Sabtu, 05 Mei 2018

PUTERI BUNGA TELENG

Cerita Anak, Dongeng Anak, cerita bijak, dongeng bijak, puteri, bunga teleng, bunga
Puteri Bunga Teleng


Pesta Kerajaan Gadaloka demikan meriah, hari itu adalah pesta untuk merayakan panen raya yang melimpah. Kerajaan mengundang tamu-tamu dari kerajaan lain di sekitarnya untuk menjalin persahabatan. Empat puteri cantik melantunkan lagu-lagu indah dengan suara mereka yang merdu. Gerakannya yang lemah gemulai semakin mempertegas rupa mereka yang begitu ayu. Decak kagum para tamu mengiringi setiap penampilan mereka. “Wah…luar biasa, beruntung sekali kau Raja Sokagada, kau memiliki empat puteri yang luar biasa cantik dan bersuara merdu! “ kata Raja  Agungsi kepada sahabatnya. Raja Sokagada hanya tersenyum bangga sambil mengucapkan terima kasih. Tak jauh di belakangnya, Puteri Dewi Teleng memalingkan wajah ke luar jendela dan berusaha tidak memperhatikan percakapan Raja Sokagada dengan teman-temannya. Ia lebih menikmati keindahan bunga biru di tembok istana yang merambat seperti semak belukar.

Sebenarnya, Raja Sokagada memiliki 5 orang puteri. Mereka adalah puteri yang cantik, kulit mereka cerah bersih, berperangai halus, dan suara mereka merdu saat bernyanyi. Namun berbeda dengan Puteri Dewi Teleng, ia adalah putri yang ke 4 dari ke lima puteri Raja, ia tampak berkulit lebih gelap dari saudari-saudarinya. Ia juga tidak memiliki suara semerdu yang lain. Dalam setiap kesempatan pesta kerajaan, hanya puteri ke empat inilah yang tak pernah tampil untuk melantunkan lagu-lagu bagi para tamu undangan. Setiap pesta, selalu pujian kekaguman tertuju hanya kepada ke empat puteri cantik. Dewi Teleng hampir tak pernah mendapatkan perhatian kekaguman seperti itu. Bahkan Raja Sokagada sendiri hampir tak pernah memperkenalkan Puteri Dewi Teleng sebagai puterinya kepada para raja sahabatnya karena tak ada hal yang bisa ia banggakan tentang puterinya itu.

Perlakuan ayahandanya maupun orang-orang di sekitarnya itu, kadang membuat Puteri Dewi Teleng merasa rendah diri, ia tak mau lagi belajar menari ataupun bernyanyi. Pernah ketika ia mencoba belajar menari, orang-orang mentertawakannya karena gerakan tariannya demikian kaku dan lucu. Apalagi saat belajar menyanyi, orang-orang mengatakan bahwa suaranya merusak suara merdu keempat saudarinya. Bahkan Ia pernah mendengar ungkapan bahwa keberadaannya bagaikan noda hitam pada susu sebelanga.

Ungkapan-ungkapan itu membuatnya menjadi puteri yang pendiam dan lebih suka menenggelamkan diri pada buku-buku di perpustakaan kerajaan.  Baginya, membaca buku merupakan hiburan yang menyenangkan, ia dapat mengetahui berbagai ilmu dari seluruh dunia. Pikirannya dapat menjelajah setiap sudut ilmu tanpa terganggu dengan pendapat orang lain tentang kekurangannya. Saat membaca, tak seorangpun merendahkan keadaannya secara fisik dan membanding-bandingkan dirinya dengan keempat saudarinya yang cantik. Tak satupun buku di ruangan itu yang akan mentertawakannya. Buku-buku itu selalu setia menemaninya kapanpun ia ingin membaca.

Kebiasaanya membaca buku, membuat Puteri Dewi Teleng memiliki pengetahuan yang luas. Ia bisa menciptakan ramuan perawatan untuk mempercantik para puteri, meskipun ia sendiri tidak suka memakainya. Baginya, menghabiskan waktu sepanjang hari hanya untuk mempercantik diri merupakan tindakan yang buang-buang waktu dan kurang berguna. Keahliannya itu dimanfaatkan oleh saudari-saudarinya. Setiap kali mereka memiliki keluhan tentang kecantikan, selalu mereka meminta Puteri Dewi Teleng untuk membuat ramuan bagi mereka.

“Kakak Teleng, lihat kulitku sedikit terbakar matahari, aku tadi berjalan di bawah terik tanpa payung! Dayang pikun itu lupa membawakan payung. Tanganku menjadi belang, …. Berikan aku ramuannya, aku tak mau gelap sepertimu,” kata Puteri Dewi Seruni, si bungsu. Kata-kata itu sebenarnya menjengkelkan bagi Puteri Dewi Teleng, tetapi ia memaklumi adiknya yang masih muda itu, pastilah ia belum pandai memilah kata-kata mana agar tidak menyinggung perasaan orang lain.  Puteri Dewi Teleng segera ke dapur istana dan membuat ramuan dari jagung muda, daun lidah buaya, umbi bengkoang dan madu.  Ia menjelaskan kepada dayang Puteri Dewi Seruni tentang cara menggunakannya.

Ketiga kakaknya kadang lebih menjengkelkan lagi. “Teleng! Apa kau tidak lihat rambutku mulai rontok, mana ramuan untuk rambutku? Mengapa kau tidak siapkan? Apa kau iri dengan kecantikan rambutku dan kau sengaja menyembunyikan ramuan itu untukmu sendiri? Mau diapain juga kamu tidak akan bisa lebih cantik dariku!” Begitulah kata Puteri Dewi Mawar suatu hari, ia adalah puteri ke 2 Sang Raja. Ungkapan-ungkapan seperti itu sering diucapkan Puteri Dewi Mawar bersama si Sulung, Puteri Dewi Cempaka dan juga Puteri ke tiga yaitu Puteri Dewi Melati.  Bagi mereka, kata-kata hinaan itu hanyalah bahan candaan yang menyenangkan, tanpa mereka sadari bahwa kadang candaan mereka yang keterlaluan benar-benar menyakiti perasaan Puteri Dewi Teleng.

Dengan sedih, Puteri Dewi Teleng hanya bisa menangis di kamarnya dan berdoa semoga ia sanggup menghadapi hinaan-hinaan itu tanpa harus merasa membenci siapapun. Pandangan matanya kemudian tertambat pada sebuah pohon merambat berbunga biru di depan kamarnya. Bunga biru yang seperti kupu-kupu itu adalah bunga teleng. Dayangnya pernah menceritakan bahwa Puteri Dewi Teleng terlahir berkulit gelap kebiruan, karena itulah ia diberi nama Dewi Teleng, sama seperti bunga itu yang terlihat gelap dan biru. Berbeda dengan puteri yang lain, mereka lahir dengan kulit putih bersih secantik bunga cempaka, atau mawar putih, atau melati, atau seruni. Puteri Dewi Teleng memperhatikan keempat bunga itu, bunga cempaka, mawar putih, melati dan seruni terlihat sangat cantik dengan warna cerah mereka. Bunga-bunga itu juga memiliki tangkai yang kuat untuk membuat mahkota bunga tegak berdiri menantang langit. Bunga-bunga itu adalah bunga-bunga yang sering dibutuhkan untuk menghiasi pesta-pesta dan perayaan. Sedangkan bunga teleng, ia terlihat biru gelap bagai biji yang terbelah dua. Pohonnya hanyalah sulur-sulur lemah yang membutuhkan topangan. Tampak menyedihkan dibanding keempat bunga yang lain. Ia tak pernah digunakan untuk memperindah pesta-pesta.

Puteri Dewi Teleng tak mau larut dalam kesedihannya, ia berusaha berpikir positif sambil memperhatikan keempat bunga itu. Ia mencari-cari apa kelebihan bunga teleng itu dibandingkan bunga  yang lain. Merubah bentuk dirinya menjadi bunga yang lebih indah jelas tak mungkin karena Yang Maha Kuasa telah menciptakan demikian adanya. Apapun yang telah diciptakan oleh-Nya adalah baik. “Oh, …setidaknya, kau lebih tinggi berada di atas bunga-bunga lain saat merambat di tembok istana. Tak ada bunga yang bisa memanjat begitu tinggi sepertimu..Keseluruhan Istana yang tinggi  ini terlihat cantik dari kejauhan saat dihiasi olehmu. Kau memberikan warna yang lain bagi istana selain warna putih saja.” Demikian pikir Puteri Dewi Teleng menghibur diri untuk menghapus kesedihannya.

Suatu ketika, Kerajaan digemparkan dengan mewabahnya sakit mata yang melanda penduduk. Penyakit ini tak hanya menyerang kerajaan Gadaloka, namun juga melanda kerajaan-kerajaan tetangga. Penyakit itu membuat pendangan menjadi buram seakan ada kotoran yang menutupi penglihatan. Mereka juga merasakan pedih saat membuka mata. Banyak penduduk yang kemudian tak dapat melakukan pekerjaannya. Para prajurit tak dapat berjaga, para petani tak dapat ke ladang, para pedagang enggan pergi berjualan. Keadaan kerajaan menjadi genting menghadapi penyakit mata yang baru mereka kenali itu. Para tabib istana berkumpul untuk menyembuhkan namun tak membuahkan hasil yang diharapkan. Getah pohon patikan kebo yang biasanya digunakan mengobati mata merah tak mampu membuat mata penduduk itu menjadi jernih kembali untuk melihat.

Raja bersedih memperhatikan keadaan kerajaan. Jumlah prajurit yang berjaga tinggal sedikit, hal itu berbahaya bagi keamanan kerajaan. Para petani tak dapat ke ladang, mereka terancam gagal panen dan berbahaya terhadap ketahanan pangan kerajaan. Sang Raja mondar-mandir dengan sedih mengetahui bahwa para tabib masih belum berhasil. Mukanya muram dan tak berselera makan. Kesehatannya tampak menurun dan kelelahan. Puteri Dewi Teleng memperhatikan ayahnya, meskipun ia tak begitu dekat dengan ayahnya, namun ia merasa sedih melihat ayahnya tak bahagia. Kesedihannya bertambah ketika keempat puteri cantiknya juga tertular penyakit itu. Mereka hanya bisa menangis sambil mengeluh menuntut para tabib menyembuhkannya. Bahkan mereka mulai mengumpat tabib-tabib yang tidak berhasil menyembuhkannya itu. Demi kebahagiaan keluarganya, Puteri Dewi Teleng bertekad untuk melakukan apapun agar penyakit itu bisa disembuhkan.

Puteri Dewi Teleng pergi ke perpustakaan kerajaan, ia membaca semakin banyak buku khusus tentang pengobatan, namun beberapa hari ia hampir tak tidur untuk belajar, ia tak dapat menemukan jawabannya. Ia sangat kelelahan, dan hampir putus asa. Puteri Dewi Teleng memejamkan mata, hati dan pikirannya mengarah kepada Yang Maha Kuasa agar berkenan memberikan pertolongan. Sejenak setelah berdoa, iapun  tertidur kelelahan. Puteri Dewi Teleng tertidur di meja perpustakaan, tangannya masih memegang buku, kepalanya tersandar di atas meja. Secercah cahaya lampu minyak menemaninya dari atas rak buku. Dalam tidurnya ia bermimpi.

Puteri Dewi Teleng berjalan di sebuah taman yang indah. Ribuan bunga mekar menghiasi taman itu menguarkan semerbak harum yang menyenangkan. Ia terus menjelajahi taman itu hingga ke pusatnya. Air terjun mengalir dari tebing dan tampaklah di sana, sebuah singgasana indah berada di dekatnya. Manaranya begitu tinggi menaungi, seorang peri cantik duduk di atas singgasana sambil meminum cairan berwarna biru. Peri itu melambai memanggil Puteri Dewi Teleng. Dengan penuh keheranan Puteri Dewi Teleng mendekat. Menara tinggi itu semakin jelas, warnanya putih bersih dan berhias pohon bunga merambat. Bunga-bunga biru itu begitu indah bertengger di atas latar putih. “Bunga Teleng!” seru Puteri Dewi Teleng ketika memperhatikan bunga itu lebih dekat. 

Peri cantik itu mengajak Dewi Teleng duduk di singgasananya. Ia menawarkan minuman cairan biru itu dan juga beberapa potong kue wajik biru. Sejenak ragu terbersit di benaknya. “Minumlah dan makanlah, ini dirimu”, kata peri itu. Puteri Dewi Teleng mencicipi keduanya, rasanya sangat enak. “Apa ini?” tanya Puteri Dewi Teleng. Peri cantik menunjukkan sepiring bunga teleng ke hadapannya dan berkata, “ Jangan pernah lagi bersedih, aku peri penjagamu. Telah tiba saatnya orang menghargai bukan hanya dari penampilan luar saja. Sudah waktunya bagimu untuk menunjukkan bahwa yang berharga bukan hanya yang terlihat indah. Pakailah bunga ini untuk menyembuhkan penyakit di kerajaanmu.”

Puteri Dewi Teleng terbangun, ia mengerjap-ngerjapkan mata mencari-cari peri cantik, namun hanya suasana remang dengan ribuan buku di sekitarnya. “Ah…hanya mimpi..” bisik Puteri Dewi Teleng. Ia beranjak bangun dan membereskan buku-bukunya. Di luar sana terdengar ayam berkokok tanda fajar telah menggantikan malam. Puteri Dewi Teleng berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Ketika melewati taman yang memisahkan perpustakaan dengan kamarnya, beberapa bunga teleng terjatuh dari tangkainya dan menimpa kepala Puteri Dewi Teleng. Bunga-bunga itu tampak biru indah seperti dalam mimpinya. Puteri Dewi Teleng memungut bunga itu dan memperhatikannya. Tiba-tiba ia tersentak, “Mengapa tak kucoba saja?” bisiknya sambi berlari menuju tembok di depan kamarnya. Ia memanjat tembok itu untuk memetik beberapa kuntum. Beberapa pelayan geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang Puteri. Di istana itu, sungguh tak pantas seorang puteri memanjat. Seharusnya seorang puteri duduk manis dengan sikap lembut. Puteri Dewi Teleng tak peduli, ia sudah biasa dianggap rendah oleh siapapun, namun kini tekadnya adalah mengatasi masalah kerajaan. Ia segera membuat ramuan dari bunga teleng.

Air itu biru dan jernih, sari dari bunga teleng. Puteri Dewi Teleng mencoba ramuan itu pada dayang terdekatnya. Ia membasuh mata dayang yang sakit itu dengan sari bunga teleng. Hari berikutnya, dayang itu bersorak gembira bahwa pandangan kabur di matanya menghilang. Tak ada lagi pedih yang dirasakan saat membuka mata. “Aku sembuh!, aku sembuh!... Puteri Dewi Teleng menyembuhkanku!” seru dayang itu dengan gembira sambil mengabarkan kepada semua orang. Sang raja tergopoh-gopoh menemui puterinya yang jarang diajaknya bicara itu. “Putriku, benarkah kau telah menemukan obat sakit mata yang melanda kerajaan kita?”, kata Raja Sokagada kepada Puteri Dewi Teleng. Sang puteri tertegun melihat ayahnya berkunjung ke kamarnya dan memanggil ‘Puteriku”. Kedua hal itu jarang sekali dilakukan olah ayahnya. Selama ini dirinya bagai anak yang terlupakan. Hanya keempat puteri yang lainlah yang mendapat perhatiannya. Puteri Dewi Teleng menatap ayahnya sambil berkaca-kaca. Mendapati sikap diam Puteri Dewi Teleng yang penuh arti, Raja menyadari kesalahannya selama ini. Ia sadar telah membedakan anak itu dari anaknya yang lain. Keadaanya yang berbeda secara fisik dengan puteri yang lain dianggapnya tidak memberi kebanggaan dan memalukan dihadapan teman-teman raja yang lain.

“Maafkan ayah selama ini tidak memperhatikanmu…” kata Raja Sokagada meraih tangan puterinya. Puteri Dewi Teleng tersenyum, ia senang sekali mendapat perhatian ayahnya seperti itu. Puteri Dewi Teleng kemudian menceritakan ramuan bunga teleng buatannya. Dengan bantuan para tabib dan pelayan, Puteri Dewi Teleng kemudian menyembuhkan seluruh anggota istana. Puteri Dewi Teleng juga mengerahkan para tabib untuk menyembuhkan penduduk. Penyakit mata itu berangsur hilang. Seluruh warga kerajaan telah sembuh. Keberhasilan ini terdengar oleh kerajaan-kerajaan yang lain. Mereka mengundang Puteri Dewi Teleng untuk membantu kerajaannya. Kini semua orang tahu, Puteri Dewi Teleng adalah puteri Raja Sokagada yang pandai. Mereka mengagumi kepandaian puteri itu melebihi puteri manapun.

Ketika seluruh kerajaan berhasil menyembuhkan sakit mata yang mewabah, mereka merayakannya dengan pesta antarkerajaan yang sangat meriah. Seluruh puteri Raja Sokagada diundang. Empat puteri bertugas menyanyi dan menari dalam pesta itu. Dan Puteri Dewi Teleng, kini diundang khusus untuk berbicara di depan seluruh yang hadir dan mendapatkan penghargaan dari semua kerajaan yang berhasil disembuhkannya. Saat berdiri di panggung dan menatap mata semua orang yang menyiratkan kekaguman, Puteri Dewi Teleng merasa takjub. Dalam hati ia berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa bahwa akhirnya ia bisa mengalami perasaan bangga itu. Tak lupa ia berbisik untuk mengucapkan terima kasih kepada peri penjaganya yang sudah menunjukkan cara menyembuhkan dalam mimpi.

Kini ayahnya menyambutnya dengan kebanggaan saat Puteri Dewi Teleng turun dari panggung sambil mengenakan mahkota penghargaan antarkerajaan. Saat sang Puteri duduk kembali di belakang ayahnya, ia mendengar percakapan Raja Agungsi dengan ayahnya, “Wah…hebat sekali puterimu yang satu ini, Raja Sokagada, kau sangat beruntung memilikinya…dialah puteri terpandai yang pernah kukenal. Ah…sekarang aku benar-benar iri padamu….!” Raja Sokagada tersenyum haru, puteri yang selama ini tak diperhatikannya, telah memberikan kebanggaan luar biasa bagi dirinya dan kerajaan Gadaloka. Sejak itu, sang raja selalu menekankan pengajaran kepada siapapun untuk menghargai setiap orang bukan hanya dari penampilan fisiknya saja karena kualitas seseorang tidak hanya ditentukan dari penampakan luar saja melainkan apa yang ada dalam diri orang itulah yang lebih berharga.


3 komentar:

  1. Bagus ceritanya https://bit.ly/2yEJi0z

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah membaca dan memberikan apresiasi terhadap tulisan saya, semoga bermanfaat. Sukses untuk anda.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus