Sabtu, 15 September 2018

Puteri Manja dan Nenek Kerdil

Puteri, Puteri Manja, Nenek Kerdil, Cerita Anak, Dongeng, dongeng Anak
Puteri Manja dan Nenek Kerdil

Raja Wirajaya memiliki seorang puteri yang bernama Puteri Tawang lintang. Ia adalah puteri yang amat cantik, namun sayang, perilakunya sangat manja dan malas belajar. Kegiatannya sehari-hari hanya ingin bermain dan bersenang-senang saja. Jika ayahandanya memarahi supaya belajar, maka puteri itu pura-pura sakit dan membuat ayahnya merasa kasihan. Akhirnya puteri itu hampir tak pernah belajar sepanjang hidupnya. Keadaan itu membuat sang raja bersedih, Puteri Tawang lintang adalah puteri satu-satunya yang diharapkan akan menggantikan posisi ayahnya sebagai raja. Namun bila ia tidak mau belajar, maka kelak hanya akan menjadi ratu yang tidak bisa memimpin kerajaannya.


Suatu malam, sang raja sedang termenung sedih memandangi bintang di langit. “Entah bagaimana caranya membuat puteriku mau belajar, aku sungguh mengkhawatirkan masa depan kerajaan ini. Kalau saja ada orang yang bisa membuatnya belajar…..” gumam sang raja sendirian. Ia tak menyadari bahwa tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang nenek bertubuh pendek dan kurus sedang mendengarkannya.  

Pagi itu, kerajaan dibuat gempar karena sang Raja tidak bangun dari tidurnya. Beberapa tabib istana sibuk menyembuhkan sang raja, namun tak satupun yang berhasil membangunkannya. Puteri Tawang lintang menangis di samping ayahnya berbaring. Ia bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Dalam keadaan tersebut para menteri datang membawa permasalahan satu persatu.
“Puteri, daerah selatan dilaporkan mengalami kekeringan, pertanian dan ternak banyak yang mati,  penduduk kekurangan air dan makanan untuk kehidupan mereka,” kata salah seorang menteri.

“Kami juga melaporkan bahwa sedang terjadi wabah penyakit yang menewaskan beberapa penduduk di daerah timur. Jumlah tabib dan obat-obatan tidak mencukupi untuk mengatasi masalah,” kata menteri yang lain. Belum sempat puteri berpikir untuk memahami situasinya, seorang panglima datang membawa laporan yang mengejutkan. “Puteri, pasukan telik sandi kami mendapatkan bukti usaha pemberontakan dari Bupati Utara. Mereka sudah mengadakan persiapan pasukan untuk menyerang istana.

Sang Puteri hanya bisa terbengong, masalah-masalah demikian tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk dihadapi. Sejenak ia terdiam tidak tahu jawabannya. Puteri memandangi ayahnya, inikah yang dihadapi ayahnya sebagai seorang raja? Masalah bersamaan terjadi dari berbagai penjuru. Apa yang dilakukan ayahnya untuk menghadapi semua masalah itu?

“Puteri, berikan perintah kepada kami, andalah yang berhak memberikan perintah saat Yang Mulia Raja berhalangan.” Kata Menteri yang tidak sabar mendengar jawaban tuan puteri. Sang Puteri hanya memandang menteri itu tanpa tahu apa yang harus dikatakan. “Negara sedang dalam keadaan genting, anda harus segera memberikan perintah sebelum semua masalah menjadi lebih buruk dan berbahaya bagi kerajaan!” kata Panglima dengan tajam. Ia sedang mengkhawatirkan pemberontakan yang hendak menghancurkan kerajaan.

Menghadapi tekanan itu, sang Puteri hanya berkata,”Lakukan saja seperti apa yang sering ayahku lakukan!” Sang Puteri segera berbalik dan berlari meninggalkan mereka sambil menangis. Sikap ini membuat para menteri dan panglima kebingungan bercampur kecewa. Puteri memasuki kamarnya untuk menangis. Ia bingung menghadapi persoalan-persoalan yang diajukan para menteri. Ia kemudian teringat ayahnya yang sering kali menyuruhnya belajar agar siap menjadi ratu kelak. Puteri menyesal karena tidak pernah mematuhi ayahnya. Seandainya ia mau belajar dari dulu, pasti saat ini puteri sudah sepintar ayahnya untuk mengatasi masalah-masalah kerajaan. Namun terlambat ia menyesali, masalah sudah terjadi, dan ayahnya belum juga siuman. Puteri semakin menangis menyesali sikap malasnya.

Saat sang puteri menangis, tiba-tiba muncullah seorang nenek-nenek dengan tubuh yang sangat pendek, hanya setinggi pinggang sang Puteri. Nenek itu berdiri di samping sang Puteri dan menyindirnya, “Sampai kapan kau akan terus membuang waktu dengan menangis? Apakah air matamu itu dapat mengatasi masalah kerajaan yang menjadi tanggungjawabmu?”
Puteri terkejut, ”Siapa kau? Kau bukan dayangku! Bagaimana kau bisa masuk ke sini?”

Nenek itu tertawa terkekeh-kekeh dengan gigi ompongnya dan mulut yang keriput. Tangannya erat memegang tongkat untuk menopang tubuhnya yang bungkuk. Suara tawa tidak kunjung berhenti dan membuat Sang Puteri gusar. Ia segera memanggil pengawal untuk menangkap nenek asing itu. Namun aneh, ketika pengawal itu datang, mereka tidak melihat seorangpun selain sang Puteri. Nenek itu terus terkekeh memandang kebingungan sang Puteri.

“Apa yang kau inginkan?” tanya sang puteri setelah para pengawal itu pergi meninggalkannya. Nenek itu berjalan mondar mandir di sekitar sang puteri. “Negara ini dalam keadaan genting, dan kau hanya diam saja. Kau satu satunya pengganti ayahmu. Apa tanggungjawabmu sebagai tuan puteri?.” Kata nenek itu kemudian. Puteri menunduk, yang dikatakan nenek itu benar-benar menusuk perasaannya. Puteri semakin menangis menyesali sikap malasnya selama ini. Namun sudah terlambat untuk menyesal. Kini ia hanya bisa duduk bersimpuh di lantai dan menangis bingung tanpa bisa berbuat apa-apa. “Aku tahu aku bersalah, nenek…. Aku menyesal telah bersikap malas belajar selama ini hingga sekarang aku tak tahu apa-apa…. Aku menyesal tidak mematuhi ayah…..” rintih sang puteri dalam tangisnya.

Nenek itu berhenti dari mondar mandir. Ia berdiri tepat di hadapan sang puteri. Dengan tongkat kecilnya itu nenek menyentuh dagu tuan puteri supaya terangkat dan memandang ke arahnya. Dengan sorot mata yang tajam, nenek itu yang sekarang terlihat begitu berwibawa meskipun tubuhnya kerdil, menatap sang puteri lekat-lekat sambil berkata, ”Apa yang kau inginkan sekarang?”

Puteri itu menggeleng, “Aku tidak tahu nek…aku bingung…. Seandainya waktu bisa diputar kembali aku akan merubah sikapku. Seandainya aku punya cukup waktu untuk belajar, aku akan belajar dengan sangat keras hingga siap menghadapi situasi seperti ini…….” Sang puteri semakin menangis menyadari bahwa harapannya yang seperti itu sudah tak mungkin. Kini terbayang dipikirannya bahwa kerajaan ini akan hancur oleh kekeringan, wabah penyakit dan pemberontakan dari bupati utara. Ia menyesal sangat dalam tak bisa memenuhi harapan ayahnya. “Ayah..maafkan aku…. Kalau saja aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan mematuhi ayah…..” rintihnya lagi dengan sedih.
Nenek mengangguk-angguk, lalu katanya, “Puteri manja, karena kebaikan ayahmu, alam akan memberimu kesempatan ke dua untuk memperbaiki kesalahanmu. Namun kau harus menepati janjimu untuk berjuang dengan keras karena tidak akan ada kesempatan ke dua.”

Puteri berhenti menangis, ia menatap nenek kerdil dengan penuh tanda tanya. Belum sempat menanyakan maksudnya, nenek itu sudah mengacungkan tongkat ke atas kepala sang puteri dan mengayunkannya sambil mengucap mantera. Cahaya warna warni menyelimuti tubuh  sang puteri dan serasa terbang, sang puteri kemudian mendarat di sebuah taman tempat ia biasanya bermain. Puteri bangkit dari duduknya, ia melihat ke sekeliling. Saat ia masih bingung dengan apa yang dihadapi, seorang dayang menghampirinya membawakan sebuah bungkusan untuk sang puteri. “Tuan puteri, Yang mulia mengirimkan hadiah ini untuk anda.”

Puteri menerima bungkusan indah itu. Hadiah yang berat. Perlahan puteri membuka bungkusan itu dan tampaklah di sana sebuah kitab tebal tentang seluk beluk kenegaraan. Sang Puteri membelalakkan matanya karena terkejut. Ia ingat, peristiwa ini pernah dialaminya dua tahun lalu. Saat itu ayahnya mencoba memberi hadiah buku supaya puteri mau belajar. Saat itu sang puteri segera melempar buku itu dan mengomeli ayahnya karena memberikan hadiah yang tidak menarik. Sekarang, puteri bingung bagaimana hadiah ini bisa terulang. Puteri menoleh ke sana kemari mencari jawaban. 

Matanya kemudian tertambat pada seorang nenek kerdil yang sedang memetik bunga-bunga untuk sembahyang. Puteri menghampiri nenek itu, dan bersoraklah ia mendapati nenek itu bersamanya. “Nenek…” mulut sang puteri hampir mengucapkan pertanyaan. Namun melihat sorot mata nenek kerdil mendadak sang puteri mengerti bahwa harapannya supaya waktu dapat diputar kembali menjadi kenyataan. “Jadi… ayahku…..?” tanya sang puteri hampir menangis haru. Nenek itu hanya menunjukkan suatu arah dan tampaklah di sana Sang Raja sedang berjalan bersama panglima menuju ke ruang pertemuan. Puteri berteriak memanggil ayahnya dan berlari kencang mendapati sang raja. Ia memeluk ayahnya dengan erat, “Ayah, aku mau belajar, aku mau belajar, ajari aku menjadi seorang ratu.! Ajari aku bagaimana mengatasi kekeringan di kerajaan kita. Ajari aku mengatasi penyakit yang mewabah, ajari aku mengatasi pemberontakan musuh.”

Sang raja sejenak terkejut, ia tak menyangka bahwa puterinya yang manja itu tiba-tiba bersemangat untuk belajar. Ia berpikir bahwa mungkin hadiah buku yang disarankan panglimanya itu berhasil membuat puteri mau belajar. “Ah, panglima, terima kasih atas saranmu, ku harap kau mau menyiapkan para guru yang akan mengajar puteriku.” Kata sang raja kemudian. Panglima itu tersenyum, memberi hormat dan melaksanakan perintah rajanya.

Sejak hari itu, puteri sangat rajin belajar tak kenal lelah. Ternyata ia adalah puteri yang cerdas dan mudah mengerti. Nenek kerdil itu selalu mendampingi sang puteri kapanpun dan selalu memberikan nasihat-nasihat bijaksana. Anehnya, tak seorangpun dapat melihat nenek kerdil itu selain sang puteri sendiri. Puteri tak mempermasalahkan siapa nenek kerdil itu, baginya, kesempatan ke dua yang diberikan nenek itu tidak akan disia-siakannya.

Puteri semakin rajin belajar dan pintar. Dalam waktu singkat ia berhasil menguasai beberapa ilmu kenegaraan dan membantu ayahnya dalam memerintah kerajaan. Para menteri dan panglima merasa kagum dengan kecerdasan tuan puteri dalam memecahkan berbagai persoalan kerajaan. Puteri tersenyum kepada Nenek kerdilnya,”Terima kasih nenek. Aku tidak akan malas dan manja lagi”. Janji Sang puteri kepada Nenek Kerdil.

1 komentar: