Puteri Bunga Teleng |
Pesta Kerajaan Gadaloka
demikan meriah, hari itu adalah pesta untuk merayakan panen raya yang melimpah.
Kerajaan mengundang tamu-tamu dari kerajaan lain di sekitarnya untuk menjalin
persahabatan. Empat puteri cantik melantunkan lagu-lagu indah dengan suara
mereka yang merdu. Gerakannya yang lemah gemulai semakin mempertegas rupa
mereka yang begitu ayu. Decak kagum para tamu mengiringi setiap penampilan
mereka. “Wah…luar biasa, beruntung sekali kau Raja Sokagada, kau memiliki empat
puteri yang luar biasa cantik dan bersuara merdu! “ kata Raja Agungsi kepada sahabatnya. Raja Sokagada
hanya tersenyum bangga sambil mengucapkan terima kasih. Tak jauh di
belakangnya, Puteri Dewi Teleng memalingkan wajah ke luar jendela dan berusaha
tidak memperhatikan percakapan Raja Sokagada dengan teman-temannya. Ia lebih
menikmati keindahan bunga biru di tembok istana yang merambat seperti semak
belukar.
Sebenarnya, Raja Sokagada
memiliki 5 orang puteri. Mereka adalah puteri yang cantik, kulit mereka cerah
bersih, berperangai halus, dan suara mereka merdu saat bernyanyi. Namun berbeda
dengan Puteri Dewi Teleng, ia adalah putri yang ke 4 dari ke lima puteri Raja,
ia tampak berkulit lebih gelap dari saudari-saudarinya. Ia juga tidak memiliki
suara semerdu yang lain. Dalam setiap kesempatan pesta kerajaan, hanya puteri
ke empat inilah yang tak pernah tampil untuk melantunkan lagu-lagu bagi para
tamu undangan. Setiap pesta, selalu pujian kekaguman tertuju hanya kepada ke
empat puteri cantik. Dewi Teleng hampir tak pernah mendapatkan perhatian
kekaguman seperti itu. Bahkan Raja Sokagada sendiri hampir tak pernah
memperkenalkan Puteri Dewi Teleng sebagai puterinya kepada para raja sahabatnya
karena tak ada hal yang bisa ia banggakan tentang puterinya itu.
Perlakuan ayahandanya maupun orang-orang
di sekitarnya itu, kadang membuat Puteri Dewi Teleng merasa rendah diri, ia tak
mau lagi belajar menari ataupun bernyanyi. Pernah ketika ia mencoba belajar
menari, orang-orang mentertawakannya karena gerakan tariannya demikian kaku dan
lucu. Apalagi saat belajar menyanyi, orang-orang mengatakan bahwa suaranya
merusak suara merdu keempat saudarinya. Bahkan Ia pernah mendengar ungkapan
bahwa keberadaannya bagaikan noda hitam pada susu sebelanga.
Ungkapan-ungkapan itu
membuatnya menjadi puteri yang pendiam dan lebih suka menenggelamkan diri pada
buku-buku di perpustakaan kerajaan. Baginya,
membaca buku merupakan hiburan yang menyenangkan, ia dapat mengetahui berbagai
ilmu dari seluruh dunia. Pikirannya dapat menjelajah setiap sudut ilmu tanpa
terganggu dengan pendapat orang lain tentang kekurangannya. Saat membaca, tak
seorangpun merendahkan keadaannya secara fisik dan membanding-bandingkan
dirinya dengan keempat saudarinya yang cantik. Tak satupun buku di ruangan itu
yang akan mentertawakannya. Buku-buku itu selalu setia menemaninya kapanpun ia
ingin membaca.
Kebiasaanya membaca buku,
membuat Puteri Dewi Teleng memiliki pengetahuan yang luas. Ia bisa menciptakan
ramuan perawatan untuk mempercantik para puteri, meskipun ia sendiri tidak suka
memakainya. Baginya, menghabiskan waktu sepanjang hari hanya untuk mempercantik
diri merupakan tindakan yang buang-buang waktu dan kurang berguna. Keahliannya
itu dimanfaatkan oleh saudari-saudarinya. Setiap kali mereka memiliki keluhan
tentang kecantikan, selalu mereka meminta Puteri Dewi Teleng untuk membuat
ramuan bagi mereka.
“Kakak Teleng, lihat kulitku
sedikit terbakar matahari, aku tadi berjalan di bawah terik tanpa payung!
Dayang pikun itu lupa membawakan payung. Tanganku menjadi belang, …. Berikan
aku ramuannya, aku tak mau gelap sepertimu,” kata Puteri Dewi Seruni, si
bungsu. Kata-kata itu sebenarnya menjengkelkan bagi Puteri Dewi Teleng, tetapi
ia memaklumi adiknya yang masih muda itu, pastilah ia belum pandai memilah
kata-kata mana agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Puteri Dewi Teleng segera ke dapur istana dan
membuat ramuan dari jagung muda, daun lidah buaya, umbi bengkoang dan
madu. Ia menjelaskan kepada dayang
Puteri Dewi Seruni tentang cara menggunakannya.
Ketiga kakaknya kadang lebih
menjengkelkan lagi. “Teleng! Apa kau tidak lihat rambutku mulai rontok, mana
ramuan untuk rambutku? Mengapa kau tidak siapkan? Apa kau iri dengan kecantikan
rambutku dan kau sengaja menyembunyikan ramuan itu untukmu sendiri? Mau diapain
juga kamu tidak akan bisa lebih cantik dariku!” Begitulah kata Puteri Dewi Mawar
suatu hari, ia adalah puteri ke 2 Sang Raja. Ungkapan-ungkapan seperti itu
sering diucapkan Puteri Dewi Mawar bersama si Sulung, Puteri Dewi Cempaka dan juga
Puteri ke tiga yaitu Puteri Dewi Melati.
Bagi mereka, kata-kata hinaan itu hanyalah bahan candaan yang
menyenangkan, tanpa mereka sadari bahwa kadang candaan mereka yang keterlaluan
benar-benar menyakiti perasaan Puteri Dewi Teleng.
Dengan sedih, Puteri Dewi
Teleng hanya bisa menangis di kamarnya dan berdoa semoga ia sanggup menghadapi
hinaan-hinaan itu tanpa harus merasa membenci siapapun. Pandangan matanya
kemudian tertambat pada sebuah pohon merambat berbunga biru di depan kamarnya.
Bunga biru yang seperti kupu-kupu itu adalah bunga teleng. Dayangnya pernah
menceritakan bahwa Puteri Dewi Teleng terlahir berkulit gelap kebiruan, karena
itulah ia diberi nama Dewi Teleng, sama seperti bunga itu yang terlihat gelap
dan biru. Berbeda dengan puteri yang lain, mereka lahir dengan kulit putih
bersih secantik bunga cempaka, atau mawar putih, atau melati, atau seruni. Puteri
Dewi Teleng memperhatikan keempat bunga itu, bunga cempaka, mawar putih, melati
dan seruni terlihat sangat cantik dengan warna cerah mereka. Bunga-bunga itu
juga memiliki tangkai yang kuat untuk membuat mahkota bunga tegak berdiri
menantang langit. Bunga-bunga itu adalah bunga-bunga yang sering dibutuhkan
untuk menghiasi pesta-pesta dan perayaan. Sedangkan bunga teleng, ia terlihat
biru gelap bagai biji yang terbelah dua. Pohonnya hanyalah sulur-sulur lemah
yang membutuhkan topangan. Tampak menyedihkan dibanding keempat bunga yang
lain. Ia tak pernah digunakan untuk memperindah pesta-pesta.
Puteri Dewi Teleng tak mau
larut dalam kesedihannya, ia berusaha berpikir positif sambil memperhatikan
keempat bunga itu. Ia mencari-cari apa kelebihan bunga teleng itu dibandingkan
bunga yang lain. Merubah bentuk dirinya
menjadi bunga yang lebih indah jelas tak mungkin karena Yang Maha Kuasa telah
menciptakan demikian adanya. Apapun yang telah diciptakan oleh-Nya adalah baik.
“Oh, …setidaknya, kau lebih tinggi berada di atas bunga-bunga lain saat merambat
di tembok istana. Tak ada bunga yang bisa memanjat begitu tinggi sepertimu..Keseluruhan
Istana yang tinggi ini terlihat cantik dari
kejauhan saat dihiasi olehmu. Kau memberikan warna yang lain bagi istana selain
warna putih saja.” Demikian pikir Puteri Dewi Teleng menghibur diri untuk
menghapus kesedihannya.
Suatu ketika, Kerajaan
digemparkan dengan mewabahnya sakit mata yang melanda penduduk. Penyakit ini
tak hanya menyerang kerajaan Gadaloka, namun juga melanda kerajaan-kerajaan
tetangga. Penyakit itu membuat pendangan menjadi buram seakan ada kotoran yang
menutupi penglihatan. Mereka juga merasakan pedih saat membuka mata. Banyak
penduduk yang kemudian tak dapat melakukan pekerjaannya. Para prajurit tak
dapat berjaga, para petani tak dapat ke ladang, para pedagang enggan pergi
berjualan. Keadaan kerajaan menjadi genting menghadapi penyakit mata yang baru
mereka kenali itu. Para tabib istana berkumpul untuk menyembuhkan namun tak
membuahkan hasil yang diharapkan. Getah pohon patikan kebo yang biasanya
digunakan mengobati mata merah tak mampu membuat mata penduduk itu menjadi
jernih kembali untuk melihat.
Raja bersedih memperhatikan
keadaan kerajaan. Jumlah prajurit yang berjaga tinggal sedikit, hal itu
berbahaya bagi keamanan kerajaan. Para petani tak dapat ke ladang, mereka
terancam gagal panen dan berbahaya terhadap ketahanan pangan kerajaan. Sang
Raja mondar-mandir dengan sedih mengetahui bahwa para tabib masih belum
berhasil. Mukanya muram dan tak berselera makan. Kesehatannya tampak menurun
dan kelelahan. Puteri Dewi Teleng memperhatikan ayahnya, meskipun ia tak begitu
dekat dengan ayahnya, namun ia merasa sedih melihat ayahnya tak bahagia. Kesedihannya
bertambah ketika keempat puteri cantiknya juga tertular penyakit itu. Mereka
hanya bisa menangis sambil mengeluh menuntut para tabib menyembuhkannya. Bahkan
mereka mulai mengumpat tabib-tabib yang tidak berhasil menyembuhkannya itu. Demi
kebahagiaan keluarganya, Puteri Dewi Teleng bertekad untuk melakukan apapun
agar penyakit itu bisa disembuhkan.
Puteri Dewi Teleng pergi ke
perpustakaan kerajaan, ia membaca semakin banyak buku khusus tentang
pengobatan, namun beberapa hari ia hampir tak tidur untuk belajar, ia tak dapat
menemukan jawabannya. Ia sangat kelelahan, dan hampir putus asa. Puteri Dewi
Teleng memejamkan mata, hati dan pikirannya mengarah kepada Yang Maha Kuasa
agar berkenan memberikan pertolongan. Sejenak setelah berdoa, iapun tertidur kelelahan. Puteri Dewi Teleng
tertidur di meja perpustakaan, tangannya masih memegang buku, kepalanya
tersandar di atas meja. Secercah cahaya lampu minyak menemaninya dari atas rak
buku. Dalam tidurnya ia bermimpi.
Puteri Dewi Teleng berjalan di
sebuah taman yang indah. Ribuan bunga mekar menghiasi taman itu menguarkan
semerbak harum yang menyenangkan. Ia terus menjelajahi taman itu hingga ke
pusatnya. Air terjun mengalir dari tebing dan tampaklah di sana, sebuah
singgasana indah berada di dekatnya. Manaranya begitu tinggi menaungi, seorang
peri cantik duduk di atas singgasana sambil meminum cairan berwarna biru. Peri
itu melambai memanggil Puteri Dewi Teleng. Dengan penuh keheranan Puteri Dewi
Teleng mendekat. Menara tinggi itu semakin jelas, warnanya putih bersih dan
berhias pohon bunga merambat. Bunga-bunga biru itu begitu indah bertengger di
atas latar putih. “Bunga Teleng!” seru Puteri Dewi Teleng ketika memperhatikan
bunga itu lebih dekat.
Peri cantik itu mengajak Dewi Teleng duduk di
singgasananya. Ia menawarkan minuman cairan biru itu dan juga beberapa potong
kue wajik biru. Sejenak ragu terbersit di benaknya. “Minumlah dan makanlah, ini
dirimu”, kata peri itu. Puteri Dewi Teleng mencicipi keduanya, rasanya sangat
enak. “Apa ini?” tanya Puteri Dewi Teleng. Peri cantik menunjukkan sepiring
bunga teleng ke hadapannya dan berkata, “ Jangan pernah lagi bersedih, aku peri
penjagamu. Telah tiba saatnya orang menghargai bukan hanya dari penampilan luar
saja. Sudah waktunya bagimu untuk menunjukkan bahwa yang berharga bukan hanya
yang terlihat indah. Pakailah bunga ini untuk menyembuhkan penyakit di
kerajaanmu.”
Puteri Dewi Teleng terbangun,
ia mengerjap-ngerjapkan mata mencari-cari peri cantik, namun hanya suasana
remang dengan ribuan buku di sekitarnya. “Ah…hanya mimpi..” bisik Puteri Dewi
Teleng. Ia beranjak bangun dan membereskan buku-bukunya. Di luar sana terdengar
ayam berkokok tanda fajar telah menggantikan malam. Puteri Dewi Teleng berjalan
menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Ketika melewati taman yang memisahkan
perpustakaan dengan kamarnya, beberapa bunga teleng terjatuh dari tangkainya
dan menimpa kepala Puteri Dewi Teleng. Bunga-bunga itu tampak biru indah
seperti dalam mimpinya. Puteri Dewi Teleng memungut bunga itu dan
memperhatikannya. Tiba-tiba ia tersentak, “Mengapa tak kucoba saja?” bisiknya
sambi berlari menuju tembok di depan kamarnya. Ia memanjat tembok itu untuk
memetik beberapa kuntum. Beberapa pelayan geleng-geleng kepala melihat kelakuan
sang Puteri. Di istana itu, sungguh tak pantas seorang puteri memanjat.
Seharusnya seorang puteri duduk manis dengan sikap lembut. Puteri Dewi Teleng tak
peduli, ia sudah biasa dianggap rendah oleh siapapun, namun kini tekadnya
adalah mengatasi masalah kerajaan. Ia segera membuat ramuan dari bunga teleng.
Air itu biru dan jernih, sari dari
bunga teleng. Puteri Dewi Teleng mencoba ramuan itu pada dayang terdekatnya. Ia
membasuh mata dayang yang sakit itu dengan sari bunga teleng. Hari berikutnya, dayang
itu bersorak gembira bahwa pandangan kabur di matanya menghilang. Tak ada lagi
pedih yang dirasakan saat membuka mata. “Aku sembuh!, aku sembuh!... Puteri
Dewi Teleng menyembuhkanku!” seru dayang itu dengan gembira sambil mengabarkan
kepada semua orang. Sang raja tergopoh-gopoh menemui puterinya yang jarang
diajaknya bicara itu. “Putriku, benarkah kau telah menemukan obat sakit mata
yang melanda kerajaan kita?”, kata Raja Sokagada kepada Puteri Dewi Teleng. Sang
puteri tertegun melihat ayahnya berkunjung ke kamarnya dan memanggil
‘Puteriku”. Kedua hal itu jarang sekali dilakukan olah ayahnya. Selama ini
dirinya bagai anak yang terlupakan. Hanya keempat puteri yang lainlah yang mendapat
perhatiannya. Puteri Dewi Teleng menatap ayahnya sambil berkaca-kaca. Mendapati
sikap diam Puteri Dewi Teleng yang penuh arti, Raja menyadari kesalahannya
selama ini. Ia sadar telah membedakan anak itu dari anaknya yang lain.
Keadaanya yang berbeda secara fisik dengan puteri yang lain dianggapnya tidak
memberi kebanggaan dan memalukan dihadapan teman-teman raja yang lain.
“Maafkan ayah selama ini tidak
memperhatikanmu…” kata Raja Sokagada meraih tangan puterinya. Puteri Dewi
Teleng tersenyum, ia senang sekali mendapat perhatian ayahnya seperti itu. Puteri
Dewi Teleng kemudian menceritakan ramuan bunga teleng buatannya. Dengan bantuan
para tabib dan pelayan, Puteri Dewi Teleng kemudian menyembuhkan seluruh
anggota istana. Puteri Dewi Teleng juga mengerahkan para tabib untuk
menyembuhkan penduduk. Penyakit mata itu berangsur hilang. Seluruh warga
kerajaan telah sembuh. Keberhasilan ini terdengar oleh kerajaan-kerajaan yang
lain. Mereka mengundang Puteri Dewi Teleng untuk membantu kerajaannya. Kini
semua orang tahu, Puteri Dewi Teleng adalah puteri Raja Sokagada yang pandai.
Mereka mengagumi kepandaian puteri itu melebihi puteri manapun.
Ketika seluruh kerajaan
berhasil menyembuhkan sakit mata yang mewabah, mereka merayakannya dengan pesta
antarkerajaan yang sangat meriah. Seluruh puteri Raja Sokagada diundang. Empat puteri
bertugas menyanyi dan menari dalam pesta itu. Dan Puteri Dewi Teleng, kini
diundang khusus untuk berbicara di depan seluruh yang hadir dan mendapatkan
penghargaan dari semua kerajaan yang berhasil disembuhkannya. Saat berdiri di
panggung dan menatap mata semua orang yang menyiratkan kekaguman, Puteri Dewi
Teleng merasa takjub. Dalam hati ia berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa
bahwa akhirnya ia bisa mengalami perasaan bangga itu. Tak lupa ia berbisik
untuk mengucapkan terima kasih kepada peri penjaganya yang sudah menunjukkan
cara menyembuhkan dalam mimpi.
Kini ayahnya menyambutnya
dengan kebanggaan saat Puteri Dewi Teleng turun dari panggung sambil mengenakan
mahkota penghargaan antarkerajaan. Saat sang Puteri duduk kembali di belakang
ayahnya, ia mendengar percakapan Raja Agungsi dengan ayahnya, “Wah…hebat sekali
puterimu yang satu ini, Raja Sokagada, kau sangat beruntung memilikinya…dialah
puteri terpandai yang pernah kukenal. Ah…sekarang aku benar-benar iri
padamu….!” Raja Sokagada tersenyum haru, puteri yang selama ini tak
diperhatikannya, telah memberikan kebanggaan luar biasa bagi dirinya dan
kerajaan Gadaloka. Sejak itu, sang raja selalu menekankan pengajaran kepada
siapapun untuk menghargai setiap orang bukan hanya dari penampilan fisiknya
saja karena kualitas seseorang tidak hanya ditentukan dari penampakan luar saja
melainkan apa yang ada dalam diri orang itulah yang lebih berharga.
Bagus ceritanya https://bit.ly/2yEJi0z
BalasHapusTerima kasih sudah membaca dan memberikan apresiasi terhadap tulisan saya, semoga bermanfaat. Sukses untuk anda.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus