Minggu, 17 September 2017

Capung listrik


dongeng anak, cerita anak, capung, listrik, kunang-kunang
Capung Listrik

Di sebuah desa terpencil, terdapatlah seekor capung muda yang sangat istimewa. Capung hijau dengan sayap pink yang indah. Hal yang membuatnya istimewa adalah ia bisa menciptakan listrik dari ekornya. Bakat istimewa ini diperolehnya sejak lahir. Ia bahkan bisa membagi-bagikan listrik itu kepada para kunang-kunang. Dengan listrik-listrik itu, maka kunang-kunang tidak hanya menghasilkan cahaya kelap kelip yang redup, melainkan cahaya yang berpijar terang laksana lampu listrik.
Setipa sore yang menggelap menjadi malam, para kunang-kunang berbaris di depan rumah capung listrik. Satu-per satu kunang-kunang mendapatkan segumpal listrik yang diletakkan di dalam ekor mereka. Maka cahaya redup kelap-kelip mereka berubah mejadi sangat terang.
Barisan kunang-kunang yang sudah menyala, terbang menyebar mendatangi rumah-rumah penduduk. Kunang-kunang menerangi setiap sudut desa. Jalan-jalan dan halaman menjadi terang. Anak-anak gembira bisa bermain sampai malam, ibu-ibu bisa menjahit di malam hari, para ayah duduk membaca tanpa kesulitan. Suasana menyenangkan itu terus berlangsung tiap hari. Semua menyukai capung listrik yang menjadikan desa mereka semarak dengan cahaya.
Suatu hari, dalam hujan yang lebat, tampak kilatan-kilatan cahaya listrik di angkasa. Kilatan-kilatan itu sungguh besar hingga mengeluarkan suara menggelegar. Capung listrik memperhatikan semua itu dengan takjub. Tiba-tiba, suara yang sangat keras mengagetkan seluruh desa. Suara yang amat keras disertai dengan kilatan cahaya yang menyilaukan. Rupanya sekilat petir menyambar pohon terbesar di desa. Pohon itu terbakar dan tumbang.
Peristiwa itu membuat capung listrik terkagum-kagum dengan kekuatan petir. Ia bertanya-tanya, siapakah yang telah membangkitkan listrik sebesar itu. Pikirannya terus melayang dengan penuh pertanyaan, apakah ada capung raksasa yang menciptakan listrik sebesar petir itu. Alangkah hebatnya bila bisa menghasilkan listrik sebesar petir.
Capung listrik semakin penasaran, maka demi memenuhi keingintahuan itu ia meninggalkan desa, berkelana di antara awan untuk menemukan capung raksasa yang menghasilkan listrik sehebat petir. Kepergian capung listrik telah mengubah desa menjadi sunyi. Tanpa listrik darinya, kunang-kunang tak dapat bersinar seterang lampu, mereka hanya menghasilkan cahaya redup yang tidak cukup menerangi malam. Penduduk desa tak dapat lagi beraktivitas di malam hari.  
Setelah berhari-hari mengembara di angkasa, Capung menemukan si raksasa pembuat petir. Raksasa itu tidak keberatan untuk mengajarkan cara menghasilkan listrik sebesar petir. Sebulan penuh capung listrik belajar, kini ia sudah bisa menghasilkan petir yang cukup kuat. Capung listrik demikian girang.
Ketika hujan lebat tiba di musim hujan, capung listrik diperintahkan oleh raksasa untuk menghasilkan petir di antara awan. Perintah itu dilaksanakannya dengan gembira. Capung listrik berhasil membuat petir di antara awan. Semakin lama semakin besarlah petir yang ia hasilkan. Dengan bangga ia menunjukkan kemampuannya kepada gurunya itu. Raksasa pembuat petir merasa senang melihat kepandaian capung listrik, lalu ia memerintahkan untuk membuat petir yang lebih besar yang mampu menyambar pohon-pohon tinggi dan menara-menara rumah. Capung listrikpun melaksanakan perintah itu dengan bangga. Berkali-kali ia membuat petir yang besar dengan suara menggelegar. Ia terbang ke sna kemari di antara awan dan membuat petir yang mneyambar pucuk-pucuk pohon tinggi. Saat ia melewati perkampungan, capung listrik segera menyambar menera-menara rumah penduduk. Ia senang sekali ketika bidikan petirnya berhasil menumbangkan pohon atau membakar menara. Ia bangga sekali talah menjadi capung hebat berkekuatan besar.
“Kau sudah berhasil menciptakan petir yang besar, kini tak ada lagi yang bisa kuajarkan padamu, pelajarannmu sudah selesai. Pulanglah, kau telah menjadi capung hebat sepertiku”, kata raksasa petir itu kepada capung listrik.  Kata-kata itu membuat capung listrik bangga. Ia mengucapkan terima kasih dan pergi menuju desanya. Wajahnya demikian berseri, ia siap menceritakan keberhasilannya kepada seluruh penduduk desa yang selama ini menyayanginya. Mereka sudah seperti keluarga bagi capung listrik. Mereka pasti senang sekali dengan keberhasilan capung listrik.
Capung listrik sampai ke desanya, namun alangkah terkejutnya ia melihat desa porak poranda. Pohon-pohon tinggi tumbang dengan pucuk-pucuk yang hangus, beberapa menara gosong dan roboh. Tampah penduduk berkerumun di tempat-tempat kerusakan. Bahkan beberapa dari mereka menangis karena keluarganya terluka akibat robohnya menara atau pohon tinggi yang meimpa bangunan di sekitarnya.
“Oh..mengapa petir mengamuk di desa ini, belum pernah ada petir sebanyak itu yang menyerang desa, sekarang desa kita hancur…” kata salah seorang ibu sambil menangis memeluk anaknya yang terluka. “Rumahku hancur tertimpa pohon yang tersambar petir, kini aku tak punya tempat tinggal,” keluh penduduk yang lain. Semakin capung listrik berkeliling, semakin banyak keluhan dan kerusakan yang ia dapatkan. Capung listrik tercengang dengan semua itu. Saat ia menghampiri keluarga kunang-kunang, ia melihat rumah mereka telah rusak. Beberapa kunang-kunang terluka. Mereka menyambut capung listrik dengan haru dan menceritakan malapetaka yang terjadi di desa yang disebabkan oleh petir hari itu.
Malam itu, desa kembali diterangi cahaya kunang-kunang yang secemerlang lampu. Capung listrik telah membagi listriknya kepada para kunang-kunang. Penduduk desa bergembira menyambut kepulangan capung listrik. Mereka melupakan musibah tadi siang dan berpesta menyambut kepulangan capung listrik. Melihat semua itu, capung listrik merasa berduka. Dialah yang membuat petir hari itu. Hanya karena bangga menjadi capung yang kuat, ia lupa bahwa pohon-pohon tinggi ynag ia serang adalah rumah bagi burung-burung dan kunang-kunang sahabatnya. Menara-menara rumah yang ia bidik ternyata adalah rumah-rumah penduduk yang selalu mencintainya. Capung listrik benar-benar sedih dan malu. Di tengah pesta itu, capung listrikpun menangis.
Kunang-kunang dan penduduk desa terdiam ketika capung listrik menghentikan pesta. Dengan linangan air mata penyesalan, ia mengakui bahwa kerusakan desa itu adalah hasil perbuatannya. Capung listrik merasa tak pantas lagi tinggal di desa itu. Dengan sedih ia berpamit untuk menghukum dirinya sendiri. Ia berencana untuk pergi meninggalkan desa yang ia cintai. Baru saja ia hendak beranjak, seekor kunang-kunang mencegahnya. “Aku memaafkanmu, tetaplah tinggal di sini dan berikan listrikmu yang bisa menerangi desa”. Kata-kata kunang-kunang itu mendapat dukungan dari seluruh desa. Capung listrikpun menangis haru.
Kini capung listrik sadar bahwa kehebatan membuat petir bukanlah hal yang layak di banggakan. Kekuatan besar itu ternyata merusak. Bukan kekuatan besar yang membuat penduduk menghargai dan menyayanginya. Tetapi justru kepeduliannya berbagi hal-hal kecil seperti listrik untuk kunang-kunang itulah yang disebut hebat, karena hal yang tampak kecil itu telah membuat penduduk desa dan kunang-kunang sahabatnya bergembira.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar