Selasa, 07 Mei 2019

Seruling Bambu Kuning



Seruling Bambu, Cerita Anak, Dongeng Anak
Seruling Bambu Kuning

Suara seruling itu mengalun sangat merdu, setiap orang yang mendengarnya serasa melayang ke negeri dongeng yang penuh keindahan. Seorang puteri cantik sedang duduk di atas akar pohon mahoni di pinggir kolam istana. Tangannya yang lentik tampak terampil memainkan jarinya di lubang-lubang seruling. Matanya terpejam menghayati alunan suara angin yang ditiupnya ke dalam batang bambu kuning. Angin bertiup mengibaskan rambutnya yang tergerai, melambai-lambai seakan menarikan nada-nada ceria seruling yang ditiupnya.

Raja Waring melangkah kesal mendekati puterinya, tak peduli dengan nada indah yang sedang menghibur makhluk-makhluk istana, raja itu berdiri angkuh dengan berkacak pinggang di depan Puteri Sangita. “Sampai kapan kau akan terus memainkan seruling! Berapa kali lagi ayah harus mengatakan bahwa musik itu hanya dimainkan oleh pria! Bukan wanita! Kau seharusnya belajar menyanyi dan menari seperti layaknya para puteri, bukan malah bermain musik seperti pria! Haruskah ayah bertindak kasar dengan mematahkan serulingmu!?” Mendengar suara ayahnya yang terdengar marah, puteri Sangita menghentikan musiknya. Sifat periangnya membuat puteri tidak tersinggung dengan amarah Raja Waring. Ia kemudian bangkit untuk memberi hormat kepada ayahnya. Meskipun sang raja marah, puteri Sangita tetap menghormatinya sebagai ayah yang penuh kasih sayang. Memang di kerajaan itu, seorang wanita tidak lazim bermain musik seruling. Alat itu adalah alat musik para pria yang biasanya mereka mainkan sambil menggembala ternak, berburu atau bahkan ketika sedang pergi untuk berperang. Sedangkan wanita di kerajaan itu hanya boleh bermain kecapi yang dianggap sebagai alat musik yang penuh kelembutan. Namun puteri Sangita tidak menyukai kecapi. Alat itu merepotkan untuk dibawa-bawa bepergian.

“Ampun ayah, aku tidak bisa berhenti menyukai seruling. Suaranya lebih indah dari alat musik manapun.” Kata Puteri sambil menunduk, namun matanya melirik manja menyiratkan permohonan agar ayahnya itu menghentikan marah. Puteri tampak bagai anak kecil yang rapuh yang harus dimaklumi dari kesalahnnya. Mimik wajah seperti itu selalu membuat kemarahan Sang Raja langsung mereda.  Raja menghela nafas panjang lalu memeluk puterinya, katanya,” Ayah hanya ingin kau menjadi puteri yang lembut seperti puteri-puteri pada umumnya. Ayah tidak mengerti mengapa kau lebih suka bertingkah seperti pria. Bermain seruling, menunggang kuda, belajar memanah…itu semua tidak pantas untukmu. Kau puteri cantik, tampilah menjadi puteri cantik yang lembut!”

Puteri Sangita menelengkan kepalanya sambil memandang ayahnya sejenak. “Mungkin karna aku sangat mengagumi ayah. Tidak ada ksatria yang lebih mengagumkan dari ayah. Ayah pandai menunggang kuda, pandai memanah, dan pandai bermain seruling. Aku ingin sehebat ayah.” Alasan puteri Sangita yang mengandung pujian itu membuat Raja tertawa bangga dan melupakan kekesalannya. “Itu benar, ayah memang ksatria yang hebat..ha..ha..ha…Baiklah, pujianmu itu membuat ayah lupa sedang marah padamu. ” Raja kembali merangkul puteri Sangita, ia sangat menyayangi putri satu-satunya itu.

Tiba-tiba seorang pengawal datang membawa berita yang mengejutkan,“Ampun yang mulia, daerah Waringin timur diserang oleh pasukan Raja Jaro. Mereka menuju bukit Luweng  untuk mengambil pusaka Watu Wilis!” Raja dan puteri sangat terkejut mendengar berita itu. Watu Wilis adalah pusaka kerajaan yang berbentuk batu berwarna hijau. Di dalamnya bersemayam Dewi Hutan yang memiliki kekuatan untuk memelihara kehidupan tumbuh-tumbuhan di kerajaan Waringin. Dulu daerah Waringin adalah daerah yang sangat gersang dan tandus, namun sejak raja Waring mendapatkan pusaka batu wilis sebagai hadiah atas jasanya membantu Dewa Bumi, maka daerah Waringin mendapatkan kekuatan baru untuk menjadikan kerajaan Waringin sebagai daerah yang hijau subur, penuh dangan tumbuh-tumbuhan.

Tanpa membuang waktu, raja segera memberi perintah,” Kumpulkan para perwira dan menteri, aku akan mengatur siasat!” Pengawal itu segera mohon diri dan melaksanakan perintah Raja. Dalam waktu singkat, para perwira telah bersiap dengan pasukannya untuk menghadapi raja Jaro di Wilayah Waringin timur.

Raja Jaro adalah seorang raja dari kerajaan Simping yang letaknya tidak jauh dari kerajaan Waringin. Kerajaan itu merupakan wilayah bukit berkapur sehingga pertanian sulit diusahakan di sana. Para penduduk kerajaan itu hidup miskin dengan mengandalkan perdagangan batu kapur. Mereka juga menderita karena Raja Jaro memungut pajak yang tinggi kepada rakyat. Raja Jaro ingin bersaing dengan kerajaan Waringin yang sama-sama merupakan perbukitan kapur.

Ketika tiba-tiba wilayah kerajaan Waringin berubah menjadi daerah yang hijau subur, Raja Jaro merasa iri kepada raja Waring.  Setelah mengirimkan pasukan telik sandi ke kerajaan Waringin, Raja Jaro akhirnya tahu bahwa perubahan daerah Waringin menjadi tanah subur adalah karena kerajaan Waringin memiliki pusaka baru Watu Wilis. Dalam batu itu tinggalah seorang peri sakti bernama Dewi hutan. Dewi hutan itulah yang mengubah perbukitan kapur menjadi tanah yang subur. Dewi itu akan mematuhi perintah siapapun yang memiliki pusaka Watu Wilis. Ketamakan dan sifat iri Raja Jaro membuatnya ingin merebut pusaka Watu Wilis. Ia berpikir jika ia memiliki pusaka itu, maka Dewi Hutan akan menyuburkan kerajaannya dan membuatnya menjadi raja yang kaya raya.

Niat Raja Jaro dilaksanakan sejak ia mendapatkan pusaka cincin watu geni. Cincin itu dapat mengeluarkan api sepanas matahari. Benda apapun yang dikenainya akan hancur. Dengan pusaka itu, Raja Jaro berani menyerang kerajaan Waringin.

Perang berkobar di lereng bukit Luweng. Tak lama peperangan berlangsung, pasukan kerajaan Waringin terdesak. Perisai-perisai prajurit tak mampu menahan serangan cincin watu geni. Banyak pasukan yang tewas terbakar. Raja Waring tetap menghadapi Raja Jaro dengan gagah berani. Namun Raja Waring kalah dalam persenjataan. Semburan api yang sangat panas telah beberapa kali melukainya. Raja Waring terdesak. Ia kemudian meraih seruling pusakanya yang terbuat dari bambu wulung berwarna ungu keabu-abuan. Seruling itu mampu membangkitkan Dewi Hutan dari dalam Watu Wilis. Raja Waring ingin meminta bantuan Dewi Hutan yang bisa mencurahkan air dalam jumlah yang sangat banyak untuk memadamkan api watu geni Raja Jaro.

Belum sempat Raja Waring meniupnya, Raja Jaro berhasil melukai kedua tangan raja Waring. Seruling itu terpental jauh. Raja Waring mengerang kesakitan. Ia semakin terluka karena Raja Jaro terus menyerangnya. Bukan hanya tangan yang terluka, kini kaki Raja Waring tak dapat digunakan untuk menopang tubuhnya hingga ia jatuh ke tanah. Raja Waring tak mampu bergerak, ia sungguh kesakitan. “Ha..ha..ha… akhirnya, akulah penguasa Waring dan Simping. Kedua kerajaan ini akan menjadi milikku, aku akan menjadi raja yang kaya raya, ha..ha..ha…” kata Raja Jaro merasa menang. Raja Jaro ingin segera mengakhiri perang dengan kemenangan. Ia mengarahkan pusaka watu geni ke arah Raja Waring yang sudah tidak berdaya. Batu itu menyala merah dan siap mengeluarkan api panas. Raja Waring tak mampu berbuat apa-apa, ia tak bisa bergerak. Ketika api itu mulai menyala dari cincin watu geni, Raja Waring pasrah menghadapi kematiannya dengan keberanian. Dalam hati ia berdoa agar putrinya selamat dari perang dan rakyat selamat dari penderitaan. Ia berharap Dewi Hutan mampu melawan Raja Jaro untuk melindungi rakyat dari penderitaan.

Api itu mulai menyembur dari cincin watu geni diiringi tawa penuh kemenangan dari Raja Jaro. Dalam hitungan detik, Raja Waring akan hancur oleh api sepanas matahari. Pasukan Waringin yang mengetahui itu jatuh berlutut melihat pengorbanan Raja mereka yang berani menghadapi kematian dengan gagah berani tanpa mengeluh. Mereka menundukkan kepala tak sanggup melihat proses kematian raja mereka yang sangat dicintai rakyat.

Tiba-tiba api itu berbelok arah menjauh dari Raja Waring. Bersamaan dengan itu, Raja Jaro tampak mengerang kesakitan memegang tangan kanannya. Sebuah anak panah tertancap di jari tengahnya yang bercincin watu geni. Raja Jaro tampak sangat marah. Raja Waring yang mendapati dirinya luput dari kematian juga terkejut dengan kejadian itu. Ia lebih terkejut lagi melihat putri Sangita telah berada di sampingnya sambil membawa busur panah. “Ayah, bertahanlah!” seru Puteri Sangita. Raja Waring amat terkejut melihat puterinya berada di medan perang, ia sangat mengkhawatirkan keselamatan Puteri Sangita. Para perwira telah terluka, mereka jelas tak mampu melindungi Puteri, sedangkan dirinya sendiri tak mampu bangkit. “Sangita! Menjauh dari Raja Jaro! Dia bukan tandinganmu! Pergi dari sini!” teriak Raja Waring memperingatkan. Suaranya jelas sekali menunjukkan kekhawatiran luar biasa. Puteri Sangita kali ini tidak mematuhi ayahnya. “Aku seorang puteri ayah, aku berkewajiban melindungi rakyat kerajaanku!” seru puteri Sangita penuh keberanian. Puteri cantik itu mendekati Raja Jaro dan terus melepaskan anak panah tanpa memberi kesempatan kepada Raja Jaro untuk menggunakan pusaka cincin watu geni.

Para perwira yang masih mampu bangkit berusaha membantu puteri Sangita. Namun Raja Jaro sungguh sakti, ia bisa menghindari serangan keroyokan itu. Para perwira bergelimpangan dan Puteri Sangita sendiri dalam bahaya. Puteri Sangita terjatuh terkena tendangan Raja Jaro. Raja Waring berteriak putus asa melihat puterinya dalam bahaya sementara tak seorangpun yang mampu melindunginya. Puteri Sangita kesakitan, busur panahnya telah dipatahkan Raja Jaro. Pedangnyapun telah terlempar jauh. Namun Puteri tak ingin menyerah. Ia ingin sehebat ayahnya. Ia berpikir dengan cepat melihat ke sekeliling untuk mencari sesuatu ayang bisa ia gunakan untuk melawan, jika perlu, ia akan melempari Raja Jaro dengan batu.

Tiba-tiba matanya tertambat pada sebilah bambu wulung. “Seruling ayah!” seru Puteri Sangita lirih. Ia ingat bahwa ayahnya sering membangkitkan Dewi Hutan dari dalam Watu Wilis dengan memainkan lagu mantera dari seruling itu. Sayang sekali, Puteri Sangita tidak hafal nada-nada manteranya. Puteri segera meraih seruling itu dan berteriak kepada ayahnya. “Ayah! Nyanyikan mantera pemanggil Dewi Hutan!”

Mendengar teriakan itu, Raja Waring keheranan, namun saat melihat Puteri Sangita memegang seruling wulungnya, Raja Waring mengerti. Dengan suara keras Raja menyanyikan nada-nada manteranya. Puteri Sangita segera meniup seruling wulung memainkan nada-nada mantera yang dinyanyikan ayahnya. Ia memainkan sepenuh hati tanpa peduli saat itu Raja Jaro sudah mendekatinya dan mengarahkan cincin watu geni yang siap membakar Puteri. Bagi Puteri Sangita, ia rela mati  demi bisa memanggil Dewi Hutan. Dewi itulah yang akan menyelamatkan ayah dan rakyatnya dengan mengalahkan Raja Jaro. Raja Waring yang melihat tekad puterinya itu bernyanyi sambil berlinang air mata. Ia tahu bahwa dirinya bisa saja kehilangan puteri yang terus meniup seruling memainkan nada mantera. Namun Raja tak bisa mencegah puteri memainkan seruling dalam bahaya serangan Raja Jaro. Raja tahu bahwa puterinya mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan kerajaan. Raja Waring merasa sedih, takut kehilangan sang puteri namun sekaligus bangga dengan keberanian dan tekad pengorbanan puteri.

Nada-nada mantera mengalun  merdu dari seruling wulung yang ditiup puteri Sangita. Suara itu merambat hingga ke puncak bukit Luweng dan memasuki Watu Wilis. Saat nada terakhir mantera itu ditiup, api yang berasal dari cincin watu geni mulai menyembur mengarah pada puteri Sangita. Puteri tetap meniup nada terakhirnya dengan sepenuh hati memanggil Dewi Hutan untuk menyelamatkan kerajaan. Air mata Raja Waring mengalir deras melihat api itu membungkus sang Puteri. Tampak bayangan Puteri Sangita masih meniupkan nada terakhir mantera pemanggil. Raja Waring meneriakkan nama puteri dengan penuh kepedihan. Puteri satu-satunya yang amat ia sayangi mengorbankan diri untuk kerajaan.  Raja Waring menyesal tak dapat melindungi puterinya. Ia lebih menyesal lagi selama ini ia memarahi puteri saat berlatih meniup seruling. Ternyata kini sikap keras kepala puterinya itu justru menyelamatkan kerajaan.

Api dari cincin watu geni yang menyala merah itu berangsur berubah warna menjadi hijau. Cahayanya makin terang  menyilaukan kemudian berpendar memudar. Seorang puteri yang cantik berpakaian serba hijau berdiri dengan anggun. Suara lembutnya bergema merdu. Dewi Hutan telah hadir di tengah-tengah perang. “Engkau benar-benar tamak dan jahat, Raja Jaro. Engkau membawa petaka bagi banyak orang hanya karena sifat iri hatimu. Saatnya angkau mendapat hukuman.”  Dewi Hutan menyemburkan air yang menggulung-gulung Raja Jaro. Teriakan Raja Jaro terdengar keras namun kemudian berangsur menghilang. Air itu melenyapkan Raja Jaro beserta kejahatannya.

Dewi Hutan kemudian menghampiri Raja Waring dan menyembuhkannya dari segala luka. Namun Raja Waring tampak berduka. “Engkau dan kerajaanmu sudah terbebas dari bahaya, mengapakah engkau berduka, Raja Waring?” tanya Dewi Hutan. Raja Waring mengungkapkan kesedihannya karena kehilangan Puteri Sangita yang amat dicintainya. Raja Waring menceritakan kisah keberanian Dewi Sangita yang mengorbankan diri untuk kerajaan. Raja kembali menangis meratapi kepergian Puteri Sangita, belum pernah ia merasakan sakit yang sedemikan itu karena kehilangan puterinya. Dewi Hutan merasa iba kepada Raja Waring. Ia berjalan ke arah jasad Puteri Sangita yang telah menjadi abu. Dengan seluruh kekuatannya, Dewi Hutan membangkitkan Puteri Sangita. Abu itu berubah kembali menjadi seorang puteri. 

“Sangita! Puteriku!” seru Raja Waring sambil menangis memeluk puterinya. Ia bahagia sekali puterinya hidup kembali. Raja waring hendak berterima kasih kepada Dewi Hutan, namun ia mendapati Dewi Hutan terkulai lemah bersandar pada sebuah batu. “Dewi, apa yang terjadi?” tanya Raja Waring keheranan. Dewi hutan tersenyum memandang Puteri Sangita, “Seluruh kekuatanku telah kukeluarkan untuk membangkitkan puterimu. Kebaikan hatinya yang mau berkorban untuk rakyat, membuatku ingin menyerahkan seluruh kekuatanku padanya. Sekarang aku harus kembali ke samudera untuk beristirahat dan mengumpulkan kekuatan kembali. Aku akan butuh waktu ribuan tahun.

“Dewi, maafkan aku…” kata Puteri Sangita yang merasa bersalah telah membuat Dewi Hutan kehilangan kekuatannya. Namun Dewi Hutan menggeleng,”Ini bukan kesalahan nak! Mulai sekarang, tebarkanlah tekad berani berkorban untuk kerajaan untuk membangun negeri ini. Waringin tidak lagi membutuhkan keajaiban sihir dariku. Tekad kalianlah yang akan dapat membangun dan melindungi kerajaan ini. Bekerjalah sungguh-sungguh dengan tekad dan keberanian. Bekerjasamalah satu sama lain. Beranilah berkorban untuk kepentingan kerajaan, jangan mengutamakan kepentingan diri sendiri. Maka kerajaanmu akan makmur. Watu Wilis akan hancur bersama dengan kepergianku, dengan begitu, kerajaanmu akan aman dari iri hati penguasa yang lain.”

Dewi hutan kemudian lenyap bersama cahaya hijau yang melesat ke samudera. Raja Waring menumpangkan tangan ke atas kepala puterinya, “Puteriku, ayah berjanji tak akan melarangmu bermain seruling lagi. Kau boleh memainkannya sesukamu. Maafkan ayah yang tidak memahamimu selama ini. Terima kasih kau sudah sangat berani untuk menyelamatkan kerajaan.” Mendengar itu, Puteri Sangita tersenyum bahagia, “Ayahlah yang memberi teladan padaku berani berkorban untuk kerajaan. Lihatlah para perwira dan prajurit yang juga berani berkorban karena teladan yang ayah berikan. Mereka bekerja sama saling melindungi dengan taruhan  nyawa. Ayo ayah, kita selamatkan yang masih hidup, Dewi Hutan meninggalkan kekuatannya padaku untuk menyembuhkan.”

Puteri Sangita kemudian meraih seruling bambu kuning miliknya dan meniupkan nada-nada mantera baru untuk menyembuhkan. Nada yang sangat merdu itu menyembuhkan siapapun yang terluka. Puteri Sangita terus berjalan mendekati para perwira dan prajurit yang terluka sambil meniup serulingnya. Satu per satu mereka bengkit dan sembuh. Raja Waring kini menangis haru melihat kehebatan puterinya. “Seruling itu milikmu nak, ayah tak akan melarangmu lagi…”, bisik Raja Waring yang berjalan di samping Puteri Sangita. Sejak itu Puteri Sangita bebas memainkan serulingnya tanpa dimarahi ayahnya lagi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar