir. Sudah sehari mereka tak punya listrik. Hari itu mereka berharap datangnya angin kencang untuk memutar kincir-kincir di kerajaan Bayutala. Raja dan pangeran memimpin mereka untuk menyanyikan mantera yang diajarkan oleh Dewi Angin. Lagu berkumandang di seluruh padang, “Cempe…cempe..undangno barat gede…” mereka menyanyikan lagu itu sebanyak tiga kali dan kemudian secara serentak kambing-kambing di seluruh padang rumput itu mengembik bersama-sama. Suaranya menggema memenuhi padang. Tak lama kemudian, tampak rumput-rumput bergoyang kian kencang. Dahan-dahan pohon melambai. Angin kencang datang melaju dari pantai menuju daratan. Mereka menuju kincir-kincir penduduk, memutarnya dengan riang hingga bias putarannya tampak seperti bunga-bunga mekar. Kerajaan Bayutala terlihat indah kembali dengan kincir-kincir yang berputar menggerakkan turbin yang terhubung generator. Kini batre-batre besar terisi listrik kembali. Mulai saat itu, kerajaan Bayutala selalu bisa memanggil angin untuk menggerakan kincir.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar