Monster lumpur |
Hitam,
encer, lengket, bau, jorok, menjijikkan, semua ciri itu ada pada Lendot, Si
Monster Lumpur. Ia terlahir dari lumpur rawa Krewet. Rawa Krewet terkenal
berbahaya semenjak peristiwa hilangnya makhluk hidup yang diduga ditelan lumpur
rawa itu. Sapi Pak Parto yang pergi minum ke sana tiba-tiba lenyap setelah
terdengar teriakan suara,”Moooo!” yang keras. Si Panjul, pemuda desa yang
biasanya pergi ke rawa mencari ikan tiba-tiba tak pernah pulang ke desa. Ada seorang warga yang mengaku melihat sosok
makhluk yang tinggi besar tiba-tiba keluar dari rawa itu. Bentuknya seperti
Lumpur yang bangkit dari dasar rawa. Penduduk kemudian menduga bahwa hilangnya
sapi Pak Parto dan Si Panjul merupakan perbuatan monster rawa itu. Warga Desa
kemudian menyebut monster itu dengan nama Lendot yang artinya adalah lumpur.
Kisah
hilangnya sapi dan si Panjul membuat warga desa takut mendekati Rawa Krewet. Tak
seorangpun yang berani mencari tahu kebenaran adanya monster itu. Cerita-cerita
adanya korban semakin menjadi perbincangan hingga meluas ke warga desa lain. Demi
keselamatan warga, mereka kemudian membuat peraturan yang melarang siapapun
untuk mendekati Rawa Krewet.
Salah
satu anak di desa tersebut tak pernah mendengar berita berbahayanya Rawa Krewet.
Ia tuli sejak lahir. Kedua telinganya tak dapat mendengar apapun termasuk semua
cerita korban-korban Monster Lendot. Anak itu bernama Gundul. Ia seorang anak
laki-laki kecil, kurus dan botak. Matanya lebar dan tajam menyiratkan
kepandaian. Namun, tidak banyak teman-teman yang mau bermain denganya karena Gundul
sulit berbicara dan mendengar sehingga mereka sulit memahami satu sama lain.
Gundul selalu membawa kertas dan alat tulis untuk bisa berbicara dengan orang
lain. Tetapi cara itu merepotkan
sehingga anak-anak sebayanya jarang bermain dengan Gundul. Jadilah Gundul
selalu bermain sendiri, ia banyak menghabiskan waktunya untuk memancing ikan di
rawa ataupun mencari belut di pematang.
Seperti
biasanya, Gundul berjalan menyusuri pinggir Rawa Krewet untuk memancing. Hari itu rawa
terlihat sepi. Tak satupun orang pergi menangkap ikan ataupun memancing. Gundul
sempat keheranan, kemanakah orang-orang desa pergi hari itu. Biasanya mereka
menjaring ikan atau memancing di rawa. Beberapa ibu sering terlihat memetik
sayur kangkung, namun tidak satupun terlihat di hari itu. Hari berikutnya
maupun berhari-hari selanjutnya, Gundul
tetap sendirian di Rawa Krewet. Keadaan ini membuat Gundul penasaran. Ia
mengira apakah waga desa diam-diam menangkap ikan di malam hari karena enggan
bertemu dengannya? Bagi Gundul, ia sudah biasa menghadapi warga desa yang tidak
mau dekat dengannya karena cacat tuli yang ia derita. Gundul tak pernah
mengeluh dengan perlakuan mereka, ia tak pernah bersedih dengan sikap orang
-orang di sekitarnya yang seolah menolak
kehadirannya.
Gundul
semakin penasaran, akhirnya Gundul menemui salah sorang kakek yang biasa ia
bagi ikan hasil tangkapannya. Kakek itu sudah renta dan hidup sendirian.
Anak-anaknya pergi keluar kota untuk bekerja, kakek itulah yang selama ini mau
mengobrol dengan Gundul. Kakek itu menjelaskan dengan singkat tentang
keberadaan monster lumpur yang sudah menelan korban. Ia juga berpesan agar
Gundul tidak mendekati Rawa Krewet lagi. Gundul tertegun, sampai kapan warga
desa tak dapat pergi ke rawa? Rawa itu selama ini sudah menjadi sumber
kehidupan warga. Airnya sangat penting untuk pertanian, ikan-ikan menjadi
sumber penghasilan sampingan, bahkan sayur-sayuran air ikut mendukung kehidupan
warga. Gundul merasa kasihan dengan warga. Maka ia bertekad untuk menemui
monster itu supaya mau berbagi rawa untuk warga kampung.
Malam
itu, Gundul kembali pergi ke Rawa Krewet, ia ingin membuktikan cerita warga
tentang monster lumpur itu. Gundul
mengendap-endap dan bersembunyi di semak-semak. Matanya yang lebar dan tajam terus
mengawasi rawa. Lama ia berdiam di situ dalam kegelapan. Langit tampak hitam
kebiruan, beberapa bintang besar tampak masih bersinar, sedang bintang-bintang
kecil tak mampu menembuskan sinarnya ke arah awan-awan tipis yang mulai
berarak. Tepat di atas pohon beringin, pohon terbesar di rawa itu, bulan yang
masih separuh memaparkan cahayanya yang temaram. Sinarnya tak cukup mengusir
kegelapan, bayang-bayang gumpalan awan
terus menghalanginya menyentuh bumi.
Malam
merambat kian larut, sepi menyergap, hanya suara jangkrik dan katak yang masih
memainkan musik alam. Sesekali suara burung hantu mengacaukan irama menjadi
menyeramkan. Gundul baru saja hendak beranjak dari persembunyiannya, tiba-tiba,
air rawa tampak bergolak. Gelombang-gelombang air tampak memecah di tengah
danau. Semakin lama gelombang itu semakin tinggi, dan dari tengah gelombang air
itu, munculah sesosok hitam besar menyembul keluar dari air. Bentuknya tak
karuan, namun tampak di sana seraut wajah menyeramkan dengan mulut lebar dan
mata merah. Bentuknya yang seperti terbuat dari bubur lengket berwarna hitam
itu muncul dari dalam air dan semakin besar. Seandainya Gundul dapat mendengar,
suaranya menggeram sangat menyeramkan. Untunglah Gundul tak dapat mendengar,
hingga ia tak takut dengan suara geraman menyeramkan itu. Gundul semakin tajam
mengawasi. Makhluk besar itu membelah air rawa menuju persawahan.
Gundul
segera keluar dari persembunyian, ia berlari mengejar monster itu dan
menghentikannya dengan berteriak, “ Be’enti!” (Berhenti!”) Monster Lendot
terkejut mendengar ada suara manusia yang pengucapannya tak jelas menghentikannya,
padahal ia sudah berhati-hati mengamati sekitar rawa yang sangat sepi. Sepintas
kemudian terpikir olehnya untuk menakuti manusia itu, ia berbalik dengan cepat
sambil mengeluarkan geraman keras menyeramkan, “Heeerrrrrrmh….!!” Dengan
geraman itu, Monster Lendot berharap melihat manusia itu gemetar ketakutan dan
lari tunggang langgang meninggalkannya….tapi……begitu Monster Lendot berbalik ke
arah manusia itu, tiba-tiba, ….”Haaaaaaaaaahg!!!, teriak Monster Lendot
ketakutan setengah mati. Betapa terkejutnya Monster Lendot melihat manusia itu,
kecil kurus, mata lebar dan kepala botak tanpa rambut sehelaipun, kepala itu
tampak mengkilap memantulkan cahaya bulan hingga terlihat putih pucat…….,
“Tuyuuuul…!!!” teriak monster Lendot hendak melarikan diri. Membaca bibir
monster saat berteriak, Gundul sempat menangkap arti gerak bibir itu mengatakan
tuyul, Gundul ikut terkejut, ia berlari mengikuti Monster Lendot. Beberapa saat
mereka berlari sambil berteriak ketakutan. Monster Lendot sesekali menengok ke
belakang, ia melihat sosok anak kecil botak kurus itu terus mengikutinya dan
membuatnya takut,, ia berlari lebih cepat lagi. Sementara itu, Gundul yang
melihat monster itu lari kencang, ikut mempercepat langkahnya karena
mengira tuyul yang ditakuti monster itu
mengejar mereka lebih cepat. Setelah mereka berdua berlarian agak jauh dan
kelelahan, Gundul mulai menyadari ada yang salah dengan kelakuan mereka berdua.
Monster itu pasti takut padanya yang dikira sebagai Tuyul. “Oi,
Tun-gu…be’enti…!!” (“Oi, tunggu, berhenti!”).
Sejenak monster itu ragu, tapi karena kelelahan, iapun memperlambat
langkahnya. “Ak-u butan Tu-ul!” (Aku bukan tuyul), kata Gundul berusaha
meyakinkan bahwa dirinya bukan Tuyul. Gundul memperkenalkan dirinya sebagai
manusia yang bernama Gundul. Monster Lendot menghentikan langkah, iapun
memperkenalkan diri, “Namaku Lendot, begitulah masyarakat menamaiku. ” Gundul
memperhatikan gerak bibir monster itu dengan seksama. Cukup sulit baginya untuk
menangkap kata-kata dari gerak bibir yang tidak biasa itu. Bibir yang
berlepotan dengan cairan lumpur. Bibir yang bentuknya terlalu lebar dan
bergerak ke sana kemari saat berbicara. Ditambah lagi cahaya bulan yang redup
tidak cukup menerangi supaya bisa terlihat dengan jelas. Gundul meminta monster
itu mengulangi kata-katanya hingga ia memahami perkataan monster itu.
Mereka
kemudian berbincang-bincang cukup lama. Butuh kalimat berulang-ulang bagi
mereka untuk bisa memahami satu sama lain. Gundul menceritakan maksud
kedatangannya untuk membuktikan apakah benar Monster Lendot yang telah memakan
korban seekor sapi dan manusia bernama Panjul. Monster Lendot terkejut, ia
sedih mengapa manusia hanya melihat wujudnya saja yang tampak buruk untuk
menilai dirinya dan menganggapnya sebagai makhluk jahat. Mereka bahkan dengan
mudah menuduh Monster Lendot yang membunuh sapi dan manusia itu. Padahal,
dirinya yang tampak buruk dan menjijikkan itu sebenarnya setiap malam muncul ke
permukaan membawa banyak lumpur dari dasar rawa untuk diletakkan di petak-petak
sawah peatni. Sawah itu sering terkena banjir yang menghanyutkan lapisan lumpur
yang subur. Monster Lendot merasa kasihan dengan petani karena panen mereka
selalu tidak baik. Monster Lendot ingin membantu secara terang-terangan, tetapi
semua manusia takut padanya. Karena itulah, Monster Lendot membantu manusia
dengan diam-diam menambakan lumpur subur ke pematang sawah. Ia melakukan itu
setiap malam saat para petani sudah tidur.
Melihat
ketulusan wajah Monster itu, Gundul merasa yakin bahwa monster Lendot berkata benar. Tapi tuduhan masyarakat itu tidak bisa
dihentikan begitu saja. Karena itulah, mereka berdua kemudian menyusun rencana
untuk mengumpulkan bukti bahwa Monster Lendot tidak memakan korban sapi ataupun
Panjul. Gundul kemudian menggambar wajah Panjul. Dengan kepandaiananya
menggambar, Gundul berhasil menggambar wajah Panjul yang bisa dikenali Monster
Lendot. “Ah! Pria itu yang bernama Panjul?” Monster Lendot kemudian menjelaskan
bahwa ia pernah melihat Panjul di sebuah rumah gubug di dalam hutan hulu sungai.
Ia hidup dengan beberapa orang yang tampak garang di sana. Terakhir kali
Monster Lendot melihat Panjul menuntun seekor sapi gemuk ke arah gubug itu.
Gundul
penasaran dengan cerita Monster Lendot yang dapat dipahaminya dengan susah
payah. Mereka kemudian menuju gubuk yang dimaksud monster itu. “Naiklah ke
punggungku, aku akan membawamu melewati sungai agar kita dapat cepat sampai ke
sana!” kata Monster Lendot. Gundul mengira-ngira maksud yang diisyaratkan
Monster Lendot. Ia segera naik ke punggung monster yang lengket itu. Dengan
cepat monster berubah bentuk dan membawa Gundul mengambang di atas sungai.
Gerakannya cepat sekali sampai Gundul kedinginan oleh terpaan angin malam.
Kepalanya yang tak berambut terasa kedinginan bagai ditusuk jarum. Gundul
menahan dingin demi mendapatkan kebenaran tentang Panjul.
Tak
lama kemudian, sampailah mereka di gubuk yang dimaksud. Gubug itu kecil berdinding
anyaman bambu, atapnya semrawut dari daun rumbia kering. Tiang-tiangnya sudah reyot,
kumuh dan gelap. Gundul mengendap-endap
mengintip ke dalam dinding anyaman itu. Tampaknya sepi, hanya sebuah lampu
minyak yang bertengger di atas almari kecil yang menerangi ruangannya. Di sisi
pintu, ada 2 orang tidur di atas bale-bale bambu. Yang seorang badannya tinggi
besar dengan tato di sana sini hampir memenuhi seluruh tangannya. Mukanya galak
dengan kumis tebal dan brewokan. Yang seorang lagi bertubuh pendek dengan perut
yang sangat gembul. Ia mendengkur keras sekali. Di pojok ruangan, ada sesorang
lagi yang tidur meringkuk di atas kursi. Badannya kurus dengan rambut ikal
berantakan. Itu Panjul. Gundul penasaran, apa yang dilakukan Panjul di tempat
seperti ini.
Tiba-tiba
ayam berkokok pertanda fajar mulai menyingsing. Panjul tampak bergerak, dengan
sempoyongan ia berjalan menuju belakang rumah. Gundul segera melompat ke balik
semak-semak dan sembunyi. Panjul berjalan mendekatinya dengan mata setengah
tertutup karena mengantuk. Detik berikutnya Gundul terperanjat, Panjul berdiri
tepat di depannya untuk pipis. Panjul tidak menyadari bahwa ada orang di balik
semak-semak itu. Ia dengan tenang menyelesaikan pipisnya tanpa curiga apapun.
Gundul menutup hidungnya rapat-rapat. Ia masih bersyukur tidak tersiram pipis
Panjul yang sangat dekat dengan tempatnya bersembunyi. Tapi…bau pipis Panjul
ini sangat menyengat, kelihatannya semalam Panjul makan jengkol atau pete.
Gundul hampir muntah tetapi ditahannya. Ia sedikit bergeser ke balik pohon
besar tanpa diketahui Panjul yang mulai sibuk memasak di dapur terbuka itu.
Tak
lama kemudian, tampak kedua penghuni gubuk yang lain bangun. Mereka tampak
galak kepada Panjul, berteriak-teriak dan mendorong Panjul. Dari gerak bibir
mereka, Gundul menduga bahwa ke dua orang itu minta makan dan dilayani oleh
Panjul. Panjul tampak patuh dan ketakutan. Mengertilah Gundul sekarang, Panjul
sepertinya menjadi tawanan mereka. Gundul terus mengintip memperhatikan mereka.
Ketika
kedua orang itu meninggalkan gubuk, Gundul segera menemui Panjul. Panjul
terkejut bukan main, tetapi kemudian ia tidak menolak ketika Gundul membawanya
pergi. Panjul bukan anak ynag pandai, bahkan orang bilang otaknya kurang
separuh, karena itulah ia selalu mematuhi siapapun yang memerintahnya. Gundul
membawanya lari meninggalkan gubuk itu. Sayang sekali, Monster Lendot tak dapat
membawa mereka melalui sungai. Saat matahari telah terbit dan mengusir
kegelapan, Monster Lendot akan segera bersembunyi di dasar rawa. Monster itu
meskipun tampak mengerikan, ia memiliki hati yang lembut dan baik. Ia
bersembunyi kerena tak ingin menakuti penduduk desa.
Dengan
terengah-engah dan kelelahan, sampailah Gundul dan Panjul ke desa. Penduduk
desa yang melihat Panjul terkejut melihatnya masih hidup. Beberapa orang pingsan ketakutan mengira Panjul adalah
hantu yang gentayangan penasaran menuntut kematiannya. Gundul segera membawa
Panjul kepada Kepala Desa. Beberapa orang ikut mengerumuninya. Dengan
terbata-bata ketakutan, Panjul menceritkan kisahnya kepada Kepala Desa.
Suaut
hari, Panjul didatangi oleh dua orang jahat yang dilihat Gundul berada di gubuk
semalam. Kedua orang itu mengancam Panjul akan mencelakai ibunya kalau Panjul
tidak menuruti perintah mereka. Panjul disuruh mencuri sapi pak Parto dan
membawanya ke dalam hutan yang sudah ditunjukkan. Sapi itu kemudian dijual dan
uangnya mereka gunakan untuk berfoya-foya. Tetapi Panjul tidak dilepaskan, ia
disuruh menjadi penjaga gubuk itu dan menjadi pelayan mereka. Panjul juga
sering disuruh mencuri ayam atau kambing penduduk di desa sebelah. Setiap kali
Panjul menolak, mereka mengancam kembali akan mencelakai ibunya. Panjul
akhirnya selalu menuruti perintah mereka.
Penduduk
Desa yang mendengar itu merasa sangat geram. Mereka kemudian melaporkan
kejadian itu kepada Polisi. Dengan petunjuk Panjul dan Gundul, polisi berhasil
menangkap komplotan pencuri itu. Penduduk desa merasa lega, mereka kemudian
mengadakan pesta untuk berterima kasih kepada Gundul dan Panjul yang sudah
menunjukkan kebenaran bahwa Rawa Krewet bukan rawa yang berbahaya. Tidak ada
monster jahat di sana yang suka memakan korban. Mereka merasa senang karena
dapat kembali berkativitas di Rawa Krewet yang banyak ikan dan sayur mayur air.
Gundul
tersenyum membenarkan bahwa tak ada bahaya di Rawa Krewet, tetapi dalam hati ia
berkata bahwa di rawa itu benar-benar ada Monster Lendot seperti yang mereka tuduhkan
sebelum ini. Hanya saja, Monster Lendut ini memiliki hati yang baik dan
penolong. Kini Gundul suka pergi tengah malam untuk menemui sahabat barunya
itu, Lendot, si Monster Lumpur yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar