Kamis, 19 April 2018

HANTU POHON RAMBUTAN

Dongeng anak, cerita anak, cerita bijak, hantu, pohon rambutan, hantu pohon
Hantu Pohon Rambutan


Rumah besar lantai 2 bercat putih itu tampak kokoh berdiri di sebelah kolam yang tampak seperti danau kecil. Di halaman depan, tumbuh pohon rambutan besar dengan buah-buah merahnya bergerombol di sana sini. Beberapa dahannya menjulur hingga ke teras lantai dua. Tampaknya kurang terurus karena tukang kebun rumah itu sudah lama pulang kampung dan belum kembali. Halaman rumah itu sudah banyak ditumbuhi rumput liar dan semak yang tidak dipotong. Beberapa sulur pohon merambat mulai menghias sebagian atap dan teras lantai dua. Akar-akarnya yang lembut menjuntai memanjang menuruni tembok. Sekilas rumah itu tampak angker.

Sebuah ayunan berdecit di dekat kolam. Seorang anak kecil kurus berambut panjang sepinggang sedang berayun sendirian sambil menggendong sebuah boneka yang hampir sebesar badannya. Cintya, demikian nama anak itu. Seorang anak yang selalu tampak sendirian karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Hampir setiap bulan ia harus sendirian karena orang tuanya bekerja ke luar kota selama berhari-hari. Cintya hanya ditemani oleh seorang pembantu yang sudah tua dan seorang tukang kebun yang sedang pulang kampung sejak bulan lalu. Kadang – kadang ada sopir yang suka mengantar kalau mereka hendak bepergian, namun supir itu hanya datang saat dibutuhkan.

“Ayo Lily, kita bermain di kamar, di sini mulai panas.” Kata Cintya kepada bonekanya yang diberi nama Lily. Boneka itu seperti perempuan berambut panjang dengan mata besar yang membulat. Bulu matanya dibuat begitu lebat dan hitam yang membuat mata itu tampak menatap tajam. Gaunnya berwarna putih berenda-renda. Mama membeli boneka itu di Jerman saat melakukan perjalanan bisnis ke sana. Sejak boneka itu menjadi miliknya, Cintya tak pernah melepaskannya kemanapun ia pergi.

Namun, sejak berteman dengan Lily, Mbok Ijah, pembantu tua yang sering menemani Cintya merasa ada yang aneh. Cintya sering berbicara sendiri, tidak mau ditemani maupun diawasi. Ia selalu mengusir Mbok Ijah ketika sedang bermain bonekanya. Cintya juga tidak mau menerima telefon mamanya yang setiap hari mengontrol kegiatan Cintya.

Siang meredup, memberi waktu kepada sang sore untuk menebar pesonanya. Langit jingga memendar di ujung barat. Cintya duduk di teras lantai dua di depan kamarnya. Suara hiruk pikuk beberapa anak kecil terdengar dari balik tembok rumahnya yang tinggi.  Cintya mendongak untuk mengintip, beberapa anak laki-laki memanjat pohon rambutan tetangga. Mereka pandai sekali berayun dari satu dahan ke dahan yang lain. Anak –anak perempuan menunggu di bawah sambil berteriak-teriak memberi aba-aba untuk dapat menangkap bulir-bulir rambutan yang memerah nan ranum. Kadang-kadang rambutan yang dijatuhkan itu menimpa kepala seorang anak dan meninggalkan noda getah merah di rambutnya. Mereka semua tertawa-tawa  penuh canda. Terlihat begitu bahagia.

Iri meresap memenuhi pikiran Cintya.  Ia tak memiliki kegembiraan seperti anak-anak itu. Cintya hanya bisa memperhatikan keceriaan mereka dari balik tembok rumahnya. Pintu pagarnya hampir tak pernah terbuka bagi mereka masuk maupun bagi Cintya keluar untuk bermain bersama mereka.  Sering kali Cintya merengek meminta ijin untuk bermain dengan anak-anak itu, namun mamanya tidak mengijinkan Cintya bergaul dengan anak-anak kampung. Kata mama, anak-anak itu suka berbicara dan berkelakuan tidak sopan. Mereka juga terlihat jorok dan suka bermain benda-benda kotor. Mama tidak ingin Cintya mendapat pengaruh buruk dari mereka. Apapun yang dikatakan Cintya, tak pernah didengar mamanya, yang ada adalah pendapat mama saja yang benar.

Anak-anak tetangga itu kemudian berpesta rambutan. Orang tua mereka bergabung untuk mengupaskan rambutan dan ikut menikmati buah manis itu sambil bercengkerama dengan anak-anak mereka. Seorang anak makan dengan belepotan noda di mulutnya,  ibunya langsung  mengusap kotoran di mulut anaknya menggunakan tangan, ibu itu mencium pipinya tanpa amarah, ia memangku anak itu dan membantu mengupaskan rambutan agar getah kulitnya tidak mengotori mulutnya lagi. 

Sekilas terbayang wajah mama yang begitu cantik dan bersih. Cintya ingat saat ia makan bubur belepotan di mulut, sederet kata nasehat yang terasa omelan sepanjang kereta api langsung meluncur dari mulut mama tak henti-henti mendeskripsikan berbagai norma dan sopan santun makan sebagai perempuan berkelas. Mbok Ijahlah yang kemudian sibuk membersihkan Cintya dengan tissue. Dan mama…ia masih menikmati deskripsi norma sopan santunnya. Padahal Cintya hanya ingin mama memangkunya dan mengusap kotoran mulutnya sambil memberi nasehat singkat penuh kasih sayang seperti yang dilakukan ibu-ibu tetangganya itu.

“Mbok…. tolong petikin rambutan….aku mau rambutan….” Kata Cintya sore itu. Mbok Ijah tidak mengijinkannya karena  mama sudah berpesan kepada Mbok Ijah bahwa Cintya tidak boleh makan rambutan. Kata mama, kulit biji di dalam buah rambutan bisa menyebabkan tenggorokan Cintya iritasi dan batuk. Lagi pula, kulit buah rambutan terlihat jorok dan sering banyak semut. Mama sudah menyiapkan buah kiwi, anggur dan plum yang lebih berkualitas di kulkas. Buah-buah itulah yang boleh dimakan Cintya.  

Kali ini Cintya ingin memberontak, ia marah kepada Mbok Ijah dan tetap merengek minta rambutan. Apapun yang dikatakan Mbok Ijah tidak didengarnya. Cintya mulai mengeluarkan jurus mengamuk untuk memaksa Mbok Ijah menuruti kemauannya. Mbok Ijah tak kalah akal. Ia segera videocall mamanya dan melaporkan tingkah laku Cintya. Kalau sudah begini, Cintya tidak berkutik, sederet omelan sepanjang kereta pasti meluncur dari mulut mama. Cintya berlari ke kamarnya dan menolak menerima videocall mama. 

Cintya menangis sambil memeluk boneka Lily. Ia bertanya-tanya mengapa ia tak bisa seperti anak-anak tetangganya itu. Mereka begitu bahagia dengan orangtua yang selalu ada di samping mereka dan memberikan kasih sayang, bukan sekedar aturan. Malam itu Cintya terus berada di kamarnya bermain boneka Lily. Sambil menangis Cintya berbisik kepada bonekanya,”Lily….tidak bisakah kau menolongku? Aku hanya ingin bergembira seperti anak-anak itu….” Cintya menangis deras, air matanya bercucuran  membasahi gaun putih Lily.

Jam 9 malam, saatnya Cintya harus tidur sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat mamanya.  Seperti biasa, Mbok Ijah mengantar susu ke kamar Cintya. Kebiasaan minum susu ini merupakan aturan wajib mamanya yang sebenarnya tidak disukai Cintya. Bukannya Cintya menolak, ia hanya ingin minum susu coklat, bukan susu putih yang bau amis. Namun mamanya selalu mengatakan bahwa susu putih lebih bagus untuk perkembangan tulang Cintya. Mbok Ijah baru saja hendak naik ke kamar Cintya di lantai 2, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar berderit. “Cintya mau kemana?” seru Mbok Ijah yang mengira Cintya keluar kamar.

Tak ada jawaban dari Cintya, suasana terasa sepi. Mbok Ijah mendekati kamar Cintya, pintu itu sedikit terbuka dan tampaklah Cintya sedang tidur berselimut hingga menutupi sebagian wajahnya. Mbok Ijah merasa heran, lalu tadi suara derit pintu itu dari mana? Mbok Ijah mendekati Cintya, perlahan ia membangunkan Cintya untuk minum susu, namun Cintya tak bergeming. “Wellah, tumben ini jam begini sudah tidur pulas gak mau dibangunin….”

Mbok Ijah meletakkan segelas susu itu di meja, dilihatnya jendela kamar Cintya masih terbuka. Tirai ungunya melambai-lambai ditiup angin. Mendadak suasana mencekam mulai terasa. Entah kenapa Mbok Ijah merasa tidak enak. Ia segera menutup jendela kamar itu. Namun… tiba-tiba sekelebat bayangan putih melesat dari atas dengan cepat. Mbok Ijah terkejut, dilihatnya sebentuk hantu perempuan berambut panjang berayun di dahan pohon rambutan. Mbok Ijah menjerit ketakutan, ia segera berlari meninggalkan kamar Cintya. Beruntung Cintya tidak terbangun, ia tampak tidak terganggu sama sekali dan tetap terlelap.

Di pagi harinya, saat Mbok Ijah hendak mencuci baju-baju Cintya, ia menjerit terkejut. Mbok Ijah menemukan noda merah di baju yang dipakai Cintya semalam. Namun saat Cintya ditanya mengenai hal tersebut, ia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa semalam ia mimpi yang sangat menyenangkan.

Malam berikutnya, penampakan hantu pohon rambutan di depan kamar Cintya terulang lagi dan membuat Mbok Ijah semakin ketakutan . Anehnya, Cintya justru terlihat gembira melebihi hari-hari biasanya. Selama ini Cintya selalu murung dan tak pernah tersenyum, namun sejak hari panampakan itu ada, Cintya berubah. Beberapa kali Mbok Ijah melihat Cintya tersenyum-senyum sendiri bahkan tertawa dengan boneka Lily. Mbok Ijah merasa ngeri melihat semua keanehan itu. Pagi ini noda merah itu tidak hanya di baju Cintya, tapi juga terlihat membekas di tirai jendela. Dengan terbata-bata, Mbok Ijah melaporkan semua itu kepada mama Cintya yang sedang berada di luar negeri bersama papanya.

Siang itu mama dan papa Cintya tiba di rumah. Mereka membatalkan beberapa agenda kegiatan dan segera pulang untuk mengetahui keanehan-keanehan Cintya. Hari itu Cintya kehilangan senyumannya lagi, ia tampak murung dan tidak bersemangat. Tak banyak kata yang diucapkan Cintya saat mama dan papanya mengajak berbicara. Mereka menanyakan berbagai hal kepada Cintya tentang kejadian-kejadian yang dilaporkan Mbok Ijah. Setiap pertanyaan yang dilontarkan mama papa, selalu dijawab Cintya dengan satu kata, “ Tidak tahu.”

Kedua orang itu kebingungan menghadapi Cintya. Mbok Ijah kemudian mengoceh tentang dugaannya  bahwa keanehan Cintya mulai sejak ia memiliki boneka Lily, mulai dari suka berbicara sendiri sampai penampakan hantu yang mirip boneka Lily di pohon rambutan. Dengan semangat, Mbok Ijah seolah-olah meyakinkan bahwa boneka Lily adalah boneka berhantu yang suka bermain di pohon rambutan.

Karena penuh kekhawatiran mama dan papa memutuskan untuk mengambil boneka Lily dari Cintya. Keputusan itu membuat Cintya terpukul, ia sangat bersedih karena satu-satunya sahabat yang dicintainya diambil mama papa. Kemarahan Cintya tak terbendung, ia menangis sekeras-kerasnya sambil menjerit-jerit. Ia menolak mama papanya yang ingin memeluk. Bahkan Cintya berani mencakar siapapun yang memegangnya.  Cintya berlari menuju kamarnya dan mengunci diri. Suara tangisnya masih terdengar hingga malam tiba. Mama papa tidak berani mengganggu sampai Cintya mereda.

Tangis Cintya tak terdengar lagi, mama papa perlahan mengetuk kamar Cintya namun beberapa kali memanggil tak ada jawaban dari dalam. Mungkinkah Cintya sudah tidur? Mbok Ijah segera membuka pintu dengan kunci cadangan.  Perlahan mereka memasuki kamar, namun kamar itu kosong. Cintya tak terlihat di dalamnya. Mereka mencari-cari sampai ke kolong tempat tidur dan almari, namun jejak Cintya tak ditemukan. Tiba-tiba Mbok Ijah tergagap tak mampu bicara sambil menunjuk ke arah pohon rambutan di depan kamar Cintya. “I…it..u….ha…han..tunya….” Mama dan papa terperanjat. Mama menjerit kecil dan spontan bersembunyi di punggung papa. Papa hanya bisa berdiri terpaku dengan keringat bercucuran menyaksikan penampakan yang begitu nyata. Sepasang kaki kecil tertutup gaun putih panjang bergoyang-goyang di salah satu dahan pohon rambutan. Gaun putihnya menjuntai dengan bercak-bercak merah di sana sini. Rambutnya panjang terurai acak-acakan.  Wajah sosok itu masih tertutup rimbunan daun dan buah rambutan.

Untuk beberapa saat, papa hanya bisa terpaku, sementara Mbok Ijah sudah terkulai pingsan. Mama masih mencengkeram lengan papa dengan gemetaran,….”Cintya di mana pa…..” bisik mama gemetaran. Air matanya mulai mengalir membayangkan bahaya yang dihadapi putri kesayangannya. Papa berusaha mengumpulkan keberanian, perlahan papa melangkah mendekati sosok penampakan itu. Perlahan namun pasti, papa semakin mendekat. Sosok itu kian jelas bentuknya, sesosok anak perempuan berambut panjang, duduk membelakangi teras kamar Cintya..

Papa memberanikan diri menegur sosok itu. “Hei!” seru papa. Dengan cepat sosok itu menoleh. Papa tersentak melihat mukanya, sementara mama menjerit kecil melihat sebentuk wajah dengan mata bengkak dengan noda merah di sekitar mulutnya hingga mengotori gaunnya yang berwarna putih. Sosok itupun terkejut, ia berbegas berdiri namun tiba-tiba melesat turun sambil menjerit. Papa terkejut dan heran, sejak kapan hantu menjerit terjatuh ketika melayang di atas dahan. Papa semakin terkejut ketika hantu itu meminta tolong saat tangannya bergelantungan di dahan. Lebih heran lagi, papa seperti mengenali suara itu. “Cintya!” seru papa menyadari bahwa anak itu adalah putrinya. 

Papa segera menolong Cintya dan menurunkannya dari pohon. “Kau baik-baik saja sayang?” tanya papa sambil memeluk Cintya. Cintya hanya bergayut di pundak papa. Kedua matanya masih bengkak habis menangis lama. Mama ikut memeluk dan mencium Cintya. Mereka membawa Cintya masuk dan membersihkannya. “Noda apa ini Cintya?”, tanya mama saat membersihkan mulut Cintya yang belepotan noda merah. Cintya tak menjawab, ia takut mamanya marah. Papa segera mengerti ketakutan Cintya dan ikut memeriksa noda itu. Papa kemudian tersenyum, katanya, “Kamu habis makan rambutan ya?” Cintya mengangguk sambil melirik mamanya. Tampak mata mama membelalak hendak memulai ritual omelannya. Tapi papa segera memberi isyarat supaya mama diam. Papa masih tersenyum sambil mengacak rambut Cintya, kata papa lagi, “ Kenapa kamu makan rambutan di pohon malam-malam begini?” Cintya hanya melirik mamanya lagi. Tampak terbersit rasa takut untuk menjawab. Namun saat melihat papa, tak ada ancaman  bahwa papa bakal marah. 

Cintya kemudian bergeser ke pangkuan papa, ia merasa lebih aman di situ. Setelah terdiam agak lama, akhirnya Cintya mengungkapkan perasaannya ketika ia melihat anak-anak tetangga yang bergembira berpesta buah rambutan bersama orang tuanya. Cintya sudah meminta baik-baik kepada Mbok Ijah, tetapi tidak diijinkan. Karena itulah Cintya berusaha membuat Mbok Ijah tidak berani ke kamar Cintya supaya Cintya bisa memetik buah rambutan yang menjulur ke teras kamarnya tanpa ketahuan. Boneka Lily digunakan Cintya untuk menakuti Mbok Ijah, ia menggantungnya di pohon dan menggerakkannya dengan tali. Noda-noda merah di baju Cintya sebenarnya adalah getah kulit rambutan yang baru saja di makan olehnya.

Sepanjang cerita Cintya, mama tampak terkejut dan sesekali ingin menyela pembicaraan dengan omelan, tetapi papa selalu mencegahnya. Mereka terus mendengarkan CIntya yang menyampaikan pikiran dan perasaannya selama ini. Semakin banyak Cintya berbicara, mama mulai memahami Cintya. Malam itu mereka berdiskusi panjang lebar hingga larut untuk mendapatkan pengertian satu sama lain. Tak ada lagi amarah atau omelan panjang. Sejak hari itu, mama dan papa berubah dalam mendidik Cintya dan Cintya mulai menikmati hidupnya dengan gembira.





1 komentar: