Suatu pagi yang cerah, beberapa capung kecil
berwarna merah, kuning dan abu-abu terbang mengitari daerah rawa untuk mencari
makan. Ia mengawasi helai rumput-rumputan rawa untuk menemukan mangsanya.
Nyamuk-nyamuk yang biasa bersembunyi di bawah daun menjadi incarannya untuk dimakan.
Seekor capung dewasa yang besar berwarna hijau kemerahan sedang mengawasi
mereka. Rupanya capung dewasa ini sedang melatih anak-anaknya untuk berburu
mangsa.
“Tajamkan penglihatanmu!, nyamuk kecil suka
bersembunyi di balik daun-daun yang rimbun!” kata capung besar memberi
aba-aba.
“Awas piko! Jangan terbang terlalu rendah! Hati-hati dengan air, kau belum belajar bagaimana menangkap mangsa di dalam air!” , teriak capung besar itu kepada capung kecil berwarna merah. Namanya piko, dia anak terkecil dari keluarganya. Badannya kecil tetapi dia dikenal paling berani. Sayangnya piko sering kali terlalu berani hingga tidak memperhatikan bahaya yang mengancam. Tindakannya kadang-kadang ceroboh dan membuatnya terluka. Kedua kakaknya sedikit berbeda. Capung kuning bernama Cipi, ia capung betina yang cantik, sayapnya lebar dan tampak anggun saat terbang. Tetapi cipi tidak terlalu suka terbang, ia lebih sering duduk di helai rumput dan menunggu serangga kecil lewat untuk dimakan. Kakak tertua mereka berwarna abu-abu, dia capung yang gagah, tindakannya selalu hati-hati, ia pandai sekali berburu mangsa, dialah kebanggaan ayahnya. Mereka memanggilnya Barka.
“Awas piko! Jangan terbang terlalu rendah! Hati-hati dengan air, kau belum belajar bagaimana menangkap mangsa di dalam air!” , teriak capung besar itu kepada capung kecil berwarna merah. Namanya piko, dia anak terkecil dari keluarganya. Badannya kecil tetapi dia dikenal paling berani. Sayangnya piko sering kali terlalu berani hingga tidak memperhatikan bahaya yang mengancam. Tindakannya kadang-kadang ceroboh dan membuatnya terluka. Kedua kakaknya sedikit berbeda. Capung kuning bernama Cipi, ia capung betina yang cantik, sayapnya lebar dan tampak anggun saat terbang. Tetapi cipi tidak terlalu suka terbang, ia lebih sering duduk di helai rumput dan menunggu serangga kecil lewat untuk dimakan. Kakak tertua mereka berwarna abu-abu, dia capung yang gagah, tindakannya selalu hati-hati, ia pandai sekali berburu mangsa, dialah kebanggaan ayahnya. Mereka memanggilnya Barka.
Setiap hari mereka berlatih bersama ayahnya.
Piko sering kali menabrak daun atau ranting sampai terjatuh. Biasanya Barka
segera melesat untuk menolongnya supaya tidak tenggelam di air. Sementara itu Cipi biasanya hanya bisa
berteriak-teriak menahan ngeri.
Piko selalu iri melihat kakaknya yang tampak
begitu mahir saat berburu. Ia hampir tak pernah gagal. Sedangkan Piko, berkali-kali ia kehilangan
mangsanya karena tingkahnya yang terlalu berisik membuat nyamuk-nyamuk itu terbang
manjauh sebelum Piko mendekatinya.
Hari itu, ketika Piko
terbang terlalu rendah dan dekat ke air, ia menabrak salah satu ranting rumput
rawa. Keseimbangannya hilang dan tubuhnya bergerak turun. Kepakan sayapnya
tidak membantunya untuk terbang naik kembali. Piko berteriak ketika hampir
menabrak permukaan air rawa. Tentu saja itu berbahaya bagi capung. Ketika
seekor capung jatuh ke air, maka sayapnya akan basah dan tidak bisa lagi
digerakkan untuk terbang. Ia akan terjebak di air dan menjadi makanan ikan atau
bebek yang suka berenang di rawa. Saat itu Piko sudah bersiap untuk proses
tabrakan dengan air, namun tiba-tiba, Barka menyambarnya dengan kecepatan
tinggi, Piko dibawa terbang tinggi menjauh dari bahaya. Barka baru menurunkan
adiknya ketika ia sampai di dahan di depan rumah mereka.
Ayah segera datang
menghampiri dan seperti biasa, sederet kemarahan tertuju pada Piko. Dalam
kemarahannya itu, ayah berkali-kali memuji Barka dan meminta Piko untuk sehebat
kakaknya. Piko menahan marah, berkali-kali ia harus merasa jengkel karena dibanding-bandingkan
dengan kakaknya yang hebat itu. Piko sedih, mengapa ia tidak bisa sehebat
kakaknya padahal ia sudah berlatih terbang setiap hari. Piko pun kemudian pergi
meninggalkan rumahnya sambil menangis. Ia terbang jauh sekali meninggalkan
rawa, ia ingin meninggalkan ayah dan Barka yang selalu membuatnya merasa gagal.
Piko terbang sangat
jauh, ia kemudian masuk ke dalam hutan di dekat rawa itu. Ia terbang tak tentu
arah, berkali-kali ia hampir menabrak pohon dan ranting yang semakin rapat. Piko harus
waspada dan pandai mencari celah untuknya terbang. Hutan itu kian rapat dan gelap.
Semakin ia jauh memasuki hutan, semakin besar pohon-pohon yang menjadi
penghalang. Piko merasa takjub, belum
pernah ia menemukan pohon sebesar ini di rawa tempat tinggalnya. Piko tak
pernah tahu ada pohon yang demikian tinggi dan besar. Piko penasaran, ia mulai
menjelajah pohon itu, kayu batangnya begitu kokoh berdiri, cabang-cabangnya
banyak sekali. Daun-daunnya sangat lebar, belum pernah ia melihat daun rumputan
rawa yang selebar itu. Baru saja piko mengagumi keadaan hutan yang sangat berbeda
dengan rawa tempat tinggalnya, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh di puncak
pohon, daun-daun dan ranting tiba-tiba berayun keras. Tak lama setelah itu
titik-titik air menetes menghujaninya.
Piko panik, “Hujaaan!” teriaknya
bergegas menghindari hujan. Namun air di mana-mana, air itu bisa membasahi
sayapnya dan membuatnya tidak bisa terbang. Piko mempercepat terbangnya,
beberapa titik air mulai membasahi sayapnya, rasanya berat untuk terbang.
Ketika dilihatnya ada sebuah lobang di antara batang pohon, piko segera melesat
ke dalam lubang untuk berteduh ke dalamnya. Piko terlalu cepat terbang, ia
menabrak dinding dalam lubang itu, lalu terjatuh ke dasarnya.
Lubang itu gelap,
perlahan-lahan piko mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan penglihatan di ruang
gelap. Perlahan samar-samar tampak isi lubang itu. Ia melihat tumpukan
ranting-ranting dan daun kering, membentuk pusaran di dasar lubang. Tetapi…terasa
bau menyengat yang mengganggu penciumannya. Piko berusaha memeriksa, ternyata
ada beberapa tumpuk kotoran di atas pusaran ranting itu. ,”Hoek!” seru piko
menahan bau. Piko terbang menghindar, tapi ia sadar bahwa ia tak dapat keluar
dari lubang itu, hujan yang sangat deras masih mengguyur, angin yang sangat
kencang bertiup hingga beberapa ranting patah. Piko terpaksa berlindung kembali
ke dalam lubang bau itu.
Piko hinggap di sebuah
ranting yang meruncing. Warnanya hitam dan sedikit melengkung. Ia bertengger di
sana untuk beristirahat. Piko terpaksa berteduh dengan menikmati bau yang
menyengat. Belum lama ia bertengger, tiba-tiba terdengar bunti gemerisik di
bawah tumpukan ranting. Piko segera waspada mengamati keadaan di bawah kakinya.
Ranting-ranting itu bergerak, sekilas kemudian ,…”Cit…ciiit…” suara lengkingan
yang lemah terdengar. Saat itu pula sebentuk kepala botak muncul dari tumpukan
ranting. Piko memperhatikan makhluk itu, kepalanya gepeng dengan paruh
melengkung di mukanya. Ia sebentuk burung, tetapi tak ada bulu di badannya, semua
berwarna merah muda. Piko memperhatikan, burung ini bahkan tidak bisa berdiri
di atas sarangnya. Rupanya burung yang jauh lebih besar dari piko ini adalah
seekor bayi burung.
Anak burung itu
kembali bercuit. Suaranya parau dan lemah. Ia seakan merengek meminta
pertolongan. Tergerak hati piko untuk menyapanya. “Hai, siapa kau?”, tanya Piko. Anak burung itu mendongak ke atas. Dilihatnya seekor capung bertengger di
atas ranting dalam sarangnya. “Ini rumahku, siapa kau, dan apa yang kau lakukan
di sini? “ jawab burung itu. Piko menelengkan kepalanya, ia menyadari bahwa dirinyalah
yang menjadi tamu di tempat itu. Pikopun menjelaskan bahwa ia ingin berteduh di
sana karena hujan yang deras di luar. Kemudian Piko bertanya kepada burung
itu,” Siapa kau? Mengapa kamu sendirian di sarang ini?” Burung itu berusaha
berdiri namun terjatuh kembali, ia tampak lemah untuk bisa menyangga tubuhnya
sendiri. “Aku anak burung elang, namaku Tutu.” Jawab anak burung itu. Ia masih
berusaha untuk berdiri tetapi kembali lagi ia terjatuh. “Kau tampaknya lemah
sekali?” Tanya piko heran. Tutu mengangguk dan dengan suara lirih ia berkata
bahwa ia sangat lapar. Induknya sudah pergi dari kemarin sore tetapi belum juga
kembali.
Piko merasa iba, terlintas di benaknya untuk membantu anak burung itu.
“Apa makananmu?” Tanya Piko. Tutu
menyandarkan kepalanya di tepi sarang, pertanyaan Piko membuatnya tambah lapar.
“Biasanya ibu membawakan potongan daging kelinci atau tikus padaku”. Piko
kembali menelengkan kepalanya, bagaimana ia akan mencari kelinci atau tikus
yang sangat besar itu, ia pasti tak akan sanggup menangkap dan membawanya
kepada anak burung itu. Piko bingung dengan apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba seekor nyamuk masuk ke dalam sarang. Nyamuk itu hinggap di punggung
Tutu dan menggigitnya. Tutu menggeliat,
ia berusaha mengibaskan sayapnya tapi tak bisa mencapai punggung. Sayapnya
masih pendek dan belum berbulu. Dengan cepat Piko segera menyambar nyamuk itu.
Baginya, nyamuk itu adalah makanan yang lezat. Ia ingat bagaimana ayahnya mengajarinya
untuk menangkap nyamuk yang sedang lengah. Nyamuk itu meronta, tapi Piko segera
menggigitnya, rasanya enak sekali.
Tutu memperhatikan Piko dengan lebih menahan
rasa lapar. Piko beruntung mendapat makanan. Melihat Tutu yang menahan lapar,
Piko mencoba menawarkan buruannya. “Apa kau mau?” Tanya Piko. Tutu ragu-ragu,
ibunya belum pernah memberinya makan seekor nyamuk. Apakah enak? Pikirnya.
Tetapi rasa lapar yang menekan membuat Tutu mengangguk sambil penasaran apakah
nyamuk enak dimakan. Piko segera berbagi. Nyamuk gemuk yang ia tangkap tampak
kecil di mulut bayi elang itu. Dengan ragu Tutu menelannya…..dan ternyata
rasanya cukup enak. “Aku mau lagi!” seru Tutu memohon.
Piko tertegun, nyamuknya
hanya ada satu, ia harus berburu ke luar untuk bisa mendapatkan nyamuk lagi.
Padahal, hujan masih saja turun dengan lebatnya disertai angin kencang. Piko
melihat sekeliling. Tiba-tiba dilihatnya seekor semut merayap mendekati sarang.
Piko segera menagkapanya dan memberikannya kepada Tutu. Ternyata Tutupun
menyukainya. Ia meminta lagi makanan dari Piko. Beruntung, Piko melihat seekor
ulat merayap di pinggir lubang sarang. Dengan kecepatan tinggi, Piko menyambar
ulat itu. Rasanya berat untuk membawa ulat itu sambil terbang ke arah mulut
Tutu. Tetapi Piko tetap berusaha dan akhirnya, Tutu berhasil menyantap ulat
itu. Tutu terus saja minta makan dan Piko beruntung karena banyak serangga yang
merayap di dekat lubang itu. Tampaknya serangga-serangga itupun sedang berteduh
seperti dirinya.
Dua hari berlalu, Piko
selalu menemani Tutu dan membantunya mencari makan. Hari itu matahari bersinar
terang, udara terasa hangat, Piko sedang mondar-mandir mencari makanan untuk
Tutu. Baru saja Piko memasukkan seekor ulat ke mulut Tutu, tiba-tiba muncul
seekor elang yang sangat besar. Sayapnya yang lebar masih setengah terentang,
kaki-kakinya begitu kokoh dengan kuku-kuku jari yang runcing. Elang itu
terkejut melihat Piko berada di dalam sarang. Matanya tajam mengerikan, ia penuh curiga memandang Piko. Elang besar itu
tampak marah dan mendekati Piko sambil berteriak,”Siapa kau dan apa yang kau
lakukan di sini?” Tanpa menunggu jawaban dari Piko yang ketakutan, Elang itu
mendekati Piko dengan cepat dan bersiap hendak mematuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar