Kamis, 09 April 2020

Kelinci Hitam


Cerita Bijak
Kelinci Hitam


Empat ekor kelinci putih berlompatan di sela-sela perdu rumput legetan. Rumput dengan sulur-sulur panjang, daunnya kemilau bagai berlapis lilin, dan bunga-bunga kecil berwarna kuning seperti bunga matahari, bertebaran bagai bintang. Pagi itu rumput masih basah oleh embun, kesegarannya membuat keempat kelinci itu berlomba untuk mengunyah daun-daunnya yang lezat. Tak jauh dari situ, sepasang mata bulat berwarna cokelat mengawasi dengan kagum. Keempat kelinci putih itu tampak cantik di antara siraman mentari pagi. Warna bulunya yang putih terlihat lebih cantik di tengah-tengah perdu legetan yang hijau mengkilap. Alangkah senangnya menjadi mereka. Begitu cantik dan lucu. Mengagumkan bagi semua binatang.
Mata cokelat yang mengawasi itu adalah milik seekor kelinci berbulu hitam legam dengan bercak cokelat di kepalanya. Kelinci yang aneh, kata semua binatang yang pernah melihatnya. Warna bulu hitamnya tampak menyeramkan ketika ia tiba-tiba datang dengan lompatan yang tinggi. Mata cokelatnya menambah lebih aneh karena tampak lebih pucat dari bulunya. Kaki belakangnya panjang, lebih panjang dari kelinci yang lain, karena itulah, ia tak bisa melompat rendah. Muku, itulah nama kelinci hitam bertungkai panjang. Ia tumbuh menjadi kelinci pemalu karena merasa dirinya aneh dan jelek. Ia lebih suka menyendiri dan tidak mau bergabung dengan binatang lain. Muku selalu merasa malu ketika semua binatang yang berjumpa dengannya mengatakan bahwa dirinya adalah kelinci aneh.

“Pergilah bermain dengan teman-temanmu, nak, hari ini bunga-bunga legetan sedang mekar, bukankah kau suka rasanya yang manis?”, kata ibunya saat melihat Muku hanya mengintip saja dari balik jendela rumahnya. Muku tak bergeming, ia hanya memalingkan muka dan kembali membaca buku yang baru saja ia temukan di gudang ayah. Sebenarnya buku itu tidak terlalu menarik, tetapi hanya itulah kegiatan yang bisa dia lakukan saat ini. Muku lebih suka berdiam di rumah sambil sarapan lobak dan wortel yang baru saja dimasak ibu. Saat ibunya ikut duduk makan, Muku menutup bukunya. “Ibu, seperti apa rupa ayah?” tanya Muku tiba-tiba. Sejenak ibunya terdiam, mengapa Muku tiba-tiba menanyakan hal itu. Ibunya tersenyum, dalam hati ia menyimpan kesedihan karena ayah Muku sudah lama meninggal. Ia tewas karena menyelamatkan Muku yang masih bayi. Saat itu Muku belum memahami bahaya, ia seenaknya bermain-main di tengah ilalang tempat para serigala berkeliaran. Untunglah Muku dapat diselamatkan, tetapi ayahnya terluka parah dan akhirnya meninggal. Ibunya segera membawa Muku menjauh dari padang ilalang itu dan tinggal di pinggir hutan tempatnya saat ini.  “Ayahmu sangat tampan nak, ia gagah berani melindungi keluarganya.” Kata ibu kemudian. Muku bersungut-sungut, “Kalau ayah tampan, mengapa aku jelek sekali?”

Ibu terperanjat mendengar pernyataan Muku,  “Jelek? Siapa yang bilang kamu jelek, kamu adalah anak ibu yang paling tampan!” kata ibu seraya mengusap rambut Muku. Muku segera menepis tangan ibu. “Mengapa ibu selalu bohong? Siapapun yang bertemu denganku selalu memandang dengan aneh seolah-olah aku ini sebuah kesalahan!” Ibu masih diam dan mencoba memahami maksud putranya. Kata Muku lagi masih dengan nada jengkel,”Lihat aku ibu! Aku tidak seperti kelinci yang lain! Bahkan tidak seperti ibu! Ibu berbulu putih, sama dengan yang lain, dan aku…lihat buluku yang seperti arang. Sudah begitu masih ada noda cokelat di kepalaku! Dan ini, mataku pucat sangat aneh!”

Ibu masih terdiam. Tangannya meraih sebuah gelas dan menuangkan susu cokelat kesukaan Muku. Ibu menyodorkan segelas susu itu dan menunggu Muku meminumnya. Setelah Muku agak tenang barulah ibu menasehatinya,”Nak, harga diri seekor kelinci, bukan hanya terletak pada seperti apa rupamu, tetapi lebih pada seperti apa yang kau buat.” Ibu beranjak dari tempat duduknya dan membawa gelas susu Muku yang sudah kosong. Sambil mencuci gelas itu di washtafel, ibu kembali bercerita,”Ayahmu berbulu hitam legam sepertimu, dengan mata cokelat pucat yang sama dengan matamu, di kepalanya juga tumbuh bulu cokelat yang lebih panjang dari bulumu. Tetapi ayahmu seorang periang dan ramah. Ia juga selalu membantu siapapun. Semua binatang menyukainya.  Ia tak pernah merisaukan warna bulunya. Karena baginya, tampan bukan terletak pada seperti apa rupamu, tetapi apa yang kaubuat.”

Ibu kemudian meninggalkan Muku untuk berkebun di belakang rumah. Muku diam terpaku menatap tumpukan lobak dan wortel yang belum dihabiskannya. Ia kembali mengulangi kata-kata ibu tentang prinsip ayah bahwa tampan bukan terletak pada seperti apa rupamu, tetapi apa yang kaubuat. Muku terus mengulangi kata-kata itu dan berusaha keras memahami maknanya. Belum lama berselang, terdengar suara ribut di luar rumahnya. “Tolong…tolong…anakku terjebak banjir!” teriak seorang ibu kelinci sambil berlarian ke sana ke mari. Rupanya itu adalah ibu dari salah satu anak kelinci putih yang dilihat Muku tadi pagi. Anak-anak kelinci itu bermain terlalu jauh hingga menyeberangi sungai. Ada sebuah delta kecil di tengah sungai. Di sana tumbuh rumput-rumput odot yang rimbun dan lezat. Namun, bila hujan turun di bagian hulu, sungai itu akan mendadak banjir tanpa peringatan. Siapapun bisa terjebak di tengah delta dan bila banjir meluap, mereka bisa terseret arus. 

Melihat para bapak kelinci berlompatan ke arah sungai, Muku tergerak untuk ikut melihat keadaan. Dengan kakinya yang panjang itu, Muku bisa melompat tinggi hingga mendahului para bapak kelinci yang bergegas ke sungai. Dua anak kelinci masih terjebak di delta, mereka menangis ketakutan karena air banjir mulai meninggi dan hampir menenggelamkan delta. “Cari kayu untuk jembatan ke delta! Kita tidak mungkin bisa melompat selebar ini sampai ke delta, airnya sudah naik! Cepat cari jembatan!” teriak seorang bapak kelinci. Mereka berlarian ke sana ke mari mencari ranting-ranting, namun sayang, tidak ada ranting yang cukup panjang yang bisa menjangkau delta. “Aku akan mengambil kapak untuk menebang pohon!” seru bapak kelinci yang lain. Air sungai makin meninggi, dua anak kelinci yang terjebak makin ketakutan karena air mulai menjangkau kaki mereka. “Ini gawat sekali…waktunya tidak cukup untuk menebang pohon, oh..apa yang harus kita lakukan!” kata bapak kelinci yang hendak mengambil kapak tadi. Gemuruh air dari arah hulu terdengar keras, air banjir yang datang tampak tinggi bergulung-gulung. Semua kelinci terkesiap, mereka terdiam mematung sambil menahan nafas, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Air itu datang demikian cepat tanpa sempat kelinci-kelinci itu membuat jembatan. Nyawa dua anak kelinci itu benar-benar dalam bahaya. Pemandangan mengerikan itu membuat ibu kelinci semakin keras menangis, ia tak sanggup melihat anaknya tergulung air sungai.

Di saat semua kelinci diam terpaku menahan nafas, tiba-tiba sebuah bayangan hitam melompat tinggi melewati sungai seolah terbang menuju delta. Dengan cepat, dua anak kelinci itu ditangkapnya dan ia kembali melompat tinggi membawa dua kelinci itu kembali ke tepi sungai tempat ibunya berada. Tepat ketika bayangan itu membawa anak kelinci meninggalkan delta, gulungan air sungai itu menenggelamkan delta. Air berwarna cokelat pekat bercampur ranting-ranting pohon, mengalir deras menghanyutkan apapun. Tak terbayang bila dua kelinci itu masih ada di delta, pasti akan tergulung air dan terseret arus deras.

“Ibu….!” Teriak dua anak kelinci yang selamat berlari memeluk ibunya. “Syukurlah kau selamat nak!”  seru ibunya sambil menangis bahagia. Semua orang merasa lega, mata mereka kemudian tertuju pada bayangan hitam yang menyelamatkan dua anak kelinci itu. Muku…dialah bayangan hitam tadi yang berhasil melompati sungai yang lebar dalam sekali hentakan kakinya yang panjang. Badannya yang besar, sanggup mengangkat dua anak kelinci sekaligus. Muku merasa kikuk ketika semua orang memandang ke arahnya, “Mereka pasti sedang mengamati jeleknya mukaku”, batin Muku dalam hati. Ia mundur beberapa langkah dan hendak pergi meninggalkan semua orang.

Tiba-tiba, kelinci kepala desa bertepuk tangan. Suara tepukan itu demikian mantap sambil memandang dengan sorot mata kekaguman. Kelinci yang lain kemudian ikut bertepuk tangan, hingga semua kelinci di situ bertepuk tangan. Mereka mendekati Muku dan bersorak memuji keberhasilan Muku menyelamatkan dua anak kelinci. “Kau hebat seperti ayahmu, Muku! Kau hebat!, Terima kasih!” kata kelinci kepala desa. Ibu kelinci dan anak-anaknya segera menghampiri Muku, mereka memeluk Muku sambil berterima kasih. “Kau, kelinci paling keren di desa ini! Lompatanmu tinggi sekali! Ajari aku melompat sepertimu!” seru salah satu anak kelinci yang diselamatkan tadi. Banyak orang yang kemudian mendekati Muku untuk bersalaman memuji kehebatannya dalam menyelamatkan dua kelinci.

Sejak hari itu, kehidupan Muku berubah, tiba-tiba saja ia menjadi kelinci terkenal di desa. Banyak anak kelinci yang kemudian mewarnai bulu mereka dengan arang agar berwarna seperti Muku. Mereka juga memanjangkan bulu kepala mereka dan mengoleskan getah pohon agar berwarna cokelat seperti Muku. Mereka bilang, itulah penampilan paling keren dan disebut tampan saat itu.

Pagi itu, Muku menikmati labu kuning masakan ibu. Sepiring bunga legetan kuning yang manis menjadi cemilan pendamping. Saat ibu duduk di hadapan Muku dan ikut makan, Muku tersenyum memperhatikan ibunya. “Ibu…terima kasih nasehat ibu saat itu, sekarang aku mengerti apa artinya tampan yang sesungguhnya.” Kata Muku. Ibunya tersenyum, “Oh, ya? Apa kau sekarang merasa tampan dengan bulu hitammu?” Muku tersenyum, matanya melirik foto ayah yang berbulu hitam. Kelinci jantan itu memang terlihat tampan dengan senyum ramahnya. “Tampan itu, bukan perkara seperti apa rupamu atau apa warna bulumu, tapi tampan yang sesungguhnya adalah seberapa baik kita membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitar kita”, kata Muku dengan mantap. Ibu tersenyum lebar mendengar pernyataan Muku, ibu bangkit untuk mencium rambut putranya, “Sekarang, kau benar-benar mirip ayahmu…kau tampan sekali!” Muku tertawa, dalam hati ia merasa bangga menjadi kelinci hitam seperti ayahnya yang tampan. “Terima kasih ayah,” bisik Muku dalam hati sambil memandang foto ayahnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar