Jumat, 24 Mei 2019

KECUBUNG SARI DAN CINCIN RAJA

Dongeng anak, Cerita anak
Kecubung Sari dan Cincin Raja


Mencari kayu bakar di musim hujan tidaklah mudah. Ranting-ranting menjadi basah, batang-batang pohon menumbuhkan tunas pada cabang-cabangnya, dan pohon-pohon tua yang mati telah menjadi onggokan istana rayap yang dipenuhi tanah basah. Kecubung sari, gadis kecil bagaikan bunga melati di semak-semak perdu, berjalan menyusuri hutan Wanagandi. Seperti biasa, pagi-pagi sekali ia harus mengumpulkan setumpuk kayu bakar dan bahan makanan yang bisa dipetik dari hutan. Kadang ia mendapatkan pucuk-pucuk rebung bambu, kadang pula menemukan daun-daun beluntas atau sayuran lain. Tak jarang ia bisa memetik buah-buahan hutan. Jika beruntung, ia bisa menemukan sekumpulan jamur yang lezat atau mendapatkan ikan dalam perangkap yang dipasang semalaman.

Gadis kecil itu sudah biasa hidup mandiri sambil merawat neneknya yang sakit. Nenek adalah satu-satunya keluarga yang masih ia miliki, tak ada orang lain lagi. Ia terlahir sebagai anak tunggal. Saat usianya masih 6 bulan, ayah ibunya meninggal karena perang antar kerajaan. Beruntung nenek sempat membawanya melarikan diri dan bersembunyi di dalam hutan. Nenek merawat Kecubung sari hingga usia remaja sekarang. Kini usia nenek semakin tua, nenek mulai sakit sakitan. Mereka tak punya uang yang cukup untuk berobat, maka sakit nenek tak kunjung sembuh. Kecubung sarilah yang sekarang harus merawat neneknya, mulai dari mencari makanan, membersihkan nenek dan menemani nenek. Hal itu tak pernah membuat Kecubung mengeluhkan hidupnya. Ia menjalani hari-harinya dengan penuh keceriaan.

Hutan itu sebenarnya adalah hutan lebat yang menyeramkan. Beberapa bagiannya masih sangat lebat hingga sulit ditembus oleh manusia. Binatang-binatang buas juga masih berkeliaran di sana. Bagi Kecubung, hutan itu adalah surga. Ia bisa bermain ke manapun tanpa batas, ia bisa mencari makanan apa saja gratis tanpa harus membeli. Ia juga bisa berteman dengan beraneka macam hewan yang ramah. Bahkan Kecubung seperti memiliki bakat khusus untuk bisa berbicara dan memahami bahasa binatang.

Kecubung suka sekali mengobrol dengan burung-burung. Merekalah yang selalu menemani dan menjaga Kecubung. Setiap pagi, Kecubung membawa biji-bijian untuk memberi makan sahabat-sahabatnya itu. Sambil mematuk biji-bijian di tangan Kecubung, burung-burung itu mengabarkan berbagai berita dari berbagai tempat yang sempat disinggahinya. Kadang mereka memberi tahu pohon mana yang buahnya telah masak, atau daerah mana yang banyak sayuran segar. Bila ada binatang buas mendekat, burung-burung itu akan memberitahu supaya Kecubung segera menjauh dan terhindar dari bahaya. Sungguh persahabatan yang sangat indah.

Hari itu, Kecubung ditemani burung Cendrawasih. Burung yang luar biasa indah dengan ekor berwarna kuning keemasan menjuntai panjang bagai selendang dewi kayangan. Burung itu baru saja mengabarkan bahwa ia tak menemukan kayu kering di hutan itu. Namun ia baru saja melihat sekumpulan jamur yang lezat di tebing sungai. Kecubung senang sekali mendengar berita itu. Ia segera bergegas ke tebing sungai. Dan benar saja, diantara batu-batu yang menyembul, tampak sekumpulan jamur tumbuh subur. Kecubung segera memetik jamur-jamur yang sudah mekar. Sekeranjang penuh ia dapatkan. Dilihatnya masih ada jamur-jamur yang kuncup. Kecubung membiarkannya supaya bisa dipanen kembali besok hari.

“Aku harus menutupi jamur-jamur ini dengan batu-batu dan dedaunan supaya tak dimakan monyet atau babi utan.” Kata Kecubung penuh semangat. Burung itu hanya berkeok mengiyakan. Kecubung segera menuruni tebing sungai yang landai untuk mengambil beberapa batuan. Satu persatu Kecubung menumpuk batu-batu itu membentuk benteng yang menutupi jamur. Beberapa kali ia bolak balik mengambil batu-batu itu hingga pagar yang ia buat hampir selesai. “Nah, aku tinggal butuh 3 keping batu lagi” kata Kecubung merasa puas dengan pekerjaannya. Kecubung kembali ke pinggir sungai, kini ia harus nyemplung ke air dangkal untuk bisa mengambil batu-batu yang pipih. Baru saja ia mengangkat sebuah batu yang cukup lebar, segaris cahaya menyilaukan muncul dari balik batu itu. Kecubung terkejut, ia mengamati cahaya apa yang bersinar dari balik batu pipihnya, tampak samar sebuah benda bulat bercahaya menyembul di antara pasir dasar sungai.

Kecubung mengabil benda itu yang ternyata adalah sebuah cincin permata yang sangat indah. Mata Kecubung berbinar karena terpesona. Benda itu adalah sebuah cincin permata yang luar biasa indah. Belum pernah ia melihat perhiasan seindah itu. Sekilas ia membayangkan dirinya adalah seorang puteri raja yang berhias cincin seperti itu. Alangkah menyenangkannya.

Tiba-tiba sebuah suara parau mengejutkan Kecubung,” Jual saja cincin itu, maka kau akan menjadi gadis kaya raya. Kecubung menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara itu. tak seorangpun yang ia lihat. Setelah sejenak kebingungan, akhirnya Kecubung tahu, bahwa suara itu berasal dari seekor katak hijau besar yang bertengger di sebuah batu. Melihat Kecubung hanya memandanginya, katak itu berkata lagi, ”Cincin itu sangat mahal, kalau kau jual, kau bisa membeli rumah mewah dengan banyak pelayan. Kau tidak perlu lagi susah payah setiap hari mencari kayu dan makanan di hutan.”

Kecubung memperhatikan katak itu, terbayang olehnya rumah besar dengan banyak pelayan yang selalu menyediakan kebutuhannya, makanan-makanan lezat, baju-baju indah dan berbagai perhiasan. Itu pasti menyenangkan. Sejenak kemudian matanya beralih pada cincin itu. ia menatapnya lekat-lekat. Dalam hatinya bertanya-tanya mengapa ada cincin seindah ini di dalam sungai di tengah hutan. Apakah seseorang telah membuangnya? Lalu apa alasan orang itu membuang benda seindah ini? Tidak mungkin cincin itu dibuang, benda seindah ini pastilah akan disimpan meskipun pemiliknya sudah merasa bosan. Tapi mengapa cincin itu berada di sini?

Kecubung masih bertanya-tanya dalam hati. Lalu katak itu lagi, ”Jual saja! Kalau kau menjualnya, kau bisa membawa nenekmu berobat ke tempat pengobatan terbaik. Bayangkan nenekmu sembuh dari sakit, tidak menderita lagi, maka kau menjadi cucu yang berbakti.”

Kecubung kembali menatap katak itu. Benar saja bahwa Kecubung sangat kasihan dengan nenek yang sakit tapi tak punya uang untuk membeli obat. Sebenarnya Kecubung merasa khawatir bahwa penyakit nenek berbahaya dan bisa membuat nenek meninggalkannya untuk selama-lamanya. Maka Kecubung akan menjadi sebatang kara, hidup sendirian tanpa keluarga satupun. Kecubung mulai menimbang-nimbang, ia teringat nenek yang selalu menjaganya, menghiburnya dan menyelesaikan masalah-masalah yang Kecubung hadapi. Kecubung ingat ketika ia menangis berhari-hari karena kehilangan kalung berharga peninggalan ibunya, neneklah yang menemukan kalung itu.

Kecubung terperanjat dengan pemikirannya sendiri. Ia masih ingat betapa sedihnya saat ia kehilangan kalung itu. Rasa bersalah dan kehilangan yang amat dalam seolah memutus hubungannya dengan ibunya sendiri. “Bagaimana jika cincin ini adalah benda yang sangat berharga bagi seseorang seperti kalung peninggalan ibu itu baginya? Apa yang dirasakan pemiliknya saat ini? Apa dia sangat bersedih sepertiku saat itu?” gumam Kecubung berulang kali. Kecubung menatap katak itu lekat-lekat, lalu ia berkata dengan sangat tegas,”Tidak! Aku tidak akan menjual cincin ini!”

Katak itu kini tertegun menatap kecubung,” Kalau kau pintar, kau seharusnya menjual cincin itu dan gunakan untuk hidupmu dan nenekmu yang menyedihkan itu. Kau berhak mendapatkannya karena selama ini kau sudah hidup menderita dan kekurangan. Anggaplah itu keberuntungan bagimu. Saatnya kini kau mendapatkan kesenangan!” Mendengar kata-kata katak itu, Kecubung menggeleng, sinar matanya menunjukkan keputusan yang tegas. “Pemiliknya mungkin saat ini sedang bersedih kehilangan barang kesayangannya. Aku tidak akan berbahagia di atas penderitaan orang lain yang berhak memiliki cincin ini!”

Katak itu tertawa mengejek Kecubung, Ha..ha... kau ini naif sekali! Ketahuilah, pemilik cincin itu sudah  pergi, satu saja cincin yang hilang, tak akan terasa baginya. Ia punya banyak sekali cincin seperti itu di istananya. Ha..ha..ha..” Kecubung mengerutkan alisnya dan membuat tatapannya tampak semakin tajam. “Istana katamu? Berarti kau tahu siapa pemilik cincin ini?” tanya Kecubung menyelidik.

Katak itu menyeringai, ia merasa salah ucap telah tak sengaja memberi petunjuk tentang siapa pemilik cincin itu. Sekarang katak itu tak bisa menghindari pertanyaan Kecubung. Katanya, ”Cincin itu milik Raja Janendra. Ia menjatuhkannya saat berburu di sini beberapa hari yang lalu.”

Kecubung memperhatikan cincin itu, pantas sekali cincin ini sangat indah, ternyata milik seorang raja. “Di manakah istana Raja Janendra? Aku harus mengembalikan cincin ini padanya!” kata Kecubung lagi. Katak itu kembali tertawa terbahak-bahak. “Untuk apa kau kembalikan? Sudah kubilang raja punya banyak cincin seperti itu. Kehilangan satu saja tak akan terasa baginya. Cincin itu lebih berguna bagimu yang miskin dan nenekmu yang sakit!”

Kecubung merasa kesal mendengar jawaban katak itu, ia segera menangkap katak besar itu dan membentaknya, ”Jangan memiliki barang yang bukan milikmu! Jika kau menemukan barang, kau harus mengembalikan pada pemiliknya! Kau tidak pernah tahu seberapa penting barang itu bagi pemiliknya! Sekarang katakan di mana istana raja Janendra!”

Bentakan Kecubung membuat katak itu ketakutan, ia memohon kepada Kecubung agar diturunkan di atas pasir pinggir sungai. Katak itu kemudian menggambar sebuah peta pada pasir. Ia menunjukkan di mana letak istana Raja Janendra. “Butuh waktu setengah hari untuk berjalan ke sana, kau tak akan bisa pulang tepat waktu, nenekmu pasti terlantar!” kata katak itu dan buru-buru melompat pergi.

Kecubung sendiri menjadi bimbang, ia harus memberi makan neneknya, jika ia pergi ke istana maka ia baru bisa pulang lagi nanti malam. Neneknya pasti kelaparan. Setelah berpikir sejenak, Kecubung memberi perintah kepada Cendrawasih supaya ia meminta bantuan kepada monyet-monyet untuk mengantar makanan kepada neneknya. Kecubung kemudian menulis pesan singkat pada selembar daun untuk berpamitan kepada nenek. Daun itu kemudian dibawa cendrawasih kepada nenek dan tak lupa Cendrawasih meminta monyet-monyet membawakan makanan untuk nenek.

Kecubungg berlari secepat yang ia sanggup supaya segera sampai ke istana Raja Janendra. Meskipun ia harus menembus hutan, Kecubung bertekad mengembalikan cincin itu kepada pemiliknya. Sampai di istana, kecubung hampir diusir oleh pengawal karena dianggap pengemis. Maklum saja, pakaian kecubung memang terlihat kumal dan compang-camping dengan banyak tambalan yang dijahit kasar.

Beruntung sekali Raja Janendra sedang lewat di gerbang istana. Ia adalah raja yang bijaksana dan penuh kasih sayang kepada rakyat. Raja Janendra menghampiri Kecubung “Gadis kecil, apa yang kau inginkan?” tanya sang raja.

Kecubung memberi hormat lalu menyerahkan cincn yang ia temukan. “Hamba ingin menyerahkan cincin ini kepada yang mulia.” Kecubung lalu menceritakan kisahnya menemukan cicin itu di sungai. Raja menerima  cincin  dengan amat bahagia. Raja itu bahkan memeluk Kecubung karena sangat bahagia “Aku tak bisa tidur berhari-hari karena kehilangan cincin ini. Apa kau tahu nak, cincin ini sangat berharga bagiku karena ini adalah pemberian istimewa dari ayahku sebagai hadiah kemenangan ku yang pertama melawan musuh!” kata raja itu kepada  Kecubung.

Lalu raja itu berkata dan menanyakan Kecubung apa yang Kecubung inginkan sebagai imbalannya. “Katakan hadiah apa yang kau minta sekarang sebagai ucapan terimakasihku?” Kecubung menggeleng, “Terima kasih yang mulia, tetapi hamba tak ingin hadiah apapun. Hamba hanya ingin menyerahkan cincin itu kepada pemiliknya, dan karena cincin ini sudah kembali kepada Yang mulia, maka keinginnan hamba sudah terlaksana. Sekarang hamba harus segera pulang karena nenek hamba sendirian menunggu di rumah. Ia sedang sakit dan tidak ada yang menjaga.” 

Melihat kejujuran Kecubung yang bersusah payah mengembalikan cincinnya serta kebaikan hati anak itu yang tak mengharapkan imbalan, Raja bersimpati kepada Kecubung. Anak berhati baik seperti Kecubung akan sangat membantu Raja di masa depan untuk membangun kerajaan. Maka Raja membujuk Kecubung agar mau bersekolah di istana supaya kelak bisa membantu Raja memajukan Kerajaannya. Raja kemudian memerintahkan pengawalnya untuk menjemput nenek Kecubung supaya bisa tinggal di istana dan disembuhkan oleh para tabib. Sejak saat itu Kecubug dan Nenek tinggal di istana. Kecubung menjadi murid istana yang rajin, baik hati dan pandai. Ia menjadi teladan bagi murid-murid istana yang lain.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar