Memasak Matahari |
Malida mengucek matanya saat ibu membuka jendela kamar
lebar-lebar. Ia memandang keluar dan mencari-cari bola cahaya yang biasanya
tampak merah berkilauan di ufuk timur. Matahari biasanya tampak indah saat
fajar tiba. Bola berkilau itu terasa tersenyum menyucapkan selamat pagi kepada
Malida saat ia bangun tidur. Tapi hari itu, Malida tak melihat kilau matahari.
Bola besar di langit itu kini tampak kehitaman, hanya ada bercak-bercak kecil
cahaya api yang hampir padam. Matahari tampak sekarat kehilangan cahayanya.
“Ibu… mengapa matahari warnanya hitam begitu?” tanya Malida pada ibunya. Wajah
ibu yang selalu cantik, hari itupun terlihat penuh kekhawatiran, namun ibu
tetap tersenyum, katanya, “Nak…matahari sedang sakit, cahanyanya hampir habis”.
Malida menatap ibunya sambil sesekali melirik matahari, “ Kalau begitu, ayo ibu
kita cari obat untuk matahari, kasihan ia sakit!” Ibu tak menjawab ia hanya
mengangguk sambil tersenyum getir.
Kali ini ketika matahari mulai kehilangan cahanyanya, setiap
desa mengalami masalah yang sama. Tanpa cahaya matahari, tumbuh-tumbuhan mulai
layu dan mati. Tanpa tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan kehabisan rumput, biji dan
daun-daun untuk makanan mereka. Akhirnya juga banyak yang mati. Tanpa tumbuhan dan hewan, pendudukpun mulai
kelaparan. Keadaan itu membuat mereka terus-terusan menggerutu dan saling
menyalahkan pihak lain.
Raja segera mengumpulkan para kepala desa untuk bersama-sama
menyelesaikan masalah. Namun ketika mereka berkumpul dalam sebuah rapat, setiap
kepala desa malah saling menyalahkan desa lain. Kepala Desa Petir adalah orang
pertama yang menyalahkan desa lain,” Yang mulia, ini semua adalah kesalahan Desa
awan! Mereka terus-terusan saja menutupi
matahari dengan mendung mereka. Pasti matahari menjadi marah, lalu sekarang
enggan bersinar!” Mendengar itu, Desa Awan menyanggah, “Yang mulia, kalau mendung
kami terlalu banyak, itu karena desa angin terlalu banyak menerbangkan uap air.
Jadi bukan salah kami kalau mendung terlalu tebal!” Desa angin tak mau
disalahkan, “Itu bukan kesalahan kami. Matahari marah dan berhenti memancarkan
sinarnya karena ulah Desa pelangi! Setiap hari desa pelangi mewarnai langit,
itu membuat matahari merasa tersaingi!” Pernyataan desa angin itu membuat desa
pelangi marah,”Mengapa kau menyalahkan kami? Matahari marah bukan karna kami!
Desa petirlah yang setiap hari mengambil cahaya matahari untuk membuat kilat
petir, makanya cahaya matahari habis!” Ungkapan desa Pelangi yang membuat desa
petir bertambah marah, ia baru saja ingin menyanggah tuduhan desa pelangi,
tetapi raja segera menghentikannya.
“Cukup! Tidak ada gunanya saling menyalahkan. Aku
mengumpulkan kalian di sini untuk meminta kalian bekerja sama antardesa
menyelesaikan masalah bersama!” seru Raja menengahi perselisihan antar desa.
Raja kemudian membuka kitab yang sangat besar. Kitab itu adalah buku yang
berisi ilmu pengetahuan peninggalan nenek moyang tentang berbagai cara
mengatasi masalah-masalah darurat. Setelah membuka beberapa lembar, Raja
menemukan bagian yang membahas penyelesaian masalah jika matahari kehabisan
cahayanya. Setelah diam sejenak, raja kemudian berseru membacakan isi kitab itu
kepada seluruh anggota rapat. “Dalam sejarah kerajaan kita, matahari akan
meredup dan kehilangan cahayanya setiap 1000 tahun sekali. Matahari bisa
mendapatkan cahayanya kembali bila kita bersama –sama memasak matahari” Raja terdiam.
Begitu juga para kepala desa. Mereka tercenung, mereka bingung bagaimana
caranya memasak matahari yang demikian besar di langit. Seberapa besarkah panci
yang harus mereka buat? Sebanyak apa kayu bakar yang harus dikumpulkan?
Bagaimana caranya memasak matahari dalam panci besar di angkasa? Raja kemudian
menemukan kalimat yang tertulis di bagian bawah kitab itu. Raja membacanya
perlahan. “Api terkuat adalah api persatuan empat warna yang murni”.
Setelah membaca itu, raja terdiam mencoba mencerna makna kalimat
itu. Tiba-tiba kepala desa petir berseru,”Yang mulia, di antara empat desa,
hanya desa petirlah yang mampu membuat api yang dibutuhkan, kami memiliki api
petir warna putih dan biru! Desa petir siap menjadi pahlawan yang menyelamatkan
kerajaan!” Belum sempat raja menyahut,
pernyataan kepala desa petir itu telah disanggah oleh kepala desa pelangi,”Hei!
Desa petir, apa kau tidak memperhatikan kalimat terakhir di kitab itu? Api
terkuat adalah api persatuan empat warna yang murni.
Di antara kita semua,
hanya desa pelangi yang memiliki banyak warna! Kau hanya punya api putih dan
biru, itu hanya 2 warna! Bukan 4! Jadi, kamilah yang paling kuat!” Kepala desa
awan pun ikut menimpali,”Ah, desa pelangi, kau hanya punya warna saja tapi tak
bisa buat api, apa hebatnya? Yang dibutuhkan di sini adalah api berwarna! Dan
kau, desa petir, kau akan kesulitan menciptakan petir tanpa awan-awan mendung
kami, kalau bicara soal siapa yang menjadi pahlawan, desa kamilah yang layak
disebut pahlawan!” Desa anginpun tak mau kalah ia segera menyahut,”Desa kalian
semua tidak akan bisa membuat apa-apa kalau tidak ada kami! Anginlah yang
membawa uap air ke angkasa hingga bisa terbentuk awan, karna ada awan maka ada
petir. Kemudian setelah hujan, kami juga yang menebarkan titik-titik air hingga
pelangi bisa terbentuk dari sinar matahari. Jadi, kamilah pahlawan yang
sesungguhnya! Tanpa kami, kalian bukan apa-apa!”
Perdebatan itu kian
berlanjut hingga sang raja harus menghentikan mereka dengan keras. Apapun
nasehat raja, pada akhirnya rapat itu hanya berisi pertentangan tentang siapa
yang terhebat. Raja kemudian membubarkan rapat dan menunda sampai mereka
mengerti untuk bekerja sama.
Hari berlalu, keempat desa tetap tidak bisa diajak untuk
bekerja sama, mereka masih diliputi kesombongan masing-masing dan merasa diri
terhebat. Keadaan itu kian memperparah bencana kelaparan di kerajaan.
Di sebuah taman bermain, seorang anak kecil dari desa petir menangis
karena kelaparan, orang tuanya tak berdaya mencari makanan. Anak itu terlihat
kurus kering dan putus asa. Tiba-tiba seorang anak kecil lain dari desa awan
datang mendekat. Ia kemudian meniupkan kabut tebal di tangannya hingga terbentuk awan di
depan anak dari desa petir. Awan itu perlahan menurunkan hujan yang membasahi
tangan anak desa petir. Air yang murni segar dan menyejukkan. Anak dari desa
petir itu segera meminum air hujan buatan desa awan tersebut. Setelah memenuhi
perutnya dengan air, ia merasa segar dan kemudian tersenyum, katanya, “Terima
kasih… kau dari desa awan ya?” Anak dari
desa awan mengangguk sambil tersenyum. “Iya, namaku Malida, kamu siapa?” Anak
dari desa petir itu merentangkan tangannya, dengan sekali jentikan jari ia
menciptakan petir yang menjalar di kedua tangannya. Cahaya itu indah sekali.
Malida berseru,”Wow..indah sekali petir yang kau buat! Kamu dari desa petir
rupanya..” Anak itu mengangguk, katanya,”Namaku Tarry, ayo kita bermain awan
dan petir!” kata Tarry bersemangat. Malida setuju. Ia kemudian membentuk
beberapa gumpalan awan yang lebih besar, awan itu dibuatnya berwarna putih
bersih dengan sedikit warna abu-abu di dasarnya. Tarry kemudian menciptakan
petir yang melompat ke sana sini di antara awan itu.
Suara percikan listriknya
dan warna kilat yang indah, menarik perhatian seorang anak dari desa pelangi.
Ia kemudian ikut bergabung untuk bermain. Ia menciptakan beberapa lengkung
pelangi di antara awan dan petir. Tarry dan Malida bersorak takjub. “Indah
sekali! Kau pasti dari desa pelangi! Siapa namamu?”, tanya Malida. “Aku Lila!”
jawab anak itu dan kemudian melanjutkan bermain. Tiba-tiba pelangi yang ia buat
meluncur bergerak sendiri bagai ular warna warni. Lila terkejut melihat pelangi
yang ia buat bisa meluncur sendiri. “Hei, aku pinjam pelangimu!” seru seorang
anak yang lain. Ia kemudian menciptakan angin untuk menggerakkan
lengkung-lengkung pelangi itu hingga bisa meluncur menari-nari di antara
awan. “Kau, dari desa angin ya?”, seru
Tarry. “Iya, namaku Mona!”, jawab anak itu.
Keempat anak itu sangat menikmati permainan yang mereka buat,
mereka terus bekerja sama menggabungkan awan, petir, pelangi dan angin hingga
tampak indah dan seru untuk bermain. Suatu ketika, saat mereka berempat saling adu
tosh (have five) sambil bersorak dan bernyanyi mengelilingi hasil karya mereka,
munculah lidah-lidah api dari telapak tangan mereka yang beradu. Api-api kecil
itu kemudian terbang tinggi dan hinggap di matahari yang menghitam. Kobarannya
membuat matahari tampak memiliki cahaya. Anak-anak itu takjub melihat apa yang
terjadi. “Ayo kita coba lagi!” seru Mona. Mereka kembali bernyanyi dan bersorak
lalu adu tosh, dan setiap tosh yang dilakukan dengan gembira antara anak-anak
yang berasal dari 4 desa, lidah api itu kembali muncul dan terbang ke matahari.
Kegembiraan mereka mengundang anak-anak lain untuk ikut bermain, tak peduli
mereka berasal dari desa yang berbeda. Tanpa mempermasalahkan perbedaan antara
mereka, anak-anak itu bersatu dalam kegembiraan. Api-api kecil semakin banyak
terbang ke angkasa dan hinggap di matahari.
Cahaya yang mulai tampak dari matahari itu mengejutkan para
orang tua dari berbagai desa. Mereka semua keluar rumah untuk mencari tahu
sumber api yang terus beterbangan hingga ke matahari. Sang raja lah yang
pertama menemukan anak-anak itu, dengan kegembiraan, sang raja kemudian
bergabung dengan mereka, ikut menari dan menyanyi sambil bergandengan tangan.
Sesekali tangan-tangan mereka saling bertepuk satu sama lain dengan penuh
gembira. Tosh tangan sang raja dengan
anak-anak itu menghasilkan api yang lebih besar. Penduduk yang melihat itu
kemudian satu persatu ikut bergabung. Mereka melupakan perbedaan dari desa mana
mereka berasal, dengan hati gembira mereka menari dalam kebersamaan. Jalinan
persatuan yang indah itu kini menghasilkan jutaan lidah api yang terus hinggap
dan membakar matahari. Semakin banyak orang yang terlibat, semakin banyak api
yang membakar matahari.
Api berkobar-kobar membakar matahari, hingga akhirnya, warna
hitam matahari tampak hancur berantakan. Kilau sinarnya kini memancarkan cahaya
yang paling terang, lebih terang dari saat-saat sebelumnya. Seluruh penduduk
bergembira menyambut kembalinya cahaya matahari. Sang raja tersenyum bahagia,
lalu ia berseru kepada seluruh warganya “Wahai penduduk kerajaan Cakrawala,
inilah yang dimaksud dalam kitab bahwa api terkuat adalah api persatuan empat warna yang murni. Empat
warna dari Desa Petir, Desa Awan, Desa Pelangi dan Desa Angin. Dengan persatuan
kita semua, maka kita berhasil memasak matahari! Kini matahari tak akan
kehabisan cahaya lagi selama kita bisa menjaga persatuan keempat desa!” Seluruh penduduk kerajaan bersorak gembira.
Mereka saling meminta maaf karena selama ini mereka saling menyombongkan diri
dan bersaing antar desa. Mereka berniat tidak akan berselisih lagi. Mereka
berjanji meskipun berbeda-beda, mereka akan bekerja sama dan bersatu. Maka
matahari di kerajaan mereka tak pernah lagi kehilangan cahayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar