![]() |
Kecubung Sari dan Cincin Raja |
Mencari kayu bakar di musim hujan tidaklah mudah.
Ranting-ranting menjadi basah, batang-batang pohon menumbuhkan tunas pada
cabang-cabangnya, dan pohon-pohon tua yang mati telah menjadi onggokan istana
rayap yang dipenuhi tanah basah. Kecubung sari, gadis kecil bagaikan bunga
melati di semak-semak perdu, berjalan menyusuri hutan Wanagandi. Seperti biasa,
pagi-pagi sekali ia harus mengumpulkan setumpuk kayu bakar dan bahan makanan
yang bisa dipetik dari hutan. Kadang ia mendapatkan pucuk-pucuk rebung bambu, kadang
pula menemukan daun-daun beluntas atau sayuran lain. Tak jarang ia bisa memetik
buah-buahan hutan. Jika beruntung, ia bisa menemukan sekumpulan jamur yang
lezat atau mendapatkan ikan dalam perangkap yang dipasang semalaman.
Gadis kecil itu sudah biasa hidup mandiri sambil merawat
neneknya yang sakit. Nenek adalah satu-satunya keluarga yang masih ia miliki,
tak ada orang lain lagi. Ia terlahir sebagai anak tunggal. Saat usianya masih 6
bulan, ayah ibunya meninggal karena perang antar kerajaan. Beruntung nenek
sempat membawanya melarikan diri dan bersembunyi di dalam hutan. Nenek merawat
Kecubung sari hingga usia remaja sekarang. Kini usia nenek semakin tua, nenek
mulai sakit sakitan. Mereka tak punya uang yang cukup untuk berobat, maka sakit
nenek tak kunjung sembuh. Kecubung sarilah yang sekarang harus merawat
neneknya, mulai dari mencari makanan, membersihkan nenek dan menemani nenek.
Hal itu tak pernah membuat Kecubung mengeluhkan hidupnya. Ia menjalani hari-harinya
dengan penuh keceriaan.
Hutan itu sebenarnya adalah hutan lebat yang menyeramkan.
Beberapa bagiannya masih sangat lebat hingga sulit ditembus oleh manusia.
Binatang-binatang buas juga masih berkeliaran di sana. Bagi Kecubung, hutan itu
adalah surga. Ia bisa bermain ke manapun tanpa batas, ia bisa mencari makanan
apa saja gratis tanpa harus membeli. Ia juga bisa berteman dengan beraneka
macam hewan yang ramah. Bahkan Kecubung seperti memiliki bakat khusus untuk
bisa berbicara dan memahami bahasa binatang.
Kecubung suka sekali mengobrol dengan burung-burung.
Merekalah yang selalu menemani dan menjaga Kecubung. Setiap pagi, Kecubung
membawa biji-bijian untuk memberi makan sahabat-sahabatnya itu. Sambil mematuk
biji-bijian di tangan Kecubung, burung-burung itu mengabarkan berbagai berita dari
berbagai tempat yang sempat disinggahinya. Kadang mereka memberi tahu pohon
mana yang buahnya telah masak, atau daerah mana yang banyak sayuran segar. Bila
ada binatang buas mendekat, burung-burung itu akan memberitahu supaya Kecubung
segera menjauh dan terhindar dari bahaya. Sungguh persahabatan yang sangat
indah.
Hari itu, Kecubung ditemani burung Cendrawasih. Burung yang
luar biasa indah dengan ekor berwarna kuning keemasan menjuntai panjang bagai
selendang dewi kayangan. Burung itu baru saja mengabarkan bahwa ia tak
menemukan kayu kering di hutan itu. Namun ia baru saja melihat sekumpulan jamur
yang lezat di tebing sungai. Kecubung senang sekali mendengar berita itu. Ia
segera bergegas ke tebing sungai. Dan benar saja, diantara batu-batu yang
menyembul, tampak sekumpulan jamur tumbuh subur. Kecubung segera memetik
jamur-jamur yang sudah mekar. Sekeranjang penuh ia dapatkan. Dilihatnya masih
ada jamur-jamur yang kuncup. Kecubung membiarkannya supaya bisa dipanen kembali
besok hari.
“Aku harus menutupi jamur-jamur ini dengan batu-batu dan
dedaunan supaya tak dimakan monyet atau babi utan.” Kata Kecubung penuh
semangat. Burung itu hanya berkeok mengiyakan. Kecubung segera menuruni tebing
sungai yang landai untuk mengambil beberapa batuan. Satu persatu Kecubung
menumpuk batu-batu itu membentuk benteng yang menutupi jamur. Beberapa kali ia
bolak balik mengambil batu-batu itu hingga pagar yang ia buat hampir selesai.
“Nah, aku tinggal butuh 3 keping batu lagi” kata Kecubung merasa puas dengan
pekerjaannya. Kecubung kembali ke pinggir sungai, kini ia harus nyemplung ke
air dangkal untuk bisa mengambil batu-batu yang pipih. Baru saja ia mengangkat
sebuah batu yang cukup lebar, segaris cahaya menyilaukan muncul dari balik batu
itu. Kecubung terkejut, ia mengamati cahaya apa yang bersinar dari balik batu
pipihnya, tampak samar sebuah benda bulat bercahaya menyembul di antara pasir
dasar sungai.
Kecubung mengabil benda itu yang ternyata adalah sebuah
cincin permata yang sangat indah. Mata Kecubung berbinar karena terpesona.
Benda itu adalah sebuah cincin permata yang luar biasa indah. Belum pernah ia
melihat perhiasan seindah itu. Sekilas ia membayangkan dirinya adalah seorang
puteri raja yang berhias cincin seperti itu. Alangkah menyenangkannya.
Tiba-tiba sebuah suara parau mengejutkan Kecubung,” Jual saja
cincin itu, maka kau akan menjadi gadis kaya raya. Kecubung menoleh ke kanan dan
ke kiri mencari sumber suara itu. tak seorangpun yang ia lihat. Setelah sejenak
kebingungan, akhirnya Kecubung tahu, bahwa suara itu berasal dari seekor katak
hijau besar yang bertengger di sebuah batu. Melihat Kecubung hanya
memandanginya, katak itu berkata lagi, ”Cincin itu sangat mahal, kalau kau
jual, kau bisa membeli rumah mewah dengan banyak pelayan. Kau tidak perlu lagi
susah payah setiap hari mencari kayu dan makanan di hutan.”
Kecubung memperhatikan katak itu, terbayang olehnya rumah
besar dengan banyak pelayan yang selalu menyediakan kebutuhannya, makanan-makanan
lezat, baju-baju indah dan berbagai perhiasan. Itu pasti menyenangkan. Sejenak
kemudian matanya beralih pada cincin itu. ia menatapnya lekat-lekat. Dalam
hatinya bertanya-tanya mengapa ada cincin seindah ini di dalam sungai di tengah
hutan. Apakah seseorang telah membuangnya? Lalu apa alasan orang itu membuang
benda seindah ini? Tidak mungkin cincin itu dibuang, benda seindah ini pastilah
akan disimpan meskipun pemiliknya sudah merasa bosan. Tapi mengapa cincin itu
berada di sini?
Kecubung masih bertanya-tanya dalam hati. Lalu katak itu
lagi, ”Jual saja! Kalau kau menjualnya, kau bisa membawa nenekmu berobat ke
tempat pengobatan terbaik. Bayangkan nenekmu sembuh dari sakit, tidak menderita
lagi, maka kau menjadi cucu yang berbakti.”
Kecubung kembali menatap katak itu. Benar saja bahwa Kecubung
sangat kasihan dengan nenek yang sakit tapi tak punya uang untuk membeli obat.
Sebenarnya Kecubung merasa khawatir bahwa penyakit nenek berbahaya dan bisa
membuat nenek meninggalkannya untuk selama-lamanya. Maka Kecubung akan menjadi
sebatang kara, hidup sendirian tanpa keluarga satupun. Kecubung mulai
menimbang-nimbang, ia teringat nenek yang selalu menjaganya, menghiburnya dan
menyelesaikan masalah-masalah yang Kecubung hadapi. Kecubung ingat ketika ia
menangis berhari-hari karena kehilangan kalung berharga peninggalan ibunya,
neneklah yang menemukan kalung itu.
Kecubung terperanjat dengan pemikirannya sendiri. Ia masih
ingat betapa sedihnya saat ia kehilangan kalung itu. Rasa bersalah dan
kehilangan yang amat dalam seolah memutus hubungannya dengan ibunya sendiri.
“Bagaimana jika cincin ini adalah benda yang sangat berharga bagi seseorang
seperti kalung peninggalan ibu itu baginya? Apa yang dirasakan pemiliknya saat
ini? Apa dia sangat bersedih sepertiku saat itu?” gumam Kecubung berulang kali.
Kecubung menatap katak itu lekat-lekat, lalu ia berkata dengan sangat
tegas,”Tidak! Aku tidak akan menjual cincin ini!”
Katak itu kini tertegun menatap kecubung,” Kalau kau pintar,
kau seharusnya menjual cincin itu dan gunakan untuk hidupmu dan nenekmu yang
menyedihkan itu. Kau berhak mendapatkannya karena selama ini kau sudah hidup
menderita dan kekurangan. Anggaplah itu keberuntungan bagimu. Saatnya kini kau
mendapatkan kesenangan!” Mendengar kata-kata katak itu, Kecubung menggeleng,
sinar matanya menunjukkan keputusan yang tegas. “Pemiliknya mungkin saat ini
sedang bersedih kehilangan barang kesayangannya. Aku tidak akan berbahagia di
atas penderitaan orang lain yang berhak memiliki cincin ini!”
Katak itu tertawa mengejek Kecubung, Ha..ha... kau ini naif
sekali! Ketahuilah, pemilik cincin itu sudah
pergi, satu saja cincin yang hilang, tak akan terasa baginya. Ia punya
banyak sekali cincin seperti itu di istananya. Ha..ha..ha..” Kecubung
mengerutkan alisnya dan membuat tatapannya tampak semakin tajam. “Istana
katamu? Berarti kau tahu siapa pemilik cincin ini?” tanya Kecubung menyelidik.
Katak itu menyeringai, ia merasa salah ucap telah tak sengaja
memberi petunjuk tentang siapa pemilik cincin itu. Sekarang katak itu tak bisa
menghindari pertanyaan Kecubung. Katanya, ”Cincin itu milik Raja Janendra. Ia
menjatuhkannya saat berburu di sini beberapa hari yang lalu.”
Kecubung memperhatikan cincin itu, pantas sekali cincin ini sangat
indah, ternyata milik seorang raja. “Di manakah istana Raja Janendra? Aku harus
mengembalikan cincin ini padanya!” kata Kecubung lagi. Katak itu kembali tertawa
terbahak-bahak. “Untuk apa kau kembalikan? Sudah kubilang raja punya banyak
cincin seperti itu. Kehilangan satu saja tak akan terasa baginya. Cincin itu
lebih berguna bagimu yang miskin dan nenekmu yang sakit!”
Kecubung merasa kesal mendengar jawaban katak itu, ia segera
menangkap katak besar itu dan membentaknya, ”Jangan memiliki barang yang bukan
milikmu! Jika kau menemukan barang, kau harus mengembalikan pada pemiliknya!
Kau tidak pernah tahu seberapa penting barang itu bagi pemiliknya! Sekarang katakan
di mana istana raja Janendra!”
Bentakan Kecubung membuat katak itu ketakutan, ia memohon
kepada Kecubung agar diturunkan di atas pasir pinggir sungai. Katak itu
kemudian menggambar sebuah peta pada pasir. Ia menunjukkan di mana letak istana
Raja Janendra. “Butuh waktu setengah hari untuk berjalan ke sana, kau tak akan
bisa pulang tepat waktu, nenekmu pasti terlantar!” kata katak itu dan buru-buru
melompat pergi.
Kecubung sendiri menjadi bimbang, ia harus memberi makan neneknya,
jika ia pergi ke istana maka ia baru bisa pulang lagi nanti malam. Neneknya
pasti kelaparan. Setelah berpikir sejenak, Kecubung memberi perintah kepada
Cendrawasih supaya ia meminta bantuan kepada monyet-monyet untuk mengantar
makanan kepada neneknya. Kecubung kemudian menulis pesan singkat pada selembar
daun untuk berpamitan kepada nenek. Daun itu kemudian dibawa cendrawasih kepada
nenek dan tak lupa Cendrawasih meminta monyet-monyet membawakan makanan untuk
nenek.
Kecubungg berlari secepat yang ia sanggup supaya segera
sampai ke istana Raja Janendra. Meskipun ia harus menembus hutan, Kecubung
bertekad mengembalikan cincin itu kepada pemiliknya. Sampai di istana, kecubung
hampir diusir oleh pengawal karena dianggap pengemis. Maklum saja, pakaian
kecubung memang terlihat kumal dan compang-camping dengan banyak tambalan yang
dijahit kasar.
Beruntung sekali Raja Janendra sedang lewat di gerbang
istana. Ia adalah raja yang bijaksana dan penuh kasih sayang kepada rakyat.
Raja Janendra menghampiri Kecubung “Gadis kecil, apa yang kau inginkan?” tanya
sang raja.
Kecubung memberi hormat lalu menyerahkan cincn yang ia
temukan. “Hamba ingin menyerahkan cincin ini kepada yang mulia.” Kecubung lalu
menceritakan kisahnya menemukan cicin itu di sungai. Raja menerima cincin
dengan amat bahagia. Raja itu bahkan memeluk Kecubung karena sangat
bahagia “Aku tak bisa tidur berhari-hari karena kehilangan cincin ini. Apa kau
tahu nak, cincin ini sangat berharga bagiku karena ini adalah pemberian
istimewa dari ayahku sebagai hadiah kemenangan ku yang pertama melawan musuh!”
kata raja itu kepada Kecubung.
Lalu raja itu berkata dan menanyakan Kecubung apa yang
Kecubung inginkan sebagai imbalannya. “Katakan hadiah apa yang kau minta
sekarang sebagai ucapan terimakasihku?” Kecubung menggeleng, “Terima kasih yang
mulia, tetapi hamba tak ingin hadiah apapun. Hamba hanya ingin menyerahkan
cincin itu kepada pemiliknya, dan karena cincin ini sudah kembali kepada Yang
mulia, maka keinginnan hamba sudah terlaksana. Sekarang hamba harus segera
pulang karena nenek hamba sendirian menunggu di rumah. Ia sedang sakit dan
tidak ada yang menjaga.”
Melihat kejujuran Kecubung yang bersusah payah
mengembalikan cincinnya serta kebaikan hati anak itu yang tak mengharapkan
imbalan, Raja bersimpati kepada Kecubung. Anak berhati baik seperti Kecubung
akan sangat membantu Raja di masa depan untuk membangun kerajaan. Maka Raja
membujuk Kecubung agar mau bersekolah di istana supaya kelak bisa membantu Raja
memajukan Kerajaannya. Raja kemudian memerintahkan pengawalnya untuk menjemput
nenek Kecubung supaya bisa tinggal di istana dan disembuhkan oleh para tabib.
Sejak saat itu Kecubug dan Nenek tinggal di istana. Kecubung menjadi murid
istana yang rajin, baik hati dan pandai. Ia menjadi teladan bagi murid-murid
istana yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar