Seruling Bambu Kuning |
Suara
seruling itu mengalun sangat merdu, setiap orang yang mendengarnya serasa
melayang ke negeri dongeng yang penuh keindahan. Seorang puteri cantik sedang
duduk di atas akar pohon mahoni di pinggir kolam istana. Tangannya yang lentik
tampak terampil memainkan jarinya di lubang-lubang seruling. Matanya terpejam
menghayati alunan suara angin yang ditiupnya ke dalam batang bambu kuning.
Angin bertiup mengibaskan rambutnya yang tergerai, melambai-lambai seakan
menarikan nada-nada ceria seruling yang ditiupnya.
Raja
Waring melangkah kesal mendekati puterinya, tak peduli dengan nada indah yang
sedang menghibur makhluk-makhluk istana, raja itu berdiri angkuh dengan
berkacak pinggang di depan Puteri Sangita. “Sampai kapan kau akan terus
memainkan seruling! Berapa kali lagi ayah harus mengatakan bahwa musik itu
hanya dimainkan oleh pria! Bukan wanita! Kau seharusnya belajar menyanyi dan
menari seperti layaknya para puteri, bukan malah bermain musik seperti pria!
Haruskah ayah bertindak kasar dengan mematahkan serulingmu!?” Mendengar suara
ayahnya yang terdengar marah, puteri Sangita menghentikan musiknya. Sifat
periangnya membuat puteri tidak tersinggung dengan amarah Raja Waring. Ia kemudian
bangkit untuk memberi hormat kepada ayahnya. Meskipun sang raja marah, puteri
Sangita tetap menghormatinya sebagai ayah yang penuh kasih sayang. Memang di
kerajaan itu, seorang wanita tidak lazim bermain musik seruling. Alat itu
adalah alat musik para pria yang biasanya mereka mainkan sambil menggembala
ternak, berburu atau bahkan ketika sedang pergi untuk berperang. Sedangkan
wanita di kerajaan itu hanya boleh bermain kecapi yang dianggap sebagai alat
musik yang penuh kelembutan. Namun puteri Sangita tidak menyukai kecapi. Alat
itu merepotkan untuk dibawa-bawa bepergian.
“Ampun
ayah, aku tidak bisa berhenti menyukai seruling. Suaranya lebih indah dari alat
musik manapun.” Kata Puteri sambil menunduk, namun matanya melirik manja
menyiratkan permohonan agar ayahnya itu menghentikan marah. Puteri tampak bagai
anak kecil yang rapuh yang harus dimaklumi dari kesalahnnya. Mimik wajah
seperti itu selalu membuat kemarahan Sang Raja langsung mereda. Raja menghela nafas panjang lalu memeluk
puterinya, katanya,” Ayah hanya ingin kau menjadi puteri yang lembut seperti
puteri-puteri pada umumnya. Ayah tidak mengerti mengapa kau lebih suka
bertingkah seperti pria. Bermain seruling, menunggang kuda, belajar memanah…itu
semua tidak pantas untukmu. Kau puteri cantik, tampilah menjadi puteri cantik
yang lembut!”
Puteri
Sangita menelengkan kepalanya sambil memandang ayahnya sejenak. “Mungkin karna aku
sangat mengagumi ayah. Tidak ada ksatria yang lebih mengagumkan dari ayah. Ayah
pandai menunggang kuda, pandai memanah, dan pandai bermain seruling. Aku ingin
sehebat ayah.” Alasan puteri Sangita yang mengandung pujian itu membuat Raja
tertawa bangga dan melupakan kekesalannya. “Itu benar, ayah memang ksatria yang
hebat..ha..ha..ha…Baiklah, pujianmu itu membuat ayah lupa sedang marah padamu.
” Raja kembali merangkul puteri Sangita, ia sangat menyayangi putri
satu-satunya itu.
Tiba-tiba seorang pengawal datang membawa
berita yang mengejutkan,“Ampun yang mulia, daerah Waringin timur diserang oleh
pasukan Raja Jaro. Mereka menuju bukit Luweng
untuk mengambil pusaka Watu Wilis!” Raja dan puteri sangat terkejut
mendengar berita itu. Watu Wilis adalah pusaka kerajaan yang berbentuk batu
berwarna hijau. Di dalamnya bersemayam Dewi Hutan yang memiliki kekuatan untuk memelihara
kehidupan tumbuh-tumbuhan di kerajaan Waringin. Dulu daerah Waringin adalah
daerah yang sangat gersang dan tandus, namun sejak raja Waring mendapatkan
pusaka batu wilis sebagai hadiah atas jasanya membantu Dewa Bumi, maka daerah
Waringin mendapatkan kekuatan baru untuk menjadikan kerajaan Waringin sebagai
daerah yang hijau subur, penuh dangan tumbuh-tumbuhan.
Tanpa
membuang waktu, raja segera memberi perintah,” Kumpulkan para perwira dan
menteri, aku akan mengatur siasat!” Pengawal itu segera mohon diri dan
melaksanakan perintah Raja. Dalam waktu singkat, para perwira telah bersiap
dengan pasukannya untuk menghadapi raja Jaro di Wilayah Waringin timur.
Raja
Jaro adalah seorang raja dari kerajaan Simping yang letaknya tidak jauh dari
kerajaan Waringin. Kerajaan itu merupakan wilayah bukit berkapur sehingga
pertanian sulit diusahakan di sana. Para penduduk kerajaan itu hidup miskin
dengan mengandalkan perdagangan batu kapur. Mereka juga menderita karena Raja
Jaro memungut pajak yang tinggi kepada rakyat. Raja Jaro ingin bersaing dengan
kerajaan Waringin yang sama-sama merupakan perbukitan kapur.
Ketika
tiba-tiba wilayah kerajaan Waringin berubah menjadi daerah yang hijau subur, Raja
Jaro merasa iri kepada raja Waring. Setelah
mengirimkan pasukan telik sandi ke kerajaan Waringin, Raja Jaro akhirnya tahu
bahwa perubahan daerah Waringin menjadi tanah subur adalah karena kerajaan
Waringin memiliki pusaka baru Watu Wilis. Dalam batu itu tinggalah seorang peri
sakti bernama Dewi hutan. Dewi hutan itulah yang mengubah perbukitan kapur
menjadi tanah yang subur. Dewi itu akan mematuhi perintah siapapun yang
memiliki pusaka Watu Wilis. Ketamakan dan sifat iri Raja Jaro membuatnya ingin
merebut pusaka Watu Wilis. Ia berpikir jika ia memiliki pusaka itu, maka Dewi
Hutan akan menyuburkan kerajaannya dan membuatnya menjadi raja yang kaya raya.
Niat Raja
Jaro dilaksanakan sejak ia mendapatkan pusaka cincin watu geni. Cincin itu
dapat mengeluarkan api sepanas matahari. Benda apapun yang dikenainya akan
hancur. Dengan pusaka itu, Raja Jaro berani menyerang kerajaan Waringin.
Perang
berkobar di lereng bukit Luweng. Tak lama peperangan berlangsung, pasukan
kerajaan Waringin terdesak. Perisai-perisai prajurit tak mampu menahan serangan
cincin watu geni. Banyak pasukan yang tewas terbakar. Raja Waring tetap
menghadapi Raja Jaro dengan gagah berani. Namun Raja Waring kalah dalam
persenjataan. Semburan api yang sangat panas telah beberapa kali melukainya. Raja
Waring terdesak. Ia kemudian meraih seruling pusakanya yang terbuat dari bambu
wulung berwarna ungu keabu-abuan. Seruling itu mampu membangkitkan Dewi Hutan
dari dalam Watu Wilis. Raja Waring ingin meminta bantuan Dewi Hutan yang bisa
mencurahkan air dalam jumlah yang sangat banyak untuk memadamkan api watu geni Raja
Jaro.
Belum
sempat Raja Waring meniupnya, Raja Jaro berhasil melukai kedua tangan raja
Waring. Seruling itu terpental jauh. Raja Waring mengerang kesakitan. Ia
semakin terluka karena Raja Jaro terus menyerangnya. Bukan hanya tangan yang
terluka, kini kaki Raja Waring tak dapat digunakan untuk menopang tubuhnya
hingga ia jatuh ke tanah. Raja Waring tak mampu bergerak, ia sungguh kesakitan.
“Ha..ha..ha… akhirnya, akulah penguasa Waring dan Simping. Kedua kerajaan ini
akan menjadi milikku, aku akan menjadi raja yang kaya raya, ha..ha..ha…” kata Raja
Jaro merasa menang. Raja Jaro ingin segera mengakhiri perang dengan kemenangan.
Ia mengarahkan pusaka watu geni ke arah Raja Waring yang sudah tidak berdaya.
Batu itu menyala merah dan siap mengeluarkan api panas. Raja Waring tak mampu
berbuat apa-apa, ia tak bisa bergerak. Ketika api itu mulai menyala dari cincin
watu geni, Raja Waring pasrah menghadapi kematiannya dengan keberanian. Dalam
hati ia berdoa agar putrinya selamat dari perang dan rakyat selamat dari penderitaan.
Ia berharap Dewi Hutan mampu melawan Raja Jaro untuk melindungi rakyat dari
penderitaan.
Api
itu mulai menyembur dari cincin watu geni
diiringi tawa penuh kemenangan dari Raja Jaro. Dalam hitungan detik, Raja
Waring akan hancur oleh api sepanas matahari. Pasukan Waringin yang mengetahui
itu jatuh berlutut melihat pengorbanan Raja mereka yang berani menghadapi
kematian dengan gagah berani tanpa mengeluh. Mereka menundukkan kepala tak
sanggup melihat proses kematian raja mereka yang sangat dicintai rakyat.
Tiba-tiba
api itu berbelok arah menjauh dari Raja Waring. Bersamaan dengan itu, Raja Jaro
tampak mengerang kesakitan memegang tangan kanannya. Sebuah anak panah
tertancap di jari tengahnya yang bercincin watu geni. Raja Jaro tampak sangat
marah. Raja Waring yang mendapati dirinya luput dari kematian juga terkejut
dengan kejadian itu. Ia lebih terkejut lagi melihat putri Sangita telah berada
di sampingnya sambil membawa busur panah. “Ayah, bertahanlah!” seru Puteri
Sangita. Raja Waring amat terkejut melihat puterinya berada di medan perang, ia
sangat mengkhawatirkan keselamatan Puteri Sangita. Para perwira telah terluka,
mereka jelas tak mampu melindungi Puteri, sedangkan dirinya sendiri tak mampu
bangkit. “Sangita! Menjauh dari Raja Jaro! Dia bukan tandinganmu! Pergi dari
sini!” teriak Raja Waring memperingatkan. Suaranya jelas sekali menunjukkan
kekhawatiran luar biasa. Puteri Sangita kali ini tidak mematuhi ayahnya. “Aku
seorang puteri ayah, aku berkewajiban melindungi rakyat kerajaanku!” seru puteri
Sangita penuh keberanian. Puteri cantik itu mendekati Raja Jaro dan terus melepaskan
anak panah tanpa memberi kesempatan kepada Raja Jaro untuk menggunakan pusaka
cincin watu geni.
Para
perwira yang masih mampu bangkit berusaha membantu puteri Sangita. Namun Raja
Jaro sungguh sakti, ia bisa menghindari serangan keroyokan itu. Para perwira
bergelimpangan dan Puteri Sangita sendiri dalam bahaya. Puteri Sangita terjatuh
terkena tendangan Raja Jaro. Raja Waring berteriak putus asa melihat puterinya
dalam bahaya sementara tak seorangpun yang mampu melindunginya. Puteri Sangita
kesakitan, busur panahnya telah dipatahkan Raja Jaro. Pedangnyapun telah
terlempar jauh. Namun Puteri tak ingin menyerah. Ia ingin sehebat ayahnya. Ia
berpikir dengan cepat melihat ke sekeliling untuk mencari sesuatu ayang bisa ia
gunakan untuk melawan, jika perlu, ia akan melempari Raja Jaro dengan batu.
Tiba-tiba
matanya tertambat pada sebilah bambu wulung. “Seruling ayah!” seru Puteri
Sangita lirih. Ia ingat bahwa ayahnya sering membangkitkan Dewi Hutan dari
dalam Watu Wilis dengan memainkan lagu mantera dari seruling itu. Sayang
sekali, Puteri Sangita tidak hafal nada-nada manteranya. Puteri segera meraih
seruling itu dan berteriak kepada ayahnya. “Ayah! Nyanyikan mantera pemanggil
Dewi Hutan!”
Mendengar
teriakan itu, Raja Waring keheranan, namun saat melihat Puteri Sangita memegang
seruling wulungnya, Raja Waring mengerti. Dengan suara keras Raja menyanyikan
nada-nada manteranya. Puteri Sangita segera meniup seruling wulung memainkan
nada-nada mantera yang dinyanyikan ayahnya. Ia memainkan sepenuh hati tanpa
peduli saat itu Raja Jaro sudah mendekatinya dan mengarahkan cincin watu geni
yang siap membakar Puteri. Bagi Puteri Sangita, ia rela mati demi bisa memanggil Dewi Hutan. Dewi itulah
yang akan menyelamatkan ayah dan rakyatnya dengan mengalahkan Raja Jaro. Raja
Waring yang melihat tekad puterinya itu bernyanyi sambil berlinang air mata. Ia
tahu bahwa dirinya bisa saja kehilangan puteri yang terus meniup seruling
memainkan nada mantera. Namun Raja tak bisa mencegah puteri memainkan seruling
dalam bahaya serangan Raja Jaro. Raja tahu bahwa puterinya mempertaruhkan nyawa
untuk keselamatan kerajaan. Raja Waring merasa sedih, takut kehilangan sang
puteri namun sekaligus bangga dengan keberanian dan tekad pengorbanan puteri.
Nada-nada
mantera mengalun merdu dari seruling
wulung yang ditiup puteri Sangita. Suara itu merambat hingga ke puncak bukit
Luweng dan memasuki Watu Wilis. Saat nada terakhir mantera itu ditiup, api yang
berasal dari cincin watu geni mulai menyembur mengarah pada puteri Sangita.
Puteri tetap meniup nada terakhirnya dengan sepenuh hati memanggil Dewi Hutan
untuk menyelamatkan kerajaan. Air mata Raja Waring mengalir deras melihat api
itu membungkus sang Puteri. Tampak bayangan Puteri Sangita masih meniupkan nada
terakhir mantera pemanggil. Raja Waring meneriakkan nama puteri dengan penuh
kepedihan. Puteri satu-satunya yang amat ia sayangi mengorbankan diri untuk
kerajaan. Raja Waring menyesal tak dapat
melindungi puterinya. Ia lebih menyesal lagi selama ini ia memarahi puteri saat
berlatih meniup seruling. Ternyata kini sikap keras kepala puterinya itu justru
menyelamatkan kerajaan.
Api
dari cincin watu geni yang menyala merah itu berangsur berubah warna menjadi
hijau. Cahayanya makin terang
menyilaukan kemudian berpendar memudar. Seorang puteri yang cantik
berpakaian serba hijau berdiri dengan anggun. Suara lembutnya bergema merdu. Dewi
Hutan telah hadir di tengah-tengah perang. “Engkau benar-benar tamak dan jahat,
Raja Jaro. Engkau membawa petaka bagi banyak orang hanya karena sifat iri
hatimu. Saatnya angkau mendapat hukuman.”
Dewi Hutan menyemburkan air yang menggulung-gulung Raja Jaro. Teriakan
Raja Jaro terdengar keras namun kemudian berangsur menghilang. Air itu
melenyapkan Raja Jaro beserta kejahatannya.
Dewi
Hutan kemudian menghampiri Raja Waring dan menyembuhkannya dari segala luka.
Namun Raja Waring tampak berduka. “Engkau dan kerajaanmu sudah terbebas dari
bahaya, mengapakah engkau berduka, Raja Waring?” tanya Dewi Hutan. Raja Waring
mengungkapkan kesedihannya karena kehilangan Puteri Sangita yang amat
dicintainya. Raja Waring menceritakan kisah keberanian Dewi Sangita yang
mengorbankan diri untuk kerajaan. Raja kembali menangis meratapi kepergian
Puteri Sangita, belum pernah ia merasakan sakit yang sedemikan itu karena
kehilangan puterinya. Dewi Hutan merasa iba kepada Raja Waring. Ia berjalan ke
arah jasad Puteri Sangita yang telah menjadi abu. Dengan seluruh kekuatannya,
Dewi Hutan membangkitkan Puteri Sangita. Abu itu berubah kembali menjadi
seorang puteri.
“Sangita!
Puteriku!” seru Raja Waring sambil menangis memeluk puterinya. Ia bahagia
sekali puterinya hidup kembali. Raja waring hendak berterima kasih kepada Dewi
Hutan, namun ia mendapati Dewi Hutan terkulai lemah bersandar pada sebuah batu.
“Dewi, apa yang terjadi?” tanya Raja Waring keheranan. Dewi hutan tersenyum
memandang Puteri Sangita, “Seluruh kekuatanku telah kukeluarkan untuk
membangkitkan puterimu. Kebaikan hatinya yang mau berkorban untuk rakyat,
membuatku ingin menyerahkan seluruh kekuatanku padanya. Sekarang aku harus
kembali ke samudera untuk beristirahat dan mengumpulkan kekuatan kembali. Aku
akan butuh waktu ribuan tahun.
“Dewi,
maafkan aku…” kata Puteri Sangita yang merasa bersalah telah membuat Dewi Hutan
kehilangan kekuatannya. Namun Dewi Hutan menggeleng,”Ini bukan kesalahan nak!
Mulai sekarang, tebarkanlah tekad berani berkorban untuk kerajaan untuk
membangun negeri ini. Waringin tidak lagi membutuhkan keajaiban sihir dariku.
Tekad kalianlah yang akan dapat membangun dan melindungi kerajaan ini.
Bekerjalah sungguh-sungguh dengan tekad dan keberanian. Bekerjasamalah satu
sama lain. Beranilah berkorban untuk kepentingan kerajaan, jangan mengutamakan
kepentingan diri sendiri. Maka kerajaanmu akan makmur. Watu Wilis akan hancur
bersama dengan kepergianku, dengan begitu, kerajaanmu akan aman dari iri hati
penguasa yang lain.”
Dewi
hutan kemudian lenyap bersama cahaya hijau yang melesat ke samudera. Raja
Waring menumpangkan tangan ke atas kepala puterinya, “Puteriku, ayah berjanji
tak akan melarangmu bermain seruling lagi. Kau boleh memainkannya sesukamu.
Maafkan ayah yang tidak memahamimu selama ini. Terima kasih kau sudah sangat
berani untuk menyelamatkan kerajaan.” Mendengar itu, Puteri Sangita tersenyum
bahagia, “Ayahlah yang memberi teladan padaku berani berkorban untuk kerajaan.
Lihatlah para perwira dan prajurit yang juga berani berkorban karena teladan
yang ayah berikan. Mereka bekerja sama saling melindungi dengan taruhan nyawa. Ayo ayah, kita selamatkan yang masih
hidup, Dewi Hutan meninggalkan kekuatannya padaku untuk menyembuhkan.”
Puteri
Sangita kemudian meraih seruling bambu kuning miliknya dan meniupkan nada-nada
mantera baru untuk menyembuhkan. Nada yang sangat merdu itu menyembuhkan siapapun
yang terluka. Puteri Sangita terus berjalan mendekati para perwira dan prajurit
yang terluka sambil meniup serulingnya. Satu per satu mereka bengkit dan
sembuh. Raja Waring kini menangis haru melihat kehebatan puterinya. “Seruling
itu milikmu nak, ayah tak akan melarangmu lagi…”, bisik Raja Waring yang
berjalan di samping Puteri Sangita. Sejak itu Puteri Sangita bebas memainkan
serulingnya tanpa dimarahi ayahnya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar