Luwak Pemakan Kopi |
Di sebuah desa yang penuh
dengan perkebunan kopi, terdapatlah kerajaan musang yang rakus. Setiap malam
mereka berkeliaran di perkebunan desa untuk mencuri buah-buah kopi tanaman
petani. Hampir setiap malam mereka mencurinya hingga para petani tak dapat
menikmati hasil kebun mereka. Musang-musang itu dahulu berukuran sebesar gajah
dan bisa berbicara layaknya manusia. Namun sayang, mereka begitu malas untuk
menanam tanaman pangan mereka sendiri. Mereka lebih suka mencuri dari pada
mengusahakan pertanian seperti penduduk desa.
Desa itu terletak di sebuah
dataran tinggi yang berhawa dingin. Tidak banyak jenis tanaman yang bisa tumbuh
dengan baik di wilayah itu. Namun tanaman kopi mampu tumbuh subur di lingkungan
mereka. Karena itulah para petani menanami kebun mereka dengan tanaman kopi.
Tanaman ini sangat harum saat
musim berbunga, wanginya mengalahkan semua jenis bunga di pegunungan.
Bunga-bunga itu akan menjadi buah-buah kecil berwarna hijau yang bergerombol di
setiap ketiak cabangnya. Saat sudah tua, warnanya akan berubah menjadi merah
kehitaman. Saat itulah biji kopi akan dipanen dan kemudian dijemur untuk
digiling menjadi bubuk kopi.
Dulu petani dapat mencukupi
kebutuhan hidupnya dengan menjual biji-biji kopi yang melimpah. Namun sejak
musang-musang serakah itu tinggal di pinggir hutan desa, petani hampir tak
dapat memanen kopi mereka. Setiap pagi mereka mendapati tanaman telah
kehilangan biji-biji matangnya dengan daun-daun rusak di sana sini.
Suatu hari, penduduk desa
bermusyawarah untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkan oleh kerajaan musang.
Mereka sepakat untuk memperingatkan para musang agar tidak mencuri kopi mereka.
Penduduk berjanji akan mengajarkan cara menanam kopi kepada kerajaan musang.
Seorang utusan telah dipilih untuk pergi ke kerajaan musang. Ia menyampaikan
pesan hasil musyawarah desa. Namun mendengar hal itu, raja musang malah marah
dan memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan desa serta mengusir para
penduduk.
Seluruh penduduk desa terpaksa
berlari meninggalkan desa tercinta mereka. Berhari-hari mereka mengembara di
dalam hutan untuk bersembunyi dari kejaran para musang. Mereka sangat menderita
karena tidak sempat membawa bekal yang cukup untuk mengembara. Dalam
penderitaan itu, mereka menyanyikan lagu keluhan kepada alam. Lagu itu demikian
menyayat menyedihkan. Ketidakadilan yang telah dilakukan para musang membuat
mereka demikian menderita.
Suara kesedihan mereka
mengalun bersama angin. Mengembara hingga ke sudut-sudut hutan tak terjamah.
Suara itu akhirnya terdengar oleh peri hutan. Saat mendengar alunan lagu sedih
itu, hati peri hutan terasa tersayat. Tergerak hatinya untuk menolong para
penduduk desa yang mengalami ketidak adilan. Peri itu mendatangi para penduduk.
Cahayanya menyilaukan mengagetkan para penduduk yang sedang bernyanyi lagu
sedih. Mereka menghentikan nyanyiannya dan bergerak mundur beberapa langkah.
Cahaya itu berangsur hilang dan tampaklah di sana seorang wanita yang sangat
cantik dengan gaun hijau dan bunga-bunga di kepala. Di punggungnya muncul sayap
yang mengepak lembut.
“Jangan takut, wahai penduduk
desa, aku peri hutan yang akan menolong kalian! Namaku Dewi Alas Roban” kata
peri hutan dengan suaranya yang sangat lembut. Suara indah itu menghapus
ketakutan mereka dalam sekejap.
Kepala desa segera angkat
bicara dan menceritakan pertikaian mereka dengan kerajaan Musang. Sungguh mengharukan.
Dewi Alas tertegun, musang itu adalah salah satu hewan piaraannya yang baru
saja diberi hadiah kemampuan untuk berbicara seperti manusia. Namun ternyata,
kemampuan baru itu justru digunakan musang untuk menindas manusia. Dewi Alaspun
berjanji untuk membantu mereka.
Kerajaan musang sedang
berpesta menikmati rampasan mereka. Tanpa rasa malu mereka menanggap seluruh
perkebuann itu milik mereka. Dewi Alas datang di tengah-tengah mereka dan
membuat pesta itu terhenti seketika. Mereka terkejut dengan kedatangan Dewi
Alas yang begitu tiba-tiba. Di sebelah Dewi Alas, berdiri kepala Desa yang
sudah mereka kalahkan. Raja Musang segera bangkit dan dengan manis menyambut
Dewi Alas seolah ia yakin bahwa Dewi Alas datang untuk ikut berpesta. “Selamat
datang Dewiku, mari ikut berpesta bersama kami”, kata raja Musang.
Dewi Alas
menatap raja Musang dengan tatapan kecewa. “Perbuatanmu sungguh tidak pantas
Raja Musang. Aku telah memberimu kekuatan dan kemampuan berbicara seperti
manusia. Namun kau menggunakan kekuatan itu untuk menindas manusia.” Raja
musang bersungut-sungut, pasti kepala desa itu yang sudah mengadukan
perbuatannya kepada Dewi Alas. Raja Musang menatap kepala desa dengan kebencian
lalu katanya,” Dasar tukang mengadu!” Raja musang hendak menyerang kepala desa
namun Dewi Alas mencegahnya. Seberkas sinar menampar Raja Musang hingga
terjatuh.
Raja musang terguling menabrak
setumpuk kue tart. Mukanya berlepotan dengan selai dan coklat leleh. Semua yang
hadir tertawa, namun segera berhenti setelah Raja Musang terlihat marah. Dewi
Alas tidak banyak membuang waktu ia segera memperingatkan Raja Musang mengenai
sikapnya yang buruk terhadap para penduduk desa. Dengan tongkat peri terangkat tinggi, Dewi
Alas memperingatkan musang, “Raja musang, engkau telah melakukan ketidakadilan
kepada penduduk desa. Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan kejahatan itu. Kau
harus menerima hukuman atas kesalahanmu!”
Dalam sekali ayun, tongkat
peri mengeluarkan cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu menyebar membungkus
setiap musang dan tiba-tiba, mereka berubah menjadi kecil. Mereka tak lagi
sebesar gajah, tubuh mereka lebih mirip sebesar kucing. Mereka juga tak mampu
lagi berbicara seperti manusia. Lalu kata Dewi Alas lagi,” Musang, aku berbelas
kasih kepada kalian dengan masih mengijinkan kalian memakan kopi kesukaan
kalian. Namun kalian harus menebus kesalahan kalian terhadap manusia. Mulai
sekarang, kalian akan membantu kehidupan manusia. Biji kopi yang kalian makan
akan tetap menjadi biji kopi sampai kalian mengeluarkan kotoran. Biji-biji kopi
itu akan menjadi kopi terlezat di seluruh negeri. Pengabdian ini harus kalian
lakukan selamanya.”
Setelah hari itu,
musang-musang menjadi bagian dari kehidupan manusia dalam menghasilkan kopi
terbaik di seluruh negeri. Musang-musang itu dibiarkan memakan biji-biji kopi,
lalu manusia akan mengumpulkan kotoran musang yang masih berbentuk
bongkahan-bongkahan biji itu. Manusia akan membersihkannya dengan cara khusus
dan mengolahnya menjadi bubuk kopi berkualitas baik. Kini manusia dan musang
bisa hidup berdampingan dengan damai.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus