Kuda Kayu Hitam |
Pangeran Ranuseta genap berumur 9 tahun hari ini. Pesta ulang tahun diselenggarakan dengan sangat meriah. Nasi tumpeng dengan lauk pauk beraneka macam dibagikan kepada setiap penduduk. Sang raja ingin mengajarkan kepada putranya bahwa saat saat kita sedang bergembira, kita harus ingat untuk berbagi kepada sesama sebagai ungkapan syukur. Rakyat adalah bagian yang penting dari kerajaan, mereka adalah orang-orang yang berjerih payah untuk bekerja setiap hari. Hasil pekerjaan mereka itu yang membuat kerajaan ini menjadi maju. Karena itu, sesederhana apapun mereka kelihatannya, keluarga kerajaan harus menghargai dan menghormati mereka.
Di hari ulang tahunnya,
pangeran lebih memperhatikan berbagai hadiah yang ia terima. Seluruh rakyat
mempersembahkan hadiah-hadiah mahal dan berharga bagi pangeran.
Pakaian-pakaian indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, serta mainan-mainan
bagus dan lucu. Bahkan Sang Raja menghadiahkan sebuah kereta berlapis emas
lengkap dengan 4 ekor kuda yang gagah. Pangeran sangat gembira menerima
hadiah-hadiah itu.
Salah satu di antara hadiah-hadiah itu, tampak sebuah
bungkusan hadiah dari kain yang lusuh dan kumal. Pangeran heran sekaligus
jengkel melihat hadiah itu. Bagaimana bisa ada rakyat yang mempersembahkan
barang tak berharga kepada seorang putra Raja seperti dirinya. Pastilah hadiah
itu dari seorang rakyat miskin dan tidak terhormat. Pangeran tak sudi menyentuh
hadiah yang dianggapnya kotor itu dan menyuruh pelayan untuk membukanya. Ketika
bungkusnya sudah dibuka, tampaklah sebuah boneka kayu berbentuk kuda yang
terbuat dari kayu hitam. Pahatan kayunya masih kasar sehingga kuda itu tampak
buruk. “Ih..jelek sekali! Siapa orang tak berguna yang mengirimkan hadiah
seburuk itu padaku?! Apa dia tidak tahu bahwa seorang putera raja seharusnya
mendapatkan hadiah yang pantas dan mahal?! Pelayan, singkirkan benda jelek itu
dari hadapanku, buang jauh-jauh dari istana, jangan sampai benda itu mengotori
kamarku!” kata pangeran yang mulai merasa marah. Pelayan itu mematuhi perintah
pangeran. Ia pergi keluar istana dan membuang boneka kayu itu ke sungai yang
mengalir tak jauh dari istana.
Pagi membuka hari, matahari
sudah mengintip di langit timur, ayam jantan berkokok bersahut-sahutan membangunkan
setiap makhluk yang masih terlelap. Suara berisik itu membuat pangeran terjaga.
Dengan malas pangeran merenggangkan badannya yang terasa kaku. Ia masih ingin
tidur sebentar lagi, tak peduli bahwa pelayan sudah membuka jendela kamarnya
dan membiarkan cahaya matahari masuk menyapa selimut pangeran. Tangan kecil
pangeran hendak meraih guling besar yang ada di sebelah kirinya, namun beberapa
kali tangannya menggapai, guling itu tak ditemukan. Pangeran terus meraba-raba
mencari guling besarnya, sampai suatu ketika tangannya menyentuh sebuah benda
keras yang terasa dingin. Itu jelas bukan guling, pikir pangeran. Dengan malas
Pangeran membuka matanya untuk melihat benda apa yang ada di tangannya kini.
Matanya mengerjap-ngerjap supaya bisa melihat dengan jelas. Benda itu tampak
berwarna hitam dan……
”Hah?!!!”.. pekik pangeran karena terkejut melihat rupa
benda itu. Detik berikutnya, teriakan marah pangeran memecah keheningan pagi.
“Pelayan! Pelayaaan!!!!!” teriak pangeran dengan sangat keras. Para pelayan
tergopoh-gopoh mendekati pangeran Ranuseta. Belum sempat mereka bertanya, pangeran sudah meluncurkan
kata-kata marahnya. “Apa saja yang kalian kerjakan? Bukankah aku sudah memerintahkanmu
untuk membuang benda jelek ini? Bagaimana bisa kuda hitam jelek ini masih ada
di kamarku?!”
Para pelayan ketakutan
melihat kemarahan pangeran. Mereka sendiri kebingungan mengapa boneka kuda kayu
itu masih berada di kamar pangeran. “ Hamba sudah membuangnya ke sungai,
pangeran…”kata pelayan itu ketakutan. Pangeran tidak peduli mendengar alasan pelayan, masih dengan
perasaan marah ia melemparkan kuda kayu itu ke arah pelayan. Pelayan itu
terkejut, serta merta ia mengangkat tangan untuk melindungi kepalanya. Ia sudah
pasrah jika kuda kayu itu menimpa kepalanya sampai benjol. Namun…kuda kayu itu
tiba-tiba berhenti tepat di depan kepala pelayan kemudian berbalik kembali ke arah
pangeran hingga menimpa tangannya yang digunakan untuk melempar tadi. Pangeran
mengeluh sakit, hal itu membuat pangeran bertambah marah dan kemudian kembali
melempar kayu itu ke arah pelayan. Anehnya, setiap kali kuda kayu itu
dilemparkan, selalu kembali menimpa pangeran. Hal itu membuat pangeran putus
asa sehingga dengan jengkel ia membiarkan kuda kayu itu selalu mengikutinya
kemanapun ia pergi.
Suatu hari, pangeran
mengendarai kereta kuda barunya bersama sepasukan pengawal. Pangeran suka
sekali memamerkan kemewahannnya saat bepergian. Ia bangga saat rakyat
memandangnya dengan penuh kagum sebagai seorang putera raja yang hebat, bisa
menaiki kereta berlapis emas dan dikawal oleh sepasukan prajurit. Pangeran
berkeliling kerajaan untuk memamerkan kereta baru hadiah dari ayahnya itu.
Menjelang sore hari, pangeran melintas di jalanan pinggir hutan.
Tiba-tiba sekawanan perampok
menghentikannya. Para pengawal berusaha mempertahankan diri dan melindungi
pangeran, namun mereka kalah jumlah. Saat menyadari kekalahan tersebut,
beberapa prajurit yang masih tersisa lari untuk menyelamatkan diri. Tinggalah
pangeran sendirian menghadapi perampok-perampok itu. Pangeran demikian
ketakutan sampai menangis. Para perampok mentertawakannya. Dengan sorak sorai
penuh kemenangan, para perampok merampas kereta beserta seluruh isinya.
Pangeranpun tak lepas dari penjarahan, jubah mahalnya yang bersulam emas,
sepatu berhias permata, perhiasan-perhiasan serta mahkota yang dipakai
pangeran, semua diambil oleh perampok dan pangeran diusir pergi. Pangeran lari
ke dalam hutan karena ketakutan. Ia tak punya apa-apa lagi, hanya ada satu
benda yang tidak diambil oleh kawanan perampok itu, yaitu boneka kuda kayu hitam
yang tampak buruk. Kuda kayu itu terbang mengikuti pangeran kemanapun pangeran
pergi.
Pangeran berlari tanpa
memperhatikan arah, ia berlari jauh masuk ke dalam hutan. Matahari sedang bersembunyi sejak sore tadi dan
membiarkan mendung pekat menyembunyikan sinarnya. Petir berkilatan menghiasi awan
hitam yang menggantung di langit seakan hendak jatuh. Suara Guntur bergemuruh
memperingatkan siapapun akan datangnya hujan badai. Malam mulai merayap
menggantikan siang. Hutan itu tampak
semakin gelap. Tak lama kemudian titik-titik air berlomba menerjang bumi.
Butiran-butirannya besar menimbulkan suara gemuruh saat menimpa daun-daun dan
batuan.
Angin kencang menyambutnya dengan gembira, mereka bermain di sela-sela
pohon besar, meniup daun-daun hingga beterbangan, menggoyang-goyangkan dahan
hingga meliuk-liuk dan patah. Pangeran basah kuyup sambil sesekali menutupi
telinganya saat petir meledak di dekatnya. Karna lelah dan ketakutan, pangeran
terjatuh di bawah sebuah pohon besar. Daun-daun dan ranting masih berjatuhan.
Pangeran menelungkup ketakutan, ia merasa tersesat di tempat yang asing, gelap
dan belum pernah ia kenal. Pangeran merasa sendirian. Ia berharap ada seseorang
yang bisa menemaninya saat itu.
Namun hutan ini sepi, tak seorangpun yang
terlihat. Matanya kemudian tertambat pada sebentuk boneka yang telah
dikenalnya. Boneka kuda kayu hitam. Itulah satu-satunya benda yang tidak asing
lagi baginya. Dengan serta merta pangeran meraih boneka itu. Baginya saat itu,
kuda kayu yang selama ini dianggap jelek, ternyata bisa terasa bagai teman.
Ketika para prajurit meninggalkannya, boneka itu tetap setia mengikuti. Dan
kini boneka itu berada di dekatnya untuk
menemani.
Pangeran mulai kedinginan, ia
memeluk boneka kuda kayu itu erat-erat, ia menangis dan berbisik, “Kuda kayu,
maafkan aku selama ini menghinamu, sekarang kaulah satu-satunya temanku di
sini.”
Tiba-tiba sebuah suara
mengejutkan terdengar, “Pangeran, berjalanlah ke kanan, ada sebuah gua yang
bisa melindungimu”. Pangeran terkejut
mendengar suara itu, “Siapa kau!” teriak pangeran sambil menoleh ke segala arah
mencari sumber suara itu. “Akulah boneka kuda kayu yang kau pegang!” kata suara
itu. Pangeran terkejut, ia menatap kuda kayu di tangannya, dan benar saja,
suara itu berasal darinya. Kata kuda kayu itu lagi,” Jangan takut, aku akan
menemanimu”. Pangeran masih keheranan tak percaya dengan kuda kayu di
hadapannya, “Bagaimana bisa kau bicara?” tanya pangeran. “Kutukan yang
membuatku tak dapat bicara telah terlepas ketika kau menganggapku teman,
sekarang aku bisa bicara”, kata kuda itu lagi. Pangeran masih terbengong, tapi
kuda itu segera menyuruh pangeran pergi ke arah gua tepat sebelum pohon besar
tempatnya berlindung terbakar oleh sambaran petir.
Sambil meraba-raba, sampailah
pangeran ke dalam sebuah gua. Tempat itu gelap dan sempit, namun cukup baginya
untuk berlindung dari hujan badai. Angin dingin berhembus membuat pangeran
makin menggigil karena bajunya basah oleh hujan. Rasanya seperti tertusuk-tusuk
hingga ke tulang. Pangeran yang biasanya berada di tempat yang mewah dan hangat
serta ditemani beberapa pelayan yang selalu menyediakan kebutuhannya, kini ia
meringkuk sendirian, kedinginan di dalam gua gelap dengan baju yang basah. Tak
ada selimut, tak ada lampu, tak ada alas tidur, tak ada makanan dan tak ada
seorangpun yang menemani.
Pangeran merasa seakan ia
hampir mati. Rasa dingin itu belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seluruh
badannya gemetaran, bibirnya tergetar sampai sulit bicara. Kuda kayu itu
mendekatinya dan berkata, “Pangeran kau harus membuat api untuk
menghangatkanmu. Kau bisa mati jika terus kedinginan seperti ini.” Pangeran
menggeleng, katanya terbata menahan dingin, “ Bagaiman..a…aku bisa membuat
api,,,, hanya ada batu….di sini dan.. aku ti..tidak bisa mencari ka..kayu
bakar, seluruh kayu telah basah oleh hujan…!” Kuda itu terdiam sejenak lalu ia
mendekati batu yang digunakan pangeran untuk bersandar. Kuda itu
menggosok-gosokkan keningnya ke batu. Pangeran keheranan melihat tingkah kuda
itu, “Apa yang kau lakukan?” tanya pangeran. Kuda itu tidak menjawab, ia terus
menggosokkan keningnya semakin cepat.
Beberapa kali pangeran
menanyakan tingkahnya itu, tapi kuda kayu tetap tak menjawab, ia terus saja
menggosokkan diri pada batu hingga kemudian sepercik api membakar pahatan
rambut kepalanya. Pangeran terkejut melihat api menyala membakar boneka
kayunya. Dengan susah payah ia bangun untuk memadamkan api itu. Tapi kuda kayu
menghindar dan mencegah pangeran memadamkan apinya. “Api ini untuk
menghangatkanmu.” Kata kuda kayu itu. Pangeran menatapnya dengan terperanjat,
“Tidak, kau akan terbakar seluruhnya! Aku tidak mau kau terbakar, kau
satu-satunya temanku di sini, aku tidak mau kau terbakar!” teriak pangeran
berusaha memadamkan api. Kuda kayu itu menghentakkan kakinya memukul pangeran
hingga pingsan. Perlahan kuda kayu itu duduk di dekat pangeran dan membiarkan
api membakar seluruh tubuhnya. Dengan api itu pangeran selamat dari kedinginan.
Badai telah berhenti, langit bersih tanpa mendung, pagi
itu matahari bersinar sangat cerah hingga cahayanya menembus di sela-sela daun
hutan. Hewan-hewan kecil telah berkeriapan bangun menikmati hangatnya pagi.
Pangeran mendengar suara riuh burung-burung berkicau, perlahan ia membuka
matanya, kepalanya terasa pusing. Sejenak ia menyadari bahwa dirinya bukan
berada di istananya yang megah. Pangeran mencoba mengingat apa yang terjadi
hiangga ia berada di sana. Satu per satu kesadarannya muncul. Mendadak ia
teringat kuda kayunya. Serta merta ia bangun, “Kuda kayu!....Kuda kayu! Di mana
kau!” teriak pangeran mencari-cari kuda kayu itu. Namun tak ada jawaban. Saat
pangeran hendak melangkah, kakinya terantuk pada songgok arang yang sebagian
telah menjadi abu. Pangeran mengamati arang itu dan sadarlah ia bahwa arang itu
adalah kuda kayu yang membakar dirinya semalam. “Tidaaaaak!” teriak pangeran
sedih, ia merasa kehilangan seorang sahabat yang sejati.
Seorang sahabat yang
telah menyelamatkannya dari kedinginan dengan mengorbankan diri di dalam api. Padahal,
selama ini pangeran selalu menolak dan menghinanya karena ia tampak jelek
dengan pahatan kasar dan warna kayu yang hitam. Pangeran menyesali seluruh
sikapnya yang sombong dan tidak menghargai makhluk lain hanya karena rupanya
yang jelek. Pangeran terus meratapi kepergian kuda kayu yang baru saja menjadi
sahabatnya itu. Sekarang kuda kayu itu adalah pahlawan yang menyelamatkan
hidupnya. Pangeran memeluk arang itu dan dalam tangisnya ia merintih sedih,
“Kuda kayu….untuk apa kau membakar diri hanya supaya aku tidak kedinginan? Aku
telah berbuat jahat padamu, tapi kau malah membalasku dengan kebaikan yang
tidak terhingga…. Aku menyesali semua kesalahanku…., aku akan merubah seluruh
sikapku……andai saja kau bisa kembali hidup dan menjadi sahabatku…. Kau akan
tahu aku bisa menjadi pangeran yang baik…” Sejenak pangeran melepaskan rasa
sedihnya dengan menangis, kemudian ia menguburkan arang itu di dalam gua.
Matahari mulai merangkak naik, pangeran keluar dari dalam gua untuk mencari
jalan pulang ke istana. Dalam hatinya telah muncul tekad baru bahwa ia akan
berubah menjadi pangeran yang baik demi persahabatannya dengan kuda kayu yang
telah mengorbankan diri. Pangeran berjalan menyusuri hutan, ia berjalan
sendirian hingga lelah dan berhenti di sebuah danau kecil untuk minum. Air itu jernih sekali baru saja keluar dari
mata air. Rasanya sungguh segar setelah meminum airnya.
Di sebelahnya datanglah
seekor kuda hitam penuh debu, badannya kotor sekali. Kuda itu seperti terluka
bagian kakinya sehingga kesulitan untuk merunduk dan minum. Pangeran tergerak
hatinya untuk membantu kuda itu minum. Tanpa rasa jijik ia mendekati kuda itu
dan mengambilkan minum untuknya. Pangeran tidak hanya membantunya minum tetapi
juga memandikan kuda itu sampai bersih. Pangeran tersenyum melihat kuda itu
menjadi bersih, ternyata menyenangkan rasanya membantu pihak lain. Kuda itu
memandang pangeran, ”Kau benar-benar sudah berubah” kata kuda itu tiba-tiba dan
membuat pangeran sangat terkejut. “A..apa kau yang baru saja bicara?” tanya
pangeran tak yakin.
“Hm…terbakar api memang sakit, tapi
menyenangkan rasanya aku bisa terbebas dari kutukan dan kembali menjadi kuda
sungguhan” kata kuda hitam itu. Ternyata kuda itu bukan kuda biasa, ia adalah
salah satu tunggangan Raja Negeri Langit. Karena kuda itu pernah melakukan
kesalahan dengan bersikap egois dan sombong terhadap kuda yang lain, maka raja
mengutuknya menjadi boneka kayu dan membuangnya ke bumi. Kutukan itu baru akan
hilang bila kuda itu melakukan kebaikan dan kepedulian terhadap makhluk lain.
Saat kuda itu mengorbankan diri dengan membiarkan diri terbakar demi pangeran,
maka kuda itu sudah menunjukkan kepedulian dan kasih sayang terhadap makhluk
lain. Terlepaslah segala kutukan Raja Langit dan ia kembali menjadi kuda
sungguhan. Meskipun kutukannya telah terlepas, kuda itu tidak dapat kembali ke
langit karena sudah ditetapkan menjadi makhluk bumi.
Pangeran masih terheran
dengan cerita kuda itu, ia hanya terdiam sambil menatap lekat pada kuda tak
biasa di hadapannya. Pangeran juga tidak yakin apakah kuda hitam di hadapannya
itu bisa kembali menjadi sahabatnya. Kuda itu merundukkan kakinya yang ternyata
tidak sakit. Ia menunduk memberi hormat kepada pangeran, “ Aku tak dapat
kembali ke kerajaan Langit, apakah kau mau menjadi penunggangku pangeran? Aku
bisa menjadi kuda tunggangan yang berlari secepat kilat”, kata kuda itu sambil
menundukkan kepalanya. Pangeran bersorak gembira, “Tentu saja, kau sahabat
terbaikku!” Pangeran segera menaiki kuda itu dan dengan gembira mereka
meninggalkan hutan secepat kilat menuju istana. Kehebatan kuda itu tidak lagi
membuat pangeran sombong. Ia telah benar-benar berubah menjadi pangeran yang
baik dan rendah hati. Semua orang semakin mengagumi pangeran Ranuseta.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus