Kamis, 09 April 2020

Memasak Matahari


Cerita Bijak
Memasak Matahari

Malida mengucek matanya saat ibu membuka jendela kamar lebar-lebar. Ia memandang keluar dan mencari-cari bola cahaya yang biasanya tampak merah berkilauan di ufuk timur. Matahari biasanya tampak indah saat fajar tiba. Bola berkilau itu terasa tersenyum menyucapkan selamat pagi kepada Malida saat ia bangun tidur. Tapi hari itu, Malida tak melihat kilau matahari. Bola besar di langit itu kini tampak kehitaman, hanya ada bercak-bercak kecil cahaya api yang hampir padam. Matahari tampak sekarat kehilangan cahayanya. “Ibu… mengapa matahari warnanya hitam begitu?” tanya Malida pada ibunya. Wajah ibu yang selalu cantik, hari itupun terlihat penuh kekhawatiran, namun ibu tetap tersenyum, katanya, “Nak…matahari sedang sakit, cahanyanya hampir habis”. Malida menatap ibunya sambil sesekali melirik matahari, “ Kalau begitu, ayo ibu kita cari obat untuk matahari, kasihan ia sakit!” Ibu tak menjawab ia hanya mengangguk sambil tersenyum getir.
Kerajaan itu adalah kerajaan Cakrawala yang bertugas mengendalikan cuaca langit. Kerajaan itu terdiri dari 4 desa yang memiliki tugas masing-masing. Keempat desa itu adalah desa petir yang bertugas membuat petir untuk sumber energi kerajaan, desa awan yang bertugas menurunkan hujan ke bumi, desa angin yang mengendalikan tiupan angin dan desa pelangi yang bertugas memberi warna langit. Selama bertahun-tahun, keempat desa itu saling bersaing menunjukkan kehebatannya masing-masing. Desa Petir menyombongkan diri karena mampu membuat kekuatan hebat yang dapat menghancurkan apapun di bumi. Desa awan menyombongkan kehebatannya sebagai kekuatan yang paling dinantikan penduduk bumi untuk mengairi pertanian mereka. Desa angin menyombongkan kekuatannya yang mampu memporak porandakan seluruh  bumi dengan angin topan dan tornado. Sedangkan desa pelangi menyombongkan kehebatannya dalam menghias langit yang membuat seluruh penduduk bumi mengaguminya.

Kali ini ketika matahari mulai kehilangan cahanyanya, setiap desa mengalami masalah yang sama. Tanpa cahaya matahari, tumbuh-tumbuhan mulai layu dan mati. Tanpa tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan kehabisan rumput, biji dan daun-daun untuk makanan mereka. Akhirnya juga banyak yang mati.  Tanpa tumbuhan dan hewan, pendudukpun mulai kelaparan. Keadaan itu membuat mereka terus-terusan menggerutu dan saling menyalahkan pihak lain.

Raja segera mengumpulkan para kepala desa untuk bersama-sama menyelesaikan masalah. Namun ketika mereka berkumpul dalam sebuah rapat, setiap kepala desa malah saling menyalahkan desa lain. Kepala Desa Petir adalah orang pertama yang menyalahkan desa lain,” Yang mulia, ini semua adalah kesalahan Desa awan! Mereka terus-terusan saja  menutupi matahari dengan mendung mereka. Pasti matahari menjadi marah, lalu sekarang enggan bersinar!” Mendengar itu, Desa Awan menyanggah, “Yang mulia, kalau mendung kami terlalu banyak, itu karena desa angin terlalu banyak menerbangkan uap air. Jadi bukan salah kami kalau mendung terlalu tebal!” Desa angin tak mau disalahkan, “Itu bukan kesalahan kami. Matahari marah dan berhenti memancarkan sinarnya karena ulah Desa pelangi! Setiap hari desa pelangi mewarnai langit, itu membuat matahari merasa tersaingi!” Pernyataan desa angin itu membuat desa pelangi marah,”Mengapa kau menyalahkan kami? Matahari marah bukan karna kami! Desa petirlah yang setiap hari mengambil cahaya matahari untuk membuat kilat petir, makanya cahaya matahari habis!” Ungkapan desa Pelangi yang membuat desa petir bertambah marah, ia baru saja ingin menyanggah tuduhan desa pelangi, tetapi raja segera menghentikannya.

“Cukup! Tidak ada gunanya saling menyalahkan. Aku mengumpulkan kalian di sini untuk meminta kalian bekerja sama antardesa menyelesaikan masalah bersama!” seru Raja menengahi perselisihan antar desa. Raja kemudian membuka kitab yang sangat besar. Kitab itu adalah buku yang berisi ilmu pengetahuan peninggalan nenek moyang tentang berbagai cara mengatasi masalah-masalah darurat. Setelah membuka beberapa lembar, Raja menemukan bagian yang membahas penyelesaian masalah jika matahari kehabisan cahayanya. Setelah diam sejenak, raja kemudian berseru membacakan isi kitab itu kepada seluruh anggota rapat. “Dalam sejarah kerajaan kita, matahari akan meredup dan kehilangan cahayanya setiap 1000 tahun sekali. Matahari bisa mendapatkan cahayanya kembali bila kita bersama –sama memasak matahari” Raja terdiam. Begitu juga para kepala desa. Mereka tercenung, mereka bingung bagaimana caranya memasak matahari yang demikian besar di langit. Seberapa besarkah panci yang harus mereka buat? Sebanyak apa kayu bakar yang harus dikumpulkan? Bagaimana caranya memasak matahari dalam panci besar di angkasa? Raja kemudian menemukan kalimat yang tertulis di bagian bawah kitab itu. Raja membacanya perlahan. “Api terkuat adalah api persatuan empat warna yang murni”.

Setelah membaca itu, raja terdiam mencoba mencerna makna kalimat itu. Tiba-tiba kepala desa petir berseru,”Yang mulia, di antara empat desa, hanya desa petirlah yang mampu membuat api yang dibutuhkan, kami memiliki api petir warna putih dan biru! Desa petir siap menjadi pahlawan yang menyelamatkan kerajaan!”  Belum sempat raja menyahut, pernyataan kepala desa petir itu telah disanggah oleh kepala desa pelangi,”Hei! Desa petir, apa kau tidak memperhatikan kalimat terakhir di kitab itu? Api terkuat adalah api persatuan empat warna yang murni. 

Di antara kita semua, hanya desa pelangi yang memiliki banyak warna! Kau hanya punya api putih dan biru, itu hanya 2 warna! Bukan 4! Jadi, kamilah yang paling kuat!” Kepala desa awan pun ikut menimpali,”Ah, desa pelangi, kau hanya punya warna saja tapi tak bisa buat api, apa hebatnya? Yang dibutuhkan di sini adalah api berwarna! Dan kau, desa petir, kau akan kesulitan menciptakan petir tanpa awan-awan mendung kami, kalau bicara soal siapa yang menjadi pahlawan, desa kamilah yang layak disebut pahlawan!” Desa anginpun tak mau kalah ia segera menyahut,”Desa kalian semua tidak akan bisa membuat apa-apa kalau tidak ada kami! Anginlah yang membawa uap air ke angkasa hingga bisa terbentuk awan, karna ada awan maka ada petir. Kemudian setelah hujan, kami juga yang menebarkan titik-titik air hingga pelangi bisa terbentuk dari sinar matahari. Jadi, kamilah pahlawan yang sesungguhnya! Tanpa kami, kalian bukan apa-apa!”

 Perdebatan itu kian berlanjut hingga sang raja harus menghentikan mereka dengan keras. Apapun nasehat raja, pada akhirnya rapat itu hanya berisi pertentangan tentang siapa yang terhebat. Raja kemudian membubarkan rapat dan menunda sampai mereka mengerti untuk bekerja sama.

Hari berlalu, keempat desa tetap tidak bisa diajak untuk bekerja sama, mereka masih diliputi kesombongan masing-masing dan merasa diri terhebat. Keadaan itu kian memperparah bencana kelaparan di kerajaan.

Di sebuah taman bermain, seorang anak kecil dari desa petir menangis karena kelaparan, orang tuanya tak berdaya mencari makanan. Anak itu terlihat kurus kering dan putus asa. Tiba-tiba seorang anak kecil lain dari desa awan datang mendekat. Ia kemudian meniupkan kabut  tebal di tangannya hingga terbentuk awan di depan anak dari desa petir. Awan itu perlahan menurunkan hujan yang membasahi tangan anak desa petir. Air yang murni segar dan menyejukkan. Anak dari desa petir itu segera meminum air hujan buatan desa awan tersebut. Setelah memenuhi perutnya dengan air, ia merasa segar dan kemudian tersenyum, katanya, “Terima kasih… kau dari desa awan ya?”  Anak dari desa awan mengangguk sambil tersenyum. “Iya, namaku Malida, kamu siapa?” Anak dari desa petir itu merentangkan tangannya, dengan sekali jentikan jari ia menciptakan petir yang menjalar di kedua tangannya. Cahaya itu indah sekali. Malida berseru,”Wow..indah sekali petir yang kau buat! Kamu dari desa petir rupanya..” Anak itu mengangguk, katanya,”Namaku Tarry, ayo kita bermain awan dan petir!” kata Tarry bersemangat. Malida setuju. Ia kemudian membentuk beberapa gumpalan awan yang lebih besar, awan itu dibuatnya berwarna putih bersih dengan sedikit warna abu-abu di dasarnya. Tarry kemudian menciptakan petir yang melompat ke sana sini di antara awan itu. 

Suara percikan listriknya dan warna kilat yang indah, menarik perhatian seorang anak dari desa pelangi. Ia kemudian ikut bergabung untuk bermain. Ia menciptakan beberapa lengkung pelangi di antara awan dan petir. Tarry dan Malida bersorak takjub. “Indah sekali! Kau pasti dari desa pelangi! Siapa namamu?”, tanya Malida. “Aku Lila!” jawab anak itu dan kemudian melanjutkan bermain. Tiba-tiba pelangi yang ia buat meluncur bergerak sendiri bagai ular warna warni. Lila terkejut melihat pelangi yang ia buat bisa meluncur sendiri. “Hei, aku pinjam pelangimu!” seru seorang anak yang lain. Ia kemudian menciptakan angin untuk menggerakkan lengkung-lengkung pelangi itu hingga bisa meluncur menari-nari di antara awan.  “Kau, dari desa angin ya?”, seru Tarry. “Iya, namaku Mona!”, jawab anak itu.

Keempat anak itu sangat menikmati permainan yang mereka buat, mereka terus bekerja sama menggabungkan awan, petir, pelangi dan angin hingga tampak indah dan seru untuk bermain. Suatu ketika, saat mereka berempat saling adu tosh (have five) sambil bersorak dan bernyanyi mengelilingi hasil karya mereka, munculah lidah-lidah api dari telapak tangan mereka yang beradu. Api-api kecil itu kemudian terbang tinggi dan hinggap di matahari yang menghitam. Kobarannya membuat matahari tampak memiliki cahaya. Anak-anak itu takjub melihat apa yang terjadi. “Ayo kita coba lagi!” seru Mona. Mereka kembali bernyanyi dan bersorak lalu adu tosh, dan setiap tosh yang dilakukan dengan gembira antara anak-anak yang berasal dari 4 desa, lidah api itu kembali muncul dan terbang ke matahari. Kegembiraan mereka mengundang anak-anak lain untuk ikut bermain, tak peduli mereka berasal dari desa yang berbeda. Tanpa mempermasalahkan perbedaan antara mereka, anak-anak itu bersatu dalam kegembiraan. Api-api kecil semakin banyak terbang ke angkasa dan hinggap di matahari.

Cahaya yang mulai tampak dari matahari itu mengejutkan para orang tua dari berbagai desa. Mereka semua keluar rumah untuk mencari tahu sumber api yang terus beterbangan hingga ke matahari. Sang raja lah yang pertama menemukan anak-anak itu, dengan kegembiraan, sang raja kemudian bergabung dengan mereka, ikut menari dan menyanyi sambil bergandengan tangan. Sesekali tangan-tangan mereka saling bertepuk satu sama lain dengan penuh gembira.  Tosh tangan sang raja dengan anak-anak itu menghasilkan api yang lebih besar. Penduduk yang melihat itu kemudian satu persatu ikut bergabung. Mereka melupakan perbedaan dari desa mana mereka berasal, dengan hati gembira mereka menari dalam kebersamaan. Jalinan persatuan yang indah itu kini menghasilkan jutaan lidah api yang terus hinggap dan membakar matahari. Semakin banyak orang yang terlibat, semakin banyak api yang membakar matahari.

Api berkobar-kobar membakar matahari, hingga akhirnya, warna hitam matahari tampak hancur berantakan. Kilau sinarnya kini memancarkan cahaya yang paling terang, lebih terang dari saat-saat sebelumnya. Seluruh penduduk bergembira menyambut kembalinya cahaya matahari. Sang raja tersenyum bahagia, lalu ia berseru kepada seluruh warganya “Wahai penduduk kerajaan Cakrawala, inilah yang dimaksud dalam kitab bahwa api terkuat adalah  api persatuan empat warna yang murni. Empat warna dari Desa Petir, Desa Awan, Desa Pelangi dan Desa Angin. Dengan persatuan kita semua, maka kita berhasil memasak matahari! Kini matahari tak akan kehabisan cahaya lagi selama kita bisa menjaga persatuan keempat desa!”  Seluruh penduduk kerajaan bersorak gembira. Mereka saling meminta maaf karena selama ini mereka saling menyombongkan diri dan bersaing antar desa. Mereka berniat tidak akan berselisih lagi. Mereka berjanji meskipun berbeda-beda, mereka akan bekerja sama dan bersatu. Maka matahari di kerajaan mereka tak pernah lagi kehilangan cahayanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar