Puteri Manja dan Nenek Kerdil |
Suatu malam, sang raja sedang termenung
sedih memandangi bintang di langit. “Entah bagaimana caranya membuat puteriku
mau belajar, aku sungguh mengkhawatirkan masa depan kerajaan ini. Kalau saja
ada orang yang bisa membuatnya belajar…..” gumam sang raja sendirian. Ia tak
menyadari bahwa tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang nenek bertubuh pendek
dan kurus sedang mendengarkannya.
Pagi itu, kerajaan dibuat
gempar karena sang Raja tidak bangun dari tidurnya. Beberapa tabib istana sibuk
menyembuhkan sang raja, namun tak satupun yang berhasil membangunkannya. Puteri
Tawang lintang menangis di samping ayahnya berbaring. Ia bingung dengan apa
yang harus dilakukannya. Dalam keadaan tersebut para menteri datang membawa
permasalahan satu persatu.
“Puteri, daerah selatan
dilaporkan mengalami kekeringan, pertanian dan ternak banyak yang mati, penduduk kekurangan air dan makanan untuk
kehidupan mereka,” kata salah seorang menteri.
“Kami juga melaporkan bahwa
sedang terjadi wabah penyakit yang menewaskan beberapa penduduk di daerah
timur. Jumlah tabib dan obat-obatan tidak mencukupi untuk mengatasi masalah,”
kata menteri yang lain. Belum sempat puteri berpikir untuk memahami situasinya,
seorang panglima datang membawa laporan yang mengejutkan. “Puteri, pasukan
telik sandi kami mendapatkan bukti usaha pemberontakan dari Bupati Utara.
Mereka sudah mengadakan persiapan pasukan untuk menyerang istana.
Sang Puteri hanya bisa
terbengong, masalah-masalah demikian tak pernah terlintas dalam pikirannya
untuk dihadapi. Sejenak ia terdiam tidak tahu jawabannya. Puteri memandangi
ayahnya, inikah yang dihadapi ayahnya sebagai seorang raja? Masalah bersamaan
terjadi dari berbagai penjuru. Apa yang dilakukan ayahnya untuk menghadapi
semua masalah itu?
“Puteri, berikan perintah
kepada kami, andalah yang berhak memberikan perintah saat Yang Mulia Raja
berhalangan.” Kata Menteri yang tidak sabar mendengar jawaban tuan puteri. Sang
Puteri hanya memandang menteri itu tanpa tahu apa yang harus dikatakan. “Negara
sedang dalam keadaan genting, anda harus segera memberikan perintah sebelum
semua masalah menjadi lebih buruk dan berbahaya bagi kerajaan!” kata Panglima
dengan tajam. Ia sedang mengkhawatirkan pemberontakan yang hendak menghancurkan
kerajaan.
Menghadapi tekanan itu, sang
Puteri hanya berkata,”Lakukan saja seperti apa yang sering ayahku lakukan!”
Sang Puteri segera berbalik dan berlari meninggalkan mereka sambil menangis.
Sikap ini membuat para menteri dan panglima kebingungan bercampur kecewa. Puteri
memasuki kamarnya untuk menangis. Ia bingung menghadapi persoalan-persoalan
yang diajukan para menteri. Ia kemudian teringat ayahnya yang sering kali
menyuruhnya belajar agar siap menjadi ratu kelak. Puteri menyesal karena tidak
pernah mematuhi ayahnya. Seandainya ia mau belajar dari dulu, pasti saat ini
puteri sudah sepintar ayahnya untuk mengatasi masalah-masalah kerajaan. Namun
terlambat ia menyesali, masalah sudah terjadi, dan ayahnya belum juga siuman.
Puteri semakin menangis menyesali sikap malasnya.
Saat sang puteri menangis,
tiba-tiba muncullah seorang nenek-nenek dengan tubuh yang sangat pendek, hanya
setinggi pinggang sang Puteri. Nenek itu berdiri di samping sang Puteri dan
menyindirnya, “Sampai kapan kau akan terus membuang waktu dengan menangis? Apakah
air matamu itu dapat mengatasi masalah kerajaan yang menjadi tanggungjawabmu?”
Puteri terkejut, ”Siapa kau?
Kau bukan dayangku! Bagaimana kau bisa masuk ke sini?”
Nenek itu tertawa
terkekeh-kekeh dengan gigi ompongnya dan mulut yang keriput. Tangannya erat
memegang tongkat untuk menopang tubuhnya yang bungkuk. Suara tawa tidak kunjung
berhenti dan membuat Sang Puteri gusar. Ia segera memanggil pengawal untuk
menangkap nenek asing itu. Namun aneh, ketika pengawal itu datang, mereka tidak
melihat seorangpun selain sang Puteri. Nenek itu terus terkekeh memandang
kebingungan sang Puteri.
“Apa yang kau inginkan?” tanya
sang puteri setelah para pengawal itu pergi meninggalkannya. Nenek itu berjalan
mondar mandir di sekitar sang puteri. “Negara ini dalam keadaan genting, dan
kau hanya diam saja. Kau satu satunya pengganti ayahmu. Apa tanggungjawabmu
sebagai tuan puteri?.” Kata nenek itu kemudian. Puteri menunduk, yang dikatakan
nenek itu benar-benar menusuk perasaannya. Puteri semakin menangis menyesali
sikap malasnya selama ini. Namun sudah terlambat untuk menyesal. Kini ia hanya
bisa duduk bersimpuh di lantai dan menangis bingung tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Aku tahu aku bersalah, nenek…. Aku menyesal telah bersikap malas belajar
selama ini hingga sekarang aku tak tahu apa-apa…. Aku menyesal tidak mematuhi
ayah…..” rintih sang puteri dalam tangisnya.
Nenek itu berhenti dari mondar
mandir. Ia berdiri tepat di hadapan sang puteri. Dengan tongkat kecilnya itu
nenek menyentuh dagu tuan puteri supaya terangkat dan memandang ke arahnya.
Dengan sorot mata yang tajam, nenek itu yang sekarang terlihat begitu berwibawa
meskipun tubuhnya kerdil, menatap sang puteri lekat-lekat sambil berkata, ”Apa
yang kau inginkan sekarang?”
Puteri itu menggeleng, “Aku
tidak tahu nek…aku bingung…. Seandainya waktu bisa diputar kembali aku akan
merubah sikapku. Seandainya aku punya cukup waktu untuk belajar, aku akan
belajar dengan sangat keras hingga siap menghadapi situasi seperti ini…….” Sang
puteri semakin menangis menyadari bahwa harapannya yang seperti itu sudah tak
mungkin. Kini terbayang dipikirannya bahwa kerajaan ini akan hancur oleh
kekeringan, wabah penyakit dan pemberontakan dari bupati utara. Ia menyesal
sangat dalam tak bisa memenuhi harapan ayahnya. “Ayah..maafkan aku…. Kalau saja
aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan mematuhi ayah…..” rintihnya lagi dengan
sedih.
Nenek mengangguk-angguk, lalu
katanya, “Puteri manja, karena kebaikan ayahmu, alam akan memberimu kesempatan
ke dua untuk memperbaiki kesalahanmu. Namun kau harus menepati janjimu untuk
berjuang dengan keras karena tidak akan ada kesempatan ke dua.”
Puteri berhenti menangis, ia
menatap nenek kerdil dengan penuh tanda tanya. Belum sempat menanyakan
maksudnya, nenek itu sudah mengacungkan tongkat ke atas kepala sang puteri dan
mengayunkannya sambil mengucap mantera. Cahaya warna warni menyelimuti
tubuh sang puteri dan serasa terbang,
sang puteri kemudian mendarat di sebuah taman tempat ia biasanya bermain.
Puteri bangkit dari duduknya, ia melihat ke sekeliling. Saat ia masih bingung
dengan apa yang dihadapi, seorang dayang menghampirinya membawakan sebuah
bungkusan untuk sang puteri. “Tuan puteri, Yang mulia mengirimkan hadiah ini
untuk anda.”
Puteri menerima bungkusan
indah itu. Hadiah yang berat. Perlahan puteri membuka bungkusan itu dan
tampaklah di sana sebuah kitab tebal tentang seluk beluk kenegaraan. Sang
Puteri membelalakkan matanya karena terkejut. Ia ingat, peristiwa ini pernah
dialaminya dua tahun lalu. Saat itu ayahnya mencoba memberi hadiah buku supaya
puteri mau belajar. Saat itu sang puteri segera melempar buku itu dan mengomeli
ayahnya karena memberikan hadiah yang tidak menarik. Sekarang, puteri bingung
bagaimana hadiah ini bisa terulang. Puteri menoleh ke sana kemari mencari
jawaban.
Matanya kemudian tertambat
pada seorang nenek kerdil yang sedang memetik bunga-bunga untuk sembahyang.
Puteri menghampiri nenek itu, dan bersoraklah ia mendapati nenek itu
bersamanya. “Nenek…” mulut sang puteri hampir mengucapkan pertanyaan. Namun
melihat sorot mata nenek kerdil mendadak sang puteri mengerti bahwa harapannya
supaya waktu dapat diputar kembali menjadi kenyataan. “Jadi… ayahku…..?” tanya
sang puteri hampir menangis haru. Nenek itu hanya menunjukkan suatu arah dan
tampaklah di sana Sang Raja sedang berjalan bersama panglima menuju ke ruang
pertemuan. Puteri berteriak memanggil ayahnya dan berlari kencang mendapati
sang raja. Ia memeluk ayahnya dengan erat, “Ayah, aku mau belajar, aku mau
belajar, ajari aku menjadi seorang ratu.! Ajari aku bagaimana mengatasi kekeringan
di kerajaan kita. Ajari aku mengatasi penyakit yang mewabah, ajari aku
mengatasi pemberontakan musuh.”
Sang raja sejenak terkejut, ia
tak menyangka bahwa puterinya yang manja itu tiba-tiba bersemangat untuk
belajar. Ia berpikir bahwa mungkin hadiah buku yang disarankan panglimanya itu
berhasil membuat puteri mau belajar. “Ah, panglima, terima kasih atas saranmu,
ku harap kau mau menyiapkan para guru yang akan mengajar puteriku.” Kata sang
raja kemudian. Panglima itu tersenyum, memberi hormat dan melaksanakan perintah
rajanya.
Sejak hari itu, puteri sangat
rajin belajar tak kenal lelah. Ternyata ia adalah puteri yang cerdas dan mudah
mengerti. Nenek kerdil itu selalu mendampingi sang puteri kapanpun dan selalu
memberikan nasihat-nasihat bijaksana. Anehnya, tak seorangpun dapat melihat
nenek kerdil itu selain sang puteri sendiri. Puteri tak mempermasalahkan siapa
nenek kerdil itu, baginya, kesempatan ke dua yang diberikan nenek itu tidak
akan disia-siakannya.
Puteri semakin rajin belajar
dan pintar. Dalam waktu singkat ia berhasil menguasai beberapa ilmu kenegaraan
dan membantu ayahnya dalam memerintah kerajaan. Para menteri dan panglima
merasa kagum dengan kecerdasan tuan puteri dalam memecahkan berbagai persoalan
kerajaan. Puteri tersenyum kepada Nenek kerdilnya,”Terima kasih nenek. Aku
tidak akan malas dan manja lagi”. Janji Sang puteri kepada Nenek Kerdil.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus