Anai-anai Pemenang |
Hari Mahkota sudah dekat, angin
kering mulai terasa lembab bertiup menyapa liang rayap. Seekor rayap raja baru
saja memeriksa hembusan angin yang melintas di depan kerajaannya. “Angin sudah
mulai lembab, musim hujan sebentar lagi tiba. Begitu hujan pertama turun, pesta
hari Mahkota kita mulai, persiapkan semua anai-anai putri dan pangeran untuk
petualangan mereka!”, kata yang mulia rayap kepada para pekerja dan
prajuritnya.
Hari Mahkota adalah hari di mana para
rayap bersayap yang disebut anai-anai, keluar dari sarang untuk menunjukkan
kelincahan dan kemampuan terbangnya menghindari berbagai bahaya di luar sarang.
Mereka adalah rayap calon raja dan ratu yang harus pergi membentuk koloni baru
kerajaan rayap. Anai-anai yang berhasil terbang paling lama dan berhasil
menghindari berbagai bahaya, merekalah pemenang yang akan membangun kerajaan
rayap yang baru.
Hujan pertama di musim itu mulai
turun. Rintik-rintiknya melaju menghunjam bumi menciptakan music air yang
indah. Sang raja memberi tanda bahwa perayaan hari mahkota akan dimulai begitu
hujan selesai turun. Persiapan hari Mahkota hampir usai. Liang-liang rayap
dipersiapkan sebagai pintu gerbang keluarnya anai-anai. Mereka menghiasi pintu
gerbang dengan berbagai ukiran tanah dan jamur-jamur berwarna warni. Rayap
pekerja sibuk menyipkan para putri dan pangeran yang akan mengikuti lomba
terbang. Mereka membersihkan sayap-sayap, menghias para putri dan pangeran dengan
berbagai pernak-pernik. Berbagai hidangan selulosa kayu disajikan di ruangan
pesta. Para kepala pekerja berteriak-teriak sibuk memberi perintah. Hiruk pikuk
persiapan pesta mewarnai seluruh kerajaan.
Seekor rayap putri yang bertubuh
kecil dan berwarna putih kecoklatan melewatkan waktu berdandannya untuk
berjalan-jalan melihat persiapan. Ia lebih suka mengamati cara para rayap
pekerja menyelesaikan pekerjaan mereka. Sungguh mengagumkan, semua rayap
peekrja itu buta, tetapi mereka dapat menyelesaikan pekerjaan tanpa kesalahan.
Mereka hanya mengandalkan penciuman untuk menemukan makanan dan mencari jalan
yang tepat ke tempat yang dituju. Tak ada kata lelah untuk mereka meskipun
bekerja sepanjang waktu tanpa tidur.
“Larin, apa yang kau lakukan di sini nak? Tidakkah
kau seharusnya di kamarmu untuk mempersiapkan diri? Semua saudarimu sedang
bersolek secantik mungkin.” Sebuah suara berat menegur anai-anai putri yang
bernama Larin itu. Putri Larin terkejut, namun ia segera tersenyum cerah
melihat ayahnyalah yang baru saja menegurnya. Dengan manja ia mendekati
ayahnya, “Aku sudah cantik ayah, tak perlu bersolek lagi….” Kata putri itu
sambil tertawa. Sang raja hanya bisa menggeleng kepala sambil tersenyum. Tak
dapat dipungkiri, putri Larin memang sangat cantik meskipun tanpa bersolek.
Sifatnya periang dan suka tersenyum. Ia ramah kepada semua penghuni kerajaan
dan tak segan-segan ia membantu para pekerja di sekitarnya.
“Apa yang menarik bagimu sampai kau
melewatkan waktu bersolekmu nak? Tidakkah kau lihat, hujan sudah turun dengan
deras hari ini. Begitu hujan berhenti, kita akan membuka acara hari Mahkota dan
melepas kalian keluar sarang.” Tanya sang raja kepada putrinya. Dengan tetap
tersenyum, Putri Larin menggandeng tangan ayahnya, ia menunjuk kea rah para pekerja
yang sedang sibuk. “Lihat ayah, betapa hebatnya mereka melakukan tugas. Dengan
kedua mata yang buta, mereka terus bekerja tanpa kesalahan. Mereka juga tak
pernah lelah melayani kerajaan meskipun tak pernah tidur. Jika aku memiliki
kerajaanku sendiri nanti, aku harus bisa membimbing mereka ke tempat yang penuh
makanan. Aku juga akan melindungi mereka dengan melatih para prajurit hebat. “
Sang raja tersenyum mendengar
perkataan putrinya. Ia menyentuh dagu putrinya yang lancip. Sambil menatap ia
memberi nasehat, “Putriku, kau sungguh berbeda dari semua saudarimu, kau tidak
mementingkan diri sendiri dan lebih memperhatikan kepentingan orang lain. Ayah
harap, kaulah nanti yang akan berhasil memenangkan mahkotamu. Temukan
pasanganmu yang tepat dari para pangeran yang tinggal di sayap barat, dan
buatlah kerajaan baru yang hebat melebihi kerajaanku.” Sang putri mengangguk tanda mengerti. Ia
memeluk ayahnya dan mengucapkan terima kasih. Sang raja segera berlalu
meninggalkan sayap timur istana tempat kediaman para puteri, dan berjalan
menuju istana sayap barat yang menjadi tempat kediaman para pangeran.
Puteri Larin diam-diam mengikuti
ayahnya. Ia sangat penasaran ingin tahu seperti apa istana sayap barat. Ia juga
ingin tahu, seperti apa wajah para pangeran. Sejak lahir mereka dipisahkan di
istana masing-masing. Para puteri ditempatkan di istana sayap timur dan para
pangeran ditempatkan di istana sayap barat. Mereka tak pernah saling bertemu
satu sama lain. Para putri dan pangeran baru diijinkan bertemu pada hari Mahkota
untuk mencari pasangannya.
Kedua istana itu dipisahkan oleh
sebuah lorong yang dijaga oleh banyak penjaga. Puteri Larin mengendap-endap
mendekati lorong itu. Para penjaga mulai mengendus untuk memeriksa. Mereka
buta, namun penciuman mereka yang sangat tajam sering kali melebihi kemampuan
penglihatan rayap putri. Puteri Larin sadar, jika ia mendekati mereka, pastilah
rayap penjaga itu akan segera mengenali bau sang puteri. Mereka akan
menghalangi langkahnya dan menyuruh puteri Larin kembali ke istana sayap timur.
Tetapi Puteri Larin sangat cerdik. Saat memeluk ayahnya tadi, ia sempat
mengambil cairan bau ayahnya dan mengoleskannya ke seluruh tubuhnya. Dengan
hati-hati Puteri Larin mendekati lorong itu. Para penjaga mengendus, tampak
sejenak ia keheranan, tapi kemudian memberi hormat dan mempersilahkan puteri
Larin yang disangkanya sang Raja. Puteri Larin berlalu tanpa berkata apapun.
“Bukankan tadi yang mulia raja sudah melewati lorong ini? Bagaimana bisa yang
mulia kembali dari arah sayap timur?” tanya seorang penjaga kepada temannya.
Teman penjaganya itu hanya mengangkat kedua bahunya dan menghentakkan tombak
yang mengisyaratkan bahwa ia juga bingung.
Puteri Larin menyusuri lorong menuju
sayap Barat. Ia mengikuti bayangan ayahnya dengan hati-hati dan sesekali
bersembunyi di balik tonjolan batu. Di sebuah belokan, bayangan ayahnya
menghilang. Puteri Larin segera mengikutinya agar tak kehilangan jejak. Namun
baru saja ia memasuki tikungan ia bertabrakan dengan keras dan terjatuh. “Auw!’
Seru lirih sang puteri memegangi keningnya yang terasa sakit. “Ah! Siapa kau?!
Apa yang kau lakukan di sini!” seru sebuah suara di hadapannya. Sebentuk
bayangan rayap bersayap berdiri di hadapan Puteri Larin. Suaranya berat seperti
ayahnya dan perawakannya tinggi lebih tinggi dari ayahnya. Puteri Larin melirik
ke arah sosok itu. Ia memperhatikan dengan seksama. Anai-anai itu berbeda dari
para saudarinya. Ia tak punya antenna lembut seorang puteri. Tetapi di atas
kepalanya menjulang semacam tanduk runcing seperti ayahnya. Sosok itupun
memperhatikan Puteri Larin, iapun tampak mengamati perbedaan antara mereka.
Keduanya saling bertatapan. “Apa…kau …seorang puteri?” tanya anai-anai
jangkung itu. Puteri Larin mengangguk dengan gugup. Ia takut ketahuan menerobos
istana barat dan dipersalahkan. Tiba-tiba anai-anai jangkung itu menarik Puteri
Larin merapat ke balik tonjolan batu. Ia memberi tanda kepada Puteri untuk
diam. Ternyata ada dua orang penjaga yang melewati lorong itu. Mereka diam dengan
perasaan berdebar-debar takut ketahuan. ketika penjaga itu berlalu tanpa
mengetahui keberadaan mereka, barulah mereka merasa lega.
“Namaku Laron, aku pangeran dari
sayap barat.” Kata anai-anai jangkung itu memperkenalkan diri. “Namaku Larin,
puteri dari sayap timur.” Balas puteri memperkenalkan diri. “Kau juga suka
menyusup sepertiku?” tanya Pangeran Laron. Puteri mengangguk, kemudian mereka
tertawa bersama. Sejenak mereka saling menceritakan petualangan mereka di
istana untuk memenuhi semua rasa ingin tahu mereka. Namun tak lama kemudian, terdengar
bunyi sangkakala yang menandakan bahwa perayaan hari mahkota dimulai. Para
pangeran dan puteri harus berkumpul di runag utama untuk memulai petualangan
mereka. Pangeran Laron dan Puteri Larin segera terbang menuju ruang utama.
Sepanjang lorong itu mereka berlomba untuk bisa sampai ke ruang utama terlebih
dahulu.
Sang Raja membuka acara Hari Mahkota
dengan memeberikan beberapa nasehat tentang menjadi seorang raja dan ratu,
bahwa menjadi pemimpin bukan untuk dilayani oleh para pekerja tetapi harus melayani
seluruh koloni dengan segala kebaikan dan kepandaian. Petualangan yang harus
mereka jalankan di luar istana mengandung bahaya yang bisa berujung pada
kematian. Mereka harus berjuang untuk tetap hidup dan membangun kerajaan baru.
Waktu terbangpun tiba. Mereka
berbaris untuk melewati pintu gerbang keluar istana satu per satu. “Aku akan
mengalahkanmu” bisik pangeran Laron kepada puteri Larin sejenak sebelum keluar
gerbang. Putri Larin hanya menyeringai dan membalas, “Kita lihat saja nanti.. “
Mereka saling tersenyum dengan harapan keberhasilan masing-masing.
Ribuan anai-anai terbang keluar dari
sarang mereka. Udara malam itu begitu dingin setelah hujan turun mengguyur
seharian. Ketika berada di dalam sarang,
Anai-anai sudah terbiasa dengan beraktivitas tanpa cahaya. Tapi malam itu, tak
jauh dari sarang mereka tampak cahaya putih yang besar memendar menjulurkan
sinarnya. Seakan mengundang, cahaya itu memberikan pesona untuk didatangi.
Ribuan anai-anai itu berlomba menuju cahaya lampu penduduk yang tinggal tak
jauh dari sarang rayap. Para pangeran dan puteri rayap itu begitu gembira
mengepakkan kedua sayap, merasakan kibasan angin, dan menikmati indahnya cahaya
yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
Pangeran Laron melesat ingin menjadi
juara sampai ke lampu itu. Ia terbang dengan cepat mendahului anai-anai lain.
Belum lagi ia mendekat, tiba-tiba seekor anai-anai lain menabraknya. Mereka
berdua jatuh ke tanah. “Hei! Apa kau tak bisa terbang?” seru pangeran dengan
sangat jengkel. Anai-anai yang baru saja menabraknya itu berusaha berdiri
sempoyongan. Begitu pangeran melihat wajah anai-anai yang menabraknya itu, ia
kembali mengeluh,”Ya ampun! Ternyata kau! Larin! Apa kau tidak punya kebiasaan
lain selain menabrakku? Tadi kau menabrakku di lorong, sekarang kau menabrakku
saat terbang!” Puteri Larin memperhatikan kekesalan pangeran Laron dan ia hanya
bisa meminta maaf. Kekesalan Pangeran Laron belum usai, sambil menunjuk ke arah
lampu itu ia masih mengomel menyalahkan Puteri Larin yang menurutnya menjadi
penyebab kegagalannya menjadi anai-anai pertama yang mencapai cahaya itu.
“Lihat!..sekarang aku menjadi yang terakhir mencapai cahaya itu! Kau membuatku
kalah dari…..Oh!....” belum sempat Pangeran Laron menyelesaikan kalimatnya,
tiba-tiba terdengar jeritan para anai-anai yang mencapai lampu itu terlebih
dahulu. Beberapa cicak besar menangkap mereka dan memakannya. Mereka kalang
kabut menjauhi tembok, namun dari arah udara beberapa kelelawar menyambar
dengan cepat hingga banyak anai-anai yang menjadi santapan mereka. Menyadari
bahaya dari tembok dekat cahaya dan juga dari udara, beberapa anai-anai hinggap
di tanah. Namun… nasib merekapun tak kalah menyedihkan. Beberapa ekor katak
telah siap dengan tembakan-tembakan lidah lengket mereka. Beberapa ayam pun
terlihat bangun dari tidurnya dan ikut berpesta makanan lezat anai-anai
terbang.
Ketika Pangeran Laron dan Puteri
Larin terkejut dengan pemandangan mengerikan di hadapan mereka, tiba-tiba tanah
yang mereka pijak bergetar disusul suara keras mendekati ke arah mereka. Suara
itu semakin mendekat, sebentuk makhluk yang sangat besar dan tinggi dengan kaki
yang sangat lebar keluar dari balik tembok menuju ke arah cahaya itu. Hampir
saja pangeran dan puteri terinjak makhluk itu. Untung saja Puteri Larin segera
menarik Pangeran untuk terbang menghindar. “Itu manusia!” kata Puteri Larin.
“Ayah pernah menceritakannya padaku” tambahnya menjelaskan. Manusia itu
menangkap banyak anai-anai dengan tangannya yang besar dan memasukkan mereka ke
dalam sebuah kantong. Tak lama kemudian beberapa manusia lain bergabung dan
menangkapi anai-anai. Puteri Larin dan
Pangeran terus terbang setinggi mungkin, namun tiba-tiba, seekor kelelawar
menuju ke arah mereka. Dengan cepat
Pangeran Laron menarik Puteri terbang ke bawah sebuah daun yang kebetulan jatuh
dari dahan. Mereka melekat di bawah daun itu dan ikut terjatuh ke tanah. Kelelawar
itu tak dapat mengenali kedua anai-anai yang terhalang daun. Ia melesat pergi
ke arah lampu yang masih dikerumuni banyak anai-anai.
Puteri larin dan Pangeran Laron
tertindih daun kering, salah satu sayap sang puteri patah. Ia merintih sedih
tak mampu menggerakkan sayapnya lagi. “Lepaskan saja sayapmu, terlalu berbahaya
bagi kita untuk terbang, binatang terbang itu banyak sekali.” Kata pangeran
Laron. Kedua anai-anai itu kemudian melepaskan sayap mereka. Berdua mereka merayap di antara sampah-sampah
daun kering. Belum jauh mereka pergi, seekor kadal menghadang mereka dan siap
mematuk. Dengan panik mereka berlari menyelinap di antara daun. Kadal itu
bergerak cepat sekali, tetapi sulit menemukan kedua anai-anai itu karena banyak
daun kering yang dapat menutupi mereka.
Suatu ketika kadal itu hampir
menyantap mereka dengan cepat. Pangeran Laron dan puteri Larin sanygat
terkejut, mereka pikir saat itu takan ada kesempatan lagi untuk menghindar dan
mereka akan berakhir menjadi santapan kadal. Namun keberuntungan masih berada
di pihak anai-anai itu, ada sebuah
lubang kecil di bawah daun yang mereka pijak. Pangeran Laron segera
membalikkan daun kecil itu dan menarik Puteri Larin masuk ke dalam lubang kecil
di tanah. Kadal itu melompat menggapai mereka namun lubang itu terlalu sempit
bagi kadal. Pangeran dan Puteri terus memasuki lubang kecil itu, mereka
menghindari juluran lidah kadal yang berusaha menangkap mereka dalam lubang.
Hampir saja mereka tertangkap, namun pangeran Laron berhasil menemukan sebuah
duri dan menancapkannya ke lidah kadal. Rasa sakit yang luar biasa membuat
kadal itu menarik lidahnya dari lubang dan lari meninggalkan kedua anai-anai
itu.
Hujan kembali turun dengan deras.
Binatang-binatang malam yang menyerang anai-anai kabur menuju sarang
masing-masing untuk berteduh. Anai-anai terbang yang masih tersisa, jatuh
tertimpa butiran air hujan yang deras. Banyak anai-anai mati menjadi santapan
binatang dan manusia. Mereka juga mati terguyur hujan. Hanya sedikit sekali
yang bisa bertahan hidup. Puteri Larin menangis melihat saudara-saudaranya mati. Pangeran Laronpun tercenung mendapatkan
pengalaman itu. Pesta hari Mahkota yang disangkanya merupakan sebuah
kesenangan, ternyata adalah suatu perjuangan yang berat. Namun itulah yang
harus mereka hadapi sebagai anai-anai terbang.
“Larin, inilah perjalanan hidup yang
harus dialami oleh semua anai-anai. Hapuslah kesedihanmu, saatnya bagi kita
untuk bangkit dan melangkah ke depan. Tugas kita masih banyak. Kita harus
menemukan tempat yang tepat untuk membangun kerajaan baru.” Kata Pangeran Laron
menghibur. Puteri Larin menghapus air matanya. Ia merenungkan kata-kata
pangeran dan ia setuju. Ayahnya dulu pasti juga mengalami hal seperti ini untuk
bisa membangun kerajaan mereka. Kini saatnya bagi generasi Larin untuk
membangun kerajaan baru. Pangeran Laron meraih kedua tangan puteri, katanya,
“Kata yang mulia raja, siapapun yang berhasil terbang dan menghindari semua
bahaya, dialah pemenangnya. Kita berdua selamat dari semua bahaya, bukankah itu
artinya kita adalah pemenang?”
Puteri Larin tersenyum,”Kau benar,
kita berhasil menjadi pemenang!” kedua anai-anai itu berpelukan merayakan
keberhasilan mereka. Lalu kata pangeran lagi, “Maukah kau menjadi ratuku untuk
membangun kerajaan baru?” Puteri Larin tak punya jawaban lain selain menyetujui
ajakan pangeran. Ia ingin mewujudkan harapan ayahnya untuk membentuk kerajaan
baru yang lebih besar dari kerajaanya sekarang. Kedua anai-anai itu kemudian
menyusuri lorong-lorong tanah untuk membangun kerajaan baru.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus