Capung Listrik |
Di sebuah desa terpencil,
terdapatlah seekor capung muda yang sangat istimewa. Capung hijau dengan sayap
pink yang indah. Hal yang membuatnya istimewa adalah ia bisa menciptakan
listrik dari ekornya. Bakat istimewa ini diperolehnya sejak lahir. Ia bahkan
bisa membagi-bagikan listrik itu kepada para kunang-kunang. Dengan
listrik-listrik itu, maka kunang-kunang tidak hanya menghasilkan cahaya kelap
kelip yang redup, melainkan cahaya yang berpijar terang laksana lampu listrik.
Setipa sore yang menggelap menjadi
malam, para kunang-kunang berbaris di depan rumah capung listrik. Satu-per satu
kunang-kunang mendapatkan segumpal listrik yang diletakkan di dalam ekor
mereka. Maka cahaya redup kelap-kelip mereka berubah mejadi sangat terang.
Barisan kunang-kunang yang sudah
menyala, terbang menyebar mendatangi rumah-rumah penduduk. Kunang-kunang
menerangi setiap sudut desa. Jalan-jalan dan halaman menjadi terang. Anak-anak
gembira bisa bermain sampai malam, ibu-ibu bisa menjahit di malam hari, para
ayah duduk membaca tanpa kesulitan. Suasana menyenangkan itu terus berlangsung
tiap hari. Semua menyukai capung listrik yang menjadikan desa mereka semarak
dengan cahaya.
Suatu hari, dalam hujan yang lebat,
tampak kilatan-kilatan cahaya listrik di angkasa. Kilatan-kilatan itu sungguh
besar hingga mengeluarkan suara menggelegar. Capung listrik memperhatikan semua
itu dengan takjub. Tiba-tiba, suara yang sangat keras mengagetkan seluruh desa.
Suara yang amat keras disertai dengan kilatan cahaya yang menyilaukan. Rupanya
sekilat petir menyambar pohon terbesar di desa. Pohon itu terbakar dan tumbang.
Peristiwa itu membuat capung
listrik terkagum-kagum dengan kekuatan petir. Ia bertanya-tanya, siapakah yang
telah membangkitkan listrik sebesar itu. Pikirannya terus melayang dengan penuh
pertanyaan, apakah ada capung raksasa yang menciptakan listrik sebesar petir
itu. Alangkah hebatnya bila bisa menghasilkan listrik sebesar petir.
Capung listrik semakin penasaran,
maka demi memenuhi keingintahuan itu ia meninggalkan desa, berkelana di antara
awan untuk menemukan capung raksasa yang menghasilkan listrik sehebat petir. Kepergian
capung listrik telah mengubah desa menjadi sunyi. Tanpa listrik darinya,
kunang-kunang tak dapat bersinar seterang lampu, mereka hanya menghasilkan
cahaya redup yang tidak cukup menerangi malam. Penduduk desa tak dapat lagi
beraktivitas di malam hari.
Setelah berhari-hari mengembara di
angkasa, Capung menemukan si raksasa pembuat petir. Raksasa itu tidak keberatan
untuk mengajarkan cara menghasilkan listrik sebesar petir. Sebulan penuh capung
listrik belajar, kini ia sudah bisa menghasilkan petir yang cukup kuat. Capung
listrik demikian girang.
Ketika hujan lebat tiba di musim
hujan, capung listrik diperintahkan oleh raksasa untuk menghasilkan petir di
antara awan. Perintah itu dilaksanakannya dengan gembira. Capung listrik
berhasil membuat petir di antara awan. Semakin lama semakin besarlah petir yang
ia hasilkan. Dengan bangga ia menunjukkan kemampuannya kepada gurunya itu.
Raksasa pembuat petir merasa senang melihat kepandaian capung listrik, lalu ia
memerintahkan untuk membuat petir yang lebih besar yang mampu menyambar
pohon-pohon tinggi dan menara-menara rumah. Capung listrikpun melaksanakan
perintah itu dengan bangga. Berkali-kali ia membuat petir yang besar dengan
suara menggelegar. Ia terbang ke sna kemari di antara awan dan membuat petir
yang mneyambar pucuk-pucuk pohon tinggi. Saat ia melewati perkampungan, capung
listrik segera menyambar menera-menara rumah penduduk. Ia senang sekali ketika
bidikan petirnya berhasil menumbangkan pohon atau membakar menara. Ia bangga
sekali talah menjadi capung hebat berkekuatan besar.
“Kau sudah berhasil menciptakan
petir yang besar, kini tak ada lagi yang bisa kuajarkan padamu, pelajarannmu
sudah selesai. Pulanglah, kau telah menjadi capung hebat sepertiku”, kata
raksasa petir itu kepada capung listrik.
Kata-kata itu membuat capung listrik bangga. Ia mengucapkan terima kasih
dan pergi menuju desanya. Wajahnya demikian berseri, ia siap menceritakan
keberhasilannya kepada seluruh penduduk desa yang selama ini menyayanginya.
Mereka sudah seperti keluarga bagi capung listrik. Mereka pasti senang sekali
dengan keberhasilan capung listrik.
Capung listrik sampai ke desanya,
namun alangkah terkejutnya ia melihat desa porak poranda. Pohon-pohon tinggi
tumbang dengan pucuk-pucuk yang hangus, beberapa menara gosong dan roboh.
Tampah penduduk berkerumun di tempat-tempat kerusakan. Bahkan beberapa dari
mereka menangis karena keluarganya terluka akibat robohnya menara atau pohon
tinggi yang meimpa bangunan di sekitarnya.
“Oh..mengapa petir mengamuk di desa
ini, belum pernah ada petir sebanyak itu yang menyerang desa, sekarang desa
kita hancur…” kata salah seorang ibu sambil menangis memeluk anaknya yang
terluka. “Rumahku hancur tertimpa pohon yang tersambar petir, kini aku tak
punya tempat tinggal,” keluh penduduk yang lain. Semakin capung listrik
berkeliling, semakin banyak keluhan dan kerusakan yang ia dapatkan. Capung
listrik tercengang dengan semua itu. Saat ia menghampiri keluarga
kunang-kunang, ia melihat rumah mereka telah rusak. Beberapa kunang-kunang
terluka. Mereka menyambut capung listrik dengan haru dan menceritakan
malapetaka yang terjadi di desa yang disebabkan oleh petir hari itu.
Malam itu, desa kembali diterangi
cahaya kunang-kunang yang secemerlang lampu. Capung listrik telah membagi
listriknya kepada para kunang-kunang. Penduduk desa bergembira menyambut
kepulangan capung listrik. Mereka melupakan musibah tadi siang dan berpesta
menyambut kepulangan capung listrik. Melihat semua itu, capung listrik merasa
berduka. Dialah yang membuat petir hari itu. Hanya karena bangga menjadi capung
yang kuat, ia lupa bahwa pohon-pohon tinggi ynag ia serang adalah rumah bagi burung-burung
dan kunang-kunang sahabatnya. Menara-menara rumah yang ia bidik ternyata adalah
rumah-rumah penduduk yang selalu mencintainya. Capung listrik benar-benar sedih
dan malu. Di tengah pesta itu, capung listrikpun menangis.
Kunang-kunang dan penduduk desa
terdiam ketika capung listrik menghentikan pesta. Dengan linangan air mata
penyesalan, ia mengakui bahwa kerusakan desa itu adalah hasil perbuatannya.
Capung listrik merasa tak pantas lagi tinggal di desa itu. Dengan sedih ia
berpamit untuk menghukum dirinya sendiri. Ia berencana untuk pergi meninggalkan
desa yang ia cintai. Baru saja ia hendak beranjak, seekor kunang-kunang
mencegahnya. “Aku memaafkanmu, tetaplah tinggal di sini dan berikan listrikmu
yang bisa menerangi desa”. Kata-kata kunang-kunang itu mendapat dukungan dari
seluruh desa. Capung listrikpun menangis haru.
Kini capung listrik sadar bahwa
kehebatan membuat petir bukanlah hal yang layak di banggakan. Kekuatan besar
itu ternyata merusak. Bukan kekuatan besar yang membuat penduduk menghargai dan
menyayanginya. Tetapi justru kepeduliannya berbagi hal-hal kecil seperti
listrik untuk kunang-kunang itulah yang disebut hebat, karena hal yang tampak
kecil itu telah membuat penduduk desa dan kunang-kunang sahabatnya bergembira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar