Burung Hantu dan Elang |
Senja merambat menutup siang.
Semburat gelap mulai menyelimuti cakrawala, mengusir matahari untuk segera
turun tahta. Burung elang terbang tinggi untuk pulang. Sayapnya yang lebar dan
kuat membentang di langit jingga. Siluet
hitamnya terlihat perkasa laksana penguasa langit.
Sepasang mata bulat memperhatikan
burung elang dengan sangat takjub. Matanya terus memperhatikan hingga burung
elang itu menghilang di balik bukit. Alangkah menyenangkannya bila dirinya bisa
terbang setinggi elang itu. Namun ketika ia memperhatikan dirinya, dua sayap
pendek yang lebar hanya bisa membuatnya terbang rendah. Setiap malam ia harus
bertengger di dahan-dahan pohon menunggu mangsa. Ia tak bisa terbang tinggi dan
mengawasi hamparan rumput yang luas untuk memburu mangsa. Matanya demikian
bulat, lucu seperti badut, berbeda sekali dengan mata elang yang demikian tajam
menggambarkan sebuah ketegasan laksana ksatria. Ia hanyalah burung hantu dengan
muka yang lucu.
Seekor burung hantu yang lebih
besar menghampirinya sambil mencengkeram seekor tikus yang berhasil ditangkap.
“Kau membiarkan buruanmu lepas begitu saja, nak?” tanya ibu burung hantu itu.
Burung hantu muda terkejut dengan kedatangan ibunya. Pertanyaan itu serasa
teguran yang membangunkannya dari lamunan tentang burung elang. “Maaf ibu……”,
hanya kata itu yang terucap. Ia merasa malu menerima mangsa dari ibunya,
padahal ia sudah cukup dewasa untuk berburu sendiri.
“Owi”, demikian ibunya memanggil
burung hantu muda. “Apa yang membuatmu risau nak?” tanya ibunya lagi. Owi
tampak ragu sejenak, namun akhirnya ia menceritakan tentang rasa irinya
terhadap burung elang yang dilihatnya tadi. Ibunya tertawa mendengar cerita
Owi. Lalu dengan sedikit pelukan sayapnya, ibu menasehati, “Owi, setiap makhluk
hidup telah diberikan bakat masing-masing. Tak ada yang lebih sempurna
segalanya dari yang lain. Temukan bakatmu dan kenalilah sebagai kelebihanmu.
Bakat setiap makhluk hidup hendaknya digunakan untuk saling bekerja sama dan
saling melengkapi. Bersabarlah nak, suatu hari kau akan tahu betapa
beruntungnya kita menjadi burung hantu…”
Hari berlalu, Owi masih belum
menemukan arti dari kata-kata ibunya. Ia terus mencari-cari apa kelebihannya
dibanding dengan burung yang lain. Namun rasanya sia-sia dan ia terus
menggerutu kecewa sebagai burung hantu.
Suatu hari, suara menggelegar
terdengar memecah keheningan malam. Semburan-semburan bara yang memerah tampak
keluar dari puncak gunung di dekat hutan itu. Malam yang gelap, burung-burung
beterbangan menjauhi puncak gunung yang sedang meletus. Mereka terbang tak
tentu arah. Owi bergegas menjauhi puncak gunung bersama ibunya. Ia melihat
teman-temannya burung jenis yang lain ikut kalang kabut ketakutan. Banyak dari
mereka yang terjatuh karena menabrak dahan-dahan pohon. Beberapa kali Owi
berteriak memperingatkan burung – burung lain agar tak salah arah terbang. Owi
heran karena mereka terlihat buta di malam hari, terbang sembarangan dan
menabrak dahan-dahan sampai terjatuh.
Suatu ketika, Owi melihat burung
elang terbang di dekatnya, burung itu begitu cepat melesat, sungguh hebat.
Namun tiba-tiba…. Bruk!... burung elang itu terjatuh menabrak batang pohon. Owi
terkejut. Dengan spontan ia menghampiri burung elang dan menolongnya bangkit.
“Ayolah, kita harus bergegas sebelum batu-batu panas itu mengenai kita!” teriak
Owi berusaha menarik burung elang itu untuk bangkit dan terbang kembali. Burung
elang itu berusaha bangkit, kepalanya terasa pusing, namun dicobanya untuk
terbang. Dan baru saja ia terbang sebentar, ia hampir menabrak pohon lagi.
Beruntung Owi berhasil menariknya untuk menghindar. Owi heran melihat hal itu,
apakah demikian pusingnya hingga burung elang itu tak melihat. Beberapa kali
burung elang itu hendak menabrak pohon lagi dan beberapa kali pula Owi berhasil
menolongnya.
“Hei!..Ada apa denganmu? Mengapa
kau tidak menghindari dahan-dahan pohon? Apakah sayapmu terluka?” , tanya Owi
bertubi-tubi penuh keheranan. Burung elang itu mengeluh, beberapa kali ia
mengusap matanya, lalu katanya, “ Aku tidak bisa melihat dalam kegelapan….”
Jawaban ini membuat Owi tercengang. Burung elang yang terkenal dengan mata yang
begitu tajam ternyata tak bisa melihat dalam kegelapan. Tak seperti dirinya, ia
begitu mudah mengawasi mangsanya setiap malam. Tak ada kesulitan sama sekali
baginya untuk melihat dalam gelap. Saat itu juga, Owi teringat akan perkataan
ibunya, “Owi, setiap makhluk hidup telah diberikan bakat masing-masing. Tak ada
yang lebih sempurna segalanya dari yang lain. Temukan bakatmu dan kenalilah
sebagai kelebihanmu. Bakat setiap makhluk hidup hendaknya digunakan untuk
saling bekerja sama dan saling melengkapi. Bersabarlah nak, suatu hari kau akan
tahu betapa beruntungnya kita menjadi burung hantu..”
Owi tersenyum, “Jadi ini yang
disebut bakatku?” bisik Owi lirih, “Bakatku untuk bisa melihat dalam gelap. Kemampuan
melihatku di malam hari bisa melebihi ketajaman mata elang!” pemikiran itu
membuat Owi demikian gembira dan lalu tak sadar ia berseru dengan gembira,”Ini
hebat!” Burung elang terkejut dengan
teriakan Owi, ia heran melihat tingkah Owi saat itu. “Apa yang kau bilang
hebat?”, tanya burung elang. pertanyaan itu membuat Owi gugup,
“Oh,..ti…ti..dak..tidak…..bukan apa-apa….”
Burung elang mencoba menatapnya
namun hanya tampak bayang-bayang siluet burung hantu tanpa ia bisa melihat raut
muka burung hantu muda itu. Lalu Owi teringat kata-kata ibunya bahwa bakat
masing-masing makhluk hendaknya digunakan untuk saling melengkapi. Di saat yang
sama sebuah batu berpijar jatuh di dekat mereka dan membuat mereka terkejut.
“Apa itu?” tanya burung elang mengagetkan. “Batu berpijar dari gunung api,
sudah sampai ke sini!”, jawab Owi ketakutan. “Kita harus segera pergi! Ayo kita
terbang lagi. Aku tak bisa terbang cepat, aku harus bergegas!” kata Owi panik.
“Aku bisa terbang cepat, tapi aku
tak bisa melihat dalam gelap!” keluh burung elang. Owi sontak berseru,” Aku bisa
melihat dalam gelap! Aku akan membantumu!” Burung elang menyetujui usulan
burung hantu. “Naiklah ke punggungku, aku akan terbang cepat, kau yang
mengarahkanku untuk terbang!” kata burung elang. Owi tidak membuang waktu, ia
segera melompat ke punggung elang. Sekejap saja burung elang telah melesat ke
angkasa, Owi berteriak-teriak memberi aba-aba agar tidak menabrak dahan-dahan
pohon.
Burung elang terus melesat dan
membawa Owi terbang tinggi. Sesekali ia menukik menghindari batu pijar. Tak
terasa, elang terbang begitu jauh dan tinggi. Gunung melatus itu tampak kecil
di belakang mereka. Letusannya tak lagi menjangkau mereka. Owi merasa lega.
Udara yang menerpa wajahnya begitu dingin, suatu ketika Owi merasakan sapuan
titik-titik air yang demikian dingin. Owi terkejut, gumpalan-gumpalan putih itu
terasa amat dingin. “Awan? Inikah awan?” seru Owi takjub. Burung elang
tersenyum, katanya, “Kelihatannya kau tak pernah ke sini.” Owi masih takjub
melihat sekitarnya, ia melupakan hawa dingin menusuk yang menerpa dirinya. Owi
terlalu gembira menyadari dirinya terbang demikian tinggi. “Ini hebat! Aku
terbang tinggi!”, seru Owi kegirangan. Ia sibuk melongok kanan kiri menikmati
suasana ketinggian yang selama ini hanya bisa dibayangkannya.
“Berpeganglah lebih erat!” seru
elang. Rupanya kegembiraan Owi terasa sebuah pujian bagi elang. Elang ingin
membuat Owi lebih bergembira lagi. Ia akan membawa Owi terbang lebih tinggi.
Owi berseru semakin kegirangan, elang itu membawanya terbang di atas awan.
Bintang-bintang tampak begitu indah dari atas sini. Owi terus berseru
kegirangan. Sampai suatu kali, elang
menjatuhkan Owi dari punggungnya. Owi terperanjat, merasa jatuh, ia berteriak
ketakutan setengah mati. “Toloooong!”, teriak Owi. “Rentangkan sayapmu nak!,
jaga keseimbangan, bentangkan saja lebar-lebar tanpa perlu kau kepakkan. Angin
akan menopangmu! Tetaplah tegak! Berusahalah!” , seru burung elang memberi
semangat. Ia terus mengarahkan cara terbang yang baik kepada Owi. Mula-mula Owi
selalu oleng dan terus menukik ke bawah, namun kemudian ia terus berusaha untuk
seimbang. Akhirnya ia bisa membentangkan sayap dengan seimbang.
Owi terbang, seperti elang, di
ketinggian langit malam. Ia sangat bahagia sampai menangis. “Terima kasih! Bagaimana
aku membalas kebaikanmu?” , kata Owi terharu. Burung elang tersenyum, ia senang
melihat Owi begitu gembira. Kekaguman dan kegembiraan Owi membuat elang merasa
menjadi burung yang berharga. Lalu kata elang itu kepada Owi, “ Kau sudah
menyelamatkanku dari gunung api itu nak! Kurasa mulai sekarang kita bisa
berteman!” Perkataan itu terdengar begitu indah. Betapa menyenangkan bisa
berteman dengan burung elang, burung yang paling dikagumi semua burung.
Owi tidak lagi merasa iri. Kini ia
tahu bahwa setiap burung memiliki bakat masing-masing dan betapa indahnya
ketika bakat itu digunakan untuk saling melengkapi dan bekerja sama. Mereka
bisa selamat dari bahaya letusan gunung api karena sudah bekerja sama dengan
bakat masing-masing, elang yang pandai terbang, dan Owi yang bisa
melihat dalam kegelapan.
Semangat mba,, bagus2 semua ceritanya😊
BalasHapusLuar biasa, cerita yang sangat bijak dan menarik untuk dituturkan..dari generasi ke generasi
BalasHapusLuar biasa, cerita yang sangat bijak dan menarik untuk dituturkan..dari generasi ke generasi
BalasHapusTerima kasih Mas Adi, semoga bermanfaat...
Hapus