Jumat, 27 April 2018

Luwak Pemakan Kopi

Dongeng Anak, Cerita Anak, luwak, kopi, dongeng
Luwak Pemakan Kopi
Di sebuah desa yang penuh dengan perkebunan kopi, terdapatlah kerajaan musang yang rakus. Setiap malam mereka berkeliaran di perkebunan desa untuk mencuri buah-buah kopi tanaman petani. Hampir setiap malam mereka mencurinya hingga para petani tak dapat menikmati hasil kebun mereka. Musang-musang itu dahulu berukuran sebesar gajah dan bisa berbicara layaknya manusia. Namun sayang, mereka begitu malas untuk menanam tanaman pangan mereka sendiri. Mereka lebih suka mencuri dari pada mengusahakan pertanian seperti penduduk desa.
Desa itu terletak di sebuah dataran tinggi yang berhawa dingin. Tidak banyak jenis tanaman yang bisa tumbuh dengan baik di wilayah itu. Namun tanaman kopi mampu tumbuh subur di lingkungan mereka. Karena itulah para petani menanami kebun mereka dengan tanaman kopi.

Tanaman ini sangat harum saat musim berbunga, wanginya mengalahkan semua jenis bunga di pegunungan. Bunga-bunga itu akan menjadi buah-buah kecil berwarna hijau yang bergerombol di setiap ketiak cabangnya. Saat sudah tua, warnanya akan berubah menjadi merah kehitaman. Saat itulah biji kopi akan dipanen dan kemudian dijemur untuk digiling menjadi bubuk kopi.

Dulu petani dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan menjual biji-biji kopi yang melimpah. Namun sejak musang-musang serakah itu tinggal di pinggir hutan desa, petani hampir tak dapat memanen kopi mereka. Setiap pagi mereka mendapati tanaman telah kehilangan biji-biji matangnya dengan daun-daun rusak di sana sini.

Suatu hari, penduduk desa bermusyawarah untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkan oleh kerajaan musang. Mereka sepakat untuk memperingatkan para musang agar tidak mencuri kopi mereka. Penduduk berjanji akan mengajarkan cara menanam kopi kepada kerajaan musang. Seorang utusan telah dipilih untuk pergi ke kerajaan musang. Ia menyampaikan pesan hasil musyawarah desa. Namun mendengar hal itu, raja musang malah marah dan memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan desa serta mengusir para penduduk.

Seluruh penduduk desa terpaksa berlari meninggalkan desa tercinta mereka. Berhari-hari mereka mengembara di dalam hutan untuk bersembunyi dari kejaran para musang. Mereka sangat menderita karena tidak sempat membawa bekal yang cukup untuk mengembara. Dalam penderitaan itu, mereka menyanyikan lagu keluhan kepada alam. Lagu itu demikian menyayat menyedihkan. Ketidakadilan yang telah dilakukan para musang membuat mereka demikian menderita.

Suara kesedihan mereka mengalun bersama angin. Mengembara hingga ke sudut-sudut hutan tak terjamah. Suara itu akhirnya terdengar oleh peri hutan. Saat mendengar alunan lagu sedih itu, hati peri hutan terasa tersayat. Tergerak hatinya untuk menolong para penduduk desa yang mengalami ketidak adilan. Peri itu mendatangi para penduduk. Cahayanya menyilaukan mengagetkan para penduduk yang sedang bernyanyi lagu sedih. Mereka menghentikan nyanyiannya dan bergerak mundur beberapa langkah. Cahaya itu berangsur hilang dan tampaklah di sana seorang wanita yang sangat cantik dengan gaun hijau dan bunga-bunga di kepala. Di punggungnya muncul sayap yang mengepak lembut.

“Jangan takut, wahai penduduk desa, aku peri hutan yang akan menolong kalian! Namaku Dewi Alas Roban” kata peri hutan dengan suaranya yang sangat lembut. Suara indah itu menghapus ketakutan mereka dalam sekejap.
Kepala desa segera angkat bicara dan menceritakan pertikaian mereka dengan kerajaan Musang. Sungguh mengharukan. Dewi Alas tertegun, musang itu adalah salah satu hewan piaraannya yang baru saja diberi hadiah kemampuan untuk berbicara seperti manusia. Namun ternyata, kemampuan baru itu justru digunakan musang untuk menindas manusia. Dewi Alaspun berjanji untuk membantu mereka.

Kerajaan musang sedang berpesta menikmati rampasan mereka. Tanpa rasa malu mereka menanggap seluruh perkebuann itu milik mereka. Dewi Alas datang di tengah-tengah mereka dan membuat pesta itu terhenti seketika. Mereka terkejut dengan kedatangan Dewi Alas yang begitu tiba-tiba. Di sebelah Dewi Alas, berdiri kepala Desa yang sudah mereka kalahkan. Raja Musang segera bangkit dan dengan manis menyambut Dewi Alas seolah ia yakin bahwa Dewi Alas datang untuk ikut berpesta. “Selamat datang Dewiku, mari ikut berpesta bersama kami”, kata raja Musang. 

Dewi Alas menatap raja Musang dengan tatapan kecewa. “Perbuatanmu sungguh tidak pantas Raja Musang. Aku telah memberimu kekuatan dan kemampuan berbicara seperti manusia. Namun kau menggunakan kekuatan itu untuk menindas manusia.” Raja musang bersungut-sungut, pasti kepala desa itu yang sudah mengadukan perbuatannya kepada Dewi Alas. Raja Musang menatap kepala desa dengan kebencian lalu katanya,” Dasar tukang mengadu!” Raja musang hendak menyerang kepala desa namun Dewi Alas mencegahnya. Seberkas sinar menampar Raja Musang hingga terjatuh.

Raja musang terguling menabrak setumpuk kue tart. Mukanya berlepotan dengan selai dan coklat leleh. Semua yang hadir tertawa, namun segera berhenti setelah Raja Musang terlihat marah. Dewi Alas tidak banyak membuang waktu ia segera memperingatkan Raja Musang mengenai sikapnya yang buruk terhadap para penduduk desa.  Dengan tongkat peri terangkat tinggi, Dewi Alas memperingatkan musang, “Raja musang, engkau telah melakukan ketidakadilan kepada penduduk desa. Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan kejahatan itu. Kau harus menerima hukuman atas kesalahanmu!”

Dalam sekali ayun, tongkat peri mengeluarkan cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu menyebar membungkus setiap musang dan tiba-tiba, mereka berubah menjadi kecil. Mereka tak lagi sebesar gajah, tubuh mereka lebih mirip sebesar kucing. Mereka juga tak mampu lagi berbicara seperti manusia. Lalu kata Dewi Alas lagi,” Musang, aku berbelas kasih kepada kalian dengan masih mengijinkan kalian memakan kopi kesukaan kalian. Namun kalian harus menebus kesalahan kalian terhadap manusia. Mulai sekarang, kalian akan membantu kehidupan manusia. Biji kopi yang kalian makan akan tetap menjadi biji kopi sampai kalian mengeluarkan kotoran. Biji-biji kopi itu akan menjadi kopi terlezat di seluruh negeri. Pengabdian ini harus kalian lakukan selamanya.”

Setelah hari itu, musang-musang menjadi bagian dari kehidupan manusia dalam menghasilkan kopi terbaik di seluruh negeri. Musang-musang itu dibiarkan memakan biji-biji kopi, lalu manusia akan mengumpulkan kotoran musang yang masih berbentuk bongkahan-bongkahan biji itu. Manusia akan membersihkannya dengan cara khusus dan mengolahnya menjadi bubuk kopi berkualitas baik. Kini manusia dan musang bisa hidup berdampingan dengan damai.



1 komentar: