Kelinci Hitam |
Empat ekor kelinci putih
berlompatan di sela-sela perdu rumput legetan. Rumput dengan sulur-sulur panjang,
daunnya kemilau bagai berlapis lilin, dan bunga-bunga kecil berwarna kuning
seperti bunga matahari, bertebaran bagai bintang. Pagi itu rumput masih basah
oleh embun, kesegarannya membuat keempat kelinci itu berlomba untuk mengunyah
daun-daunnya yang lezat. Tak jauh dari situ, sepasang mata bulat berwarna
cokelat mengawasi dengan kagum. Keempat kelinci putih itu tampak cantik di
antara siraman mentari pagi. Warna bulunya yang putih terlihat lebih cantik di
tengah-tengah perdu legetan yang hijau mengkilap. Alangkah senangnya menjadi
mereka. Begitu cantik dan lucu. Mengagumkan bagi semua binatang.
“Pergilah bermain dengan
teman-temanmu, nak, hari ini bunga-bunga legetan sedang mekar, bukankah kau
suka rasanya yang manis?”, kata ibunya saat melihat Muku hanya mengintip saja
dari balik jendela rumahnya. Muku tak bergeming, ia hanya memalingkan muka dan
kembali membaca buku yang baru saja ia temukan di gudang ayah. Sebenarnya buku
itu tidak terlalu menarik, tetapi hanya itulah kegiatan yang bisa dia lakukan saat
ini. Muku lebih suka berdiam di rumah sambil sarapan lobak dan wortel yang baru
saja dimasak ibu. Saat ibunya ikut duduk makan, Muku menutup bukunya. “Ibu,
seperti apa rupa ayah?” tanya Muku tiba-tiba. Sejenak ibunya terdiam, mengapa
Muku tiba-tiba menanyakan hal itu. Ibunya tersenyum, dalam hati ia menyimpan
kesedihan karena ayah Muku sudah lama meninggal. Ia tewas karena menyelamatkan
Muku yang masih bayi. Saat itu Muku belum memahami bahaya, ia seenaknya
bermain-main di tengah ilalang tempat para serigala berkeliaran. Untunglah Muku
dapat diselamatkan, tetapi ayahnya terluka parah dan akhirnya meninggal. Ibunya
segera membawa Muku menjauh dari padang ilalang itu dan tinggal di pinggir
hutan tempatnya saat ini. “Ayahmu sangat
tampan nak, ia gagah berani melindungi keluarganya.” Kata ibu kemudian. Muku
bersungut-sungut, “Kalau ayah tampan, mengapa aku jelek sekali?”
Ibu terperanjat mendengar
pernyataan Muku, “Jelek? Siapa yang
bilang kamu jelek, kamu adalah anak ibu yang paling tampan!” kata ibu seraya
mengusap rambut Muku. Muku segera menepis tangan ibu. “Mengapa ibu selalu
bohong? Siapapun yang bertemu denganku selalu memandang dengan aneh seolah-olah
aku ini sebuah kesalahan!” Ibu masih diam dan mencoba memahami maksud putranya.
Kata Muku lagi masih dengan nada jengkel,”Lihat aku ibu! Aku tidak seperti
kelinci yang lain! Bahkan tidak seperti ibu! Ibu berbulu putih, sama dengan yang
lain, dan aku…lihat buluku yang seperti arang. Sudah begitu masih ada noda
cokelat di kepalaku! Dan ini, mataku pucat sangat aneh!”
Ibu masih terdiam. Tangannya meraih sebuah
gelas dan menuangkan susu cokelat kesukaan Muku. Ibu menyodorkan segelas susu
itu dan menunggu Muku meminumnya. Setelah Muku agak tenang barulah ibu
menasehatinya,”Nak, harga diri seekor kelinci, bukan hanya terletak pada
seperti apa rupamu, tetapi lebih pada seperti apa yang kau buat.” Ibu beranjak
dari tempat duduknya dan membawa gelas susu Muku yang sudah kosong. Sambil
mencuci gelas itu di washtafel, ibu kembali bercerita,”Ayahmu berbulu hitam
legam sepertimu, dengan mata cokelat pucat yang sama dengan matamu, di
kepalanya juga tumbuh bulu cokelat yang lebih panjang dari bulumu. Tetapi
ayahmu seorang periang dan ramah. Ia juga selalu membantu siapapun. Semua
binatang menyukainya. Ia tak pernah merisaukan
warna bulunya. Karena baginya, tampan bukan terletak pada seperti apa rupamu,
tetapi apa yang kaubuat.”
Ibu kemudian meninggalkan Muku
untuk berkebun di belakang rumah. Muku diam terpaku menatap tumpukan lobak dan
wortel yang belum dihabiskannya. Ia kembali mengulangi kata-kata ibu tentang
prinsip ayah bahwa tampan bukan terletak pada seperti apa rupamu, tetapi apa
yang kaubuat. Muku terus mengulangi kata-kata itu dan berusaha keras memahami
maknanya. Belum lama berselang, terdengar suara ribut di luar rumahnya.
“Tolong…tolong…anakku terjebak banjir!” teriak seorang ibu kelinci sambil
berlarian ke sana ke mari. Rupanya itu adalah ibu dari salah satu anak kelinci
putih yang dilihat Muku tadi pagi. Anak-anak kelinci itu bermain terlalu jauh
hingga menyeberangi sungai. Ada sebuah delta kecil di tengah sungai. Di sana
tumbuh rumput-rumput odot yang rimbun dan lezat. Namun, bila hujan turun di
bagian hulu, sungai itu akan mendadak banjir tanpa peringatan. Siapapun bisa
terjebak di tengah delta dan bila banjir meluap, mereka bisa terseret
arus.
Melihat para bapak kelinci
berlompatan ke arah sungai, Muku tergerak untuk ikut melihat keadaan. Dengan
kakinya yang panjang itu, Muku bisa melompat tinggi hingga mendahului para
bapak kelinci yang bergegas ke sungai. Dua anak kelinci masih terjebak di
delta, mereka menangis ketakutan karena air banjir mulai meninggi dan hampir
menenggelamkan delta. “Cari kayu untuk jembatan ke delta! Kita tidak mungkin
bisa melompat selebar ini sampai ke delta, airnya sudah naik! Cepat cari
jembatan!” teriak seorang bapak kelinci. Mereka berlarian ke sana ke mari
mencari ranting-ranting, namun sayang, tidak ada ranting yang cukup panjang
yang bisa menjangkau delta. “Aku akan mengambil kapak untuk menebang pohon!”
seru bapak kelinci yang lain. Air sungai makin meninggi, dua anak kelinci yang
terjebak makin ketakutan karena air mulai menjangkau kaki mereka. “Ini gawat
sekali…waktunya tidak cukup untuk menebang pohon, oh..apa yang harus kita
lakukan!” kata bapak kelinci yang hendak mengambil kapak tadi. Gemuruh air dari
arah hulu terdengar keras, air banjir yang datang tampak tinggi
bergulung-gulung. Semua kelinci terkesiap, mereka terdiam mematung sambil
menahan nafas, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Air itu datang demikian
cepat tanpa sempat kelinci-kelinci itu membuat jembatan. Nyawa dua anak kelinci
itu benar-benar dalam bahaya. Pemandangan mengerikan itu membuat ibu kelinci
semakin keras menangis, ia tak sanggup melihat anaknya tergulung air sungai.
Di saat semua kelinci diam
terpaku menahan nafas, tiba-tiba sebuah bayangan hitam melompat tinggi melewati
sungai seolah terbang menuju delta. Dengan cepat, dua anak kelinci itu
ditangkapnya dan ia kembali melompat tinggi membawa dua kelinci itu kembali ke
tepi sungai tempat ibunya berada. Tepat ketika bayangan itu membawa anak
kelinci meninggalkan delta, gulungan air sungai itu menenggelamkan delta. Air
berwarna cokelat pekat bercampur ranting-ranting pohon, mengalir deras
menghanyutkan apapun. Tak terbayang bila dua kelinci itu masih ada di delta,
pasti akan tergulung air dan terseret arus deras.
“Ibu….!” Teriak dua anak
kelinci yang selamat berlari memeluk ibunya. “Syukurlah kau selamat nak!” seru ibunya sambil menangis bahagia. Semua
orang merasa lega, mata mereka kemudian tertuju pada bayangan hitam yang
menyelamatkan dua anak kelinci itu. Muku…dialah bayangan hitam tadi yang
berhasil melompati sungai yang lebar dalam sekali hentakan kakinya yang panjang.
Badannya yang besar, sanggup mengangkat dua anak kelinci sekaligus. Muku merasa
kikuk ketika semua orang memandang ke arahnya, “Mereka pasti sedang mengamati
jeleknya mukaku”, batin Muku dalam hati. Ia mundur beberapa langkah dan hendak
pergi meninggalkan semua orang.
Tiba-tiba, kelinci kepala desa
bertepuk tangan. Suara tepukan itu demikian mantap sambil memandang dengan
sorot mata kekaguman. Kelinci yang lain kemudian ikut bertepuk tangan, hingga
semua kelinci di situ bertepuk tangan. Mereka mendekati Muku dan bersorak
memuji keberhasilan Muku menyelamatkan dua anak kelinci. “Kau hebat seperti
ayahmu, Muku! Kau hebat!, Terima kasih!” kata kelinci kepala desa. Ibu kelinci
dan anak-anaknya segera menghampiri Muku, mereka memeluk Muku sambil berterima
kasih. “Kau, kelinci paling keren di desa ini! Lompatanmu tinggi sekali! Ajari
aku melompat sepertimu!” seru salah satu anak kelinci yang diselamatkan tadi.
Banyak orang yang kemudian mendekati Muku untuk bersalaman memuji kehebatannya
dalam menyelamatkan dua kelinci.
Sejak hari itu, kehidupan Muku
berubah, tiba-tiba saja ia menjadi kelinci terkenal di desa. Banyak anak
kelinci yang kemudian mewarnai bulu mereka dengan arang agar berwarna seperti
Muku. Mereka juga memanjangkan bulu kepala mereka dan mengoleskan getah pohon
agar berwarna cokelat seperti Muku. Mereka bilang, itulah penampilan paling
keren dan disebut tampan saat itu.
Pagi itu, Muku menikmati labu
kuning masakan ibu. Sepiring bunga legetan kuning yang manis menjadi cemilan
pendamping. Saat ibu duduk di hadapan Muku dan ikut makan, Muku tersenyum
memperhatikan ibunya. “Ibu…terima kasih nasehat ibu saat itu, sekarang aku
mengerti apa artinya tampan yang sesungguhnya.” Kata Muku. Ibunya tersenyum,
“Oh, ya? Apa kau sekarang merasa tampan dengan bulu hitammu?” Muku tersenyum,
matanya melirik foto ayah yang berbulu hitam. Kelinci jantan itu memang
terlihat tampan dengan senyum ramahnya. “Tampan itu, bukan perkara seperti apa
rupamu atau apa warna bulumu, tapi tampan yang sesungguhnya adalah seberapa baik
kita membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitar kita”, kata Muku dengan
mantap. Ibu tersenyum lebar mendengar pernyataan Muku, ibu bangkit untuk
mencium rambut putranya, “Sekarang, kau benar-benar mirip ayahmu…kau tampan
sekali!” Muku tertawa, dalam hati ia merasa bangga menjadi kelinci hitam
seperti ayahnya yang tampan. “Terima kasih ayah,” bisik Muku dalam hati sambil
memandang foto ayahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar